Seorang gadis duduk di bawah pohon besar, di kota Wuhan. Matanya terlihat lebam, seakan menjelaskan bahwa ia baru saja menangis. Rambutnya dibiarkan terurai disapa angin.  Kulitnya yang putih memucat di awal musim dingin ini. Pandangan matanya menerawang jauh, seolah tidak mampu memandang enteng masalah yang ia hadapi. Ia benar-benar tidak tahu mengapa semua orang membicarakan dan membencinya, mulai dari teman-temannya di kantor, keluarganya, tetangganya bahkan orang-orang yang lalu lalang di pinggir jalan seakan mengatakan hal yang sama. Mereka membuang muka saat bertatap dengan gadis tinggi semampai itu.

Berawal kepulangannya dari kantor, ia tidak diijinkan masuk rumah oleh ayahnya. Tidak ada penjelasan yang bisa ia terima atas penolakannya ke rumah. Kakaknya yang sangat ia sayangipun tak mampu menahan adiknya itu untuk tetap tinggal. Akhirnya dengan hati yang hancur ia membawa tas besar yang sudah di kemas oleh keluarganya. Dijinjingnya benda berat itu menyusuri jalan di pinggir sungai.   Dalam kesendirian, ia mencoba menghubungi teman-teman karibnya,  namun tak membuahkan hasil. Semua orang yang ia kenal rupanya telah memblokir nomornya. 

Korona, nama gadis itu. Ia sekarang tak tahu  harus kemana, menumpang pada siapa, Ia bingung untuk menentukan arah hidupnya. Ia berdoa kepada Tuhan agar dirubah dirinya menjadi udara yang  tak mampu dilihat oleh mata manusia ataupun  malaikat. Dengan begitu  ia bisa ikut orang-orang lalu lalang di pasar, mall, terminal, stasiun bahkan beberapa kali ikut ke bandara dan menumpang di pesawat bersama orang-orang  dari dalam maupun luar negeri. Dengan begitu  hidupnya merasa tenang. Ia tidak merasakan kesendirian lagi. Ia bisa pergi kemanapun yang ia suka.