Putri Yuyun Utami

A Rainbow Admirer...

Selengkapnya
Navigasi Web

KESALAHAN TERINDAH

Langit bulan Mei ini sangat mengesankan. Mentari pagi mulai beranjak untuk menampakkan diri dari persembunyiannya. Angin semilir segar, sehingga membuat dedaunan menari ria seakan berdansa dengannya. Mungkin itulah sedikit gambaran suasana hati Aisyah kala itu. Aisyah adalah seorang gadis bermata sipit dengan hidung yang sedikit mancung ke dalam, ditambah lesung pipinya yang membuat ia semakin manis. Seorang gadis yang anggun dan ramah. Aisyah, nama yang sempurna melekat pada sosoknya, seorang wanita yang cantik dan baik hatinya.

Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB, seperti biasa Aisyah mengeluarkan sepeda kesayangan Aisyah dari dalam rumahnya. Ia sangat antusias dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pelajar. Menurutnya, menjadi seorang pelajar adalah pekerjaan yang sangat luar biasa, ia benar-benar bersyukur atas anugerah kesempatan yang diberikan Allah untuk terus belajar. Dan baginya, belajar bukan hanya di sekolah saja, namun kapan saja dan dimana saja.

“Bismillaahi tawakkaltu’alallah Laa haula wa laaquwwata illaabillaah” Ucap Aisyah lirih diiringi senyum tipis yang melengkung di bibirnya seraya menaiki sepedanya. Itulah doa andalan Aisyah setiap keluar rumah, termasuk saat berangkat ke sekolah. Aisyah hampir tak pernah absen untuk berdoa saat ia hendak berangkat sekolah, meskipun hanya sekedar membaca basmalah. Karena doa sudah menjadi bagian dari hidupnya, dan doa adalah salah satu kunci untuk menggapai mimpinya. Begitulah Aisyah, niatnya untuk menuntut ilmu sudah mengakar dalam hatinya. Setiap kayuhan sepedanya adalah ibadah, itulah yang ia pikirkan.

‘Doa adalah kekuatanku, doa adalah caraku, dan doa adalah harapanku untuk terus melangkah. Tanpa doa, hidup ini bagai jalan gelap tanpa ada lentera yang meneranginya’

-Aisyah-

****

Beberapa menit kemudian Aisyah sampai di sekolah. Setelah menaruh sepedanya di tempat parkir sepeda, Aisyah berjalan menuju ruang kelasnya yang cukup jauh dari tempat parkir itu. X IPA 1, itulah tempat Aisyah belajar dan berbagi pengalaman bersama dengan teman-temannya. Kelas Aisyah berjejeran dengan kelas XII, sehingga setiap kali ia ingin ke kelasnya, maka Aisyah harus melewati beberapa ruang kelas XII, namun itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Aisyah.

Aisyah berjalan mengikuti alur jalan itu. Langkah kakinya seperti tempo detik jarum jam. Sembari menikmati segarnya suasana lingkungan sekolah, ia bershalawat dengan suara lirih. Di sepanjang jalan, pohon-pohon yang berdiri di setiap depan ruang kelas bergoyang manja, seakan memberi salam pada Aisyah yang sedang berjalan, dan senyum Aisyah kala itu mungkin cukup untuk membalas salam dari pohon-pohon manja itu. Saat Aisyah sedang asyik dengan irama langkahnya, tiba-tiba Aisyah menangkap sebuah gambar dari potret matanya yang sungguh menawan. Inilah objek yang sebenarnya Aisyah cari setiap pagi saat melewati depan ruang kelas XII, tepatnya XII IPA 5. Gambar yang ia tangkap setiap paginya adalah sosok seorang lelaki berkacamata yang sedang duduk di kursi depan kelas itu. Lelaki itu selalu menunduk, sepertinya ia terlalu sibuk memperhatikan apa yang ia pegang. Bibirnya pun sedikit mengucapkan sesuatu. Ia sangat khusu’, hingga ia tak menengok sedikitpun kepada seorang gadis berlesung pipi yang berjalan didepannya, yaitu Aisyah. Masha Allah, ternyata lelaki itu sedang membaca Al-Qur’an. Lembaran-lembaran mulia itu menjadi teman lelaki itu setiap pagi. Mungkin itu alasan lelaki itu mengapa ia selalu berangkat lebih pagi dari Aisyah, ternyata untuk sekedar membaca Al-Qur’an.

Namanya Alby, ia adalah seorang lelaki gagah yang mempunyai dua impian besar, yaitu menjadi guru matematika sekaligus penghafal Al-Qur’an. Ibunya adalah seorang guru matematika di sekolah itu, dan Aisyah sudah sangat akrab dengan ibunya Alby. Apapun tentang Aisyah, ibunya Alby mengetahuinya, dan apapun tentang Alby pun Aisyah mengetahui. Ibunya sering menceritakan beberapa hal tentang Alby pada Aisyah, sehingga Aisyah sangat mengenal Alby. Itulah alasan kenapa Aisyah merupakan salah satu dari sekian banyak wanita yang juga mengagumi Alby.

“Muhammad Fatih Alby. Hmm.. Nama yang bagus” Kata batin Aisyah saat berjalan tepat didepan Alby.

Tak lama kemudian, Aisyah sampai di ruang kelasnya, namun terlihat masih sangat hening didalamnya. Tak ada seorang pun disana, yang ada hanya sisa-sisa tulisan kemarin yang berada di papan tulis dan belum sempat dibersihkan. Aisyah duduk di bangkunya. Suasana hening itu, membuat Aisyah memikirkan sesuatu. Ternyata, ia sedang melamun.

“Aku memang menyukai Alby, namun aku tak pantas menyukaianya. Kepribadiannya sungguh hampir mendekati sempurna, sedangkan aku hanya wanita biasa yang membaca Al-Qur’an saja tidak lebih dari dua kali sehari. Ah, bodohnya aku. Kenapa aku bisa menyukai Kak Alby ? Lagipula, dulu Bu Rahma, ibunya Kak Alby pernah bilang bahwa aku tidak boleh menyukai Kak Alby, tapi disisi lain saat aku berbicara dengan beliau, beliau selalu saja berbicara tentang Kak Alby. Apa aku salah jka aku mencintai Kak Alby? Bagaimana aku bisa..”

“Dorr!!!” Suara keras itu tepat di telinga Aisyah. Seketika Aisyah bereaksi dengan memalingkan mukanya ke arah suara tersebut. Ternyata suara tersebut adalah suara teman sebangku Aisyah sendiri, Nia.

“Astaghfirullah..apaan, sih, kamu ? Kaget, tahu!” Omel Aisyah kepada Nia.

“Hehe, Sorry. Lagian pakai acara melamun segala, sih. Jangan-jangan kamu lagi ‘fall in love’ ya?” canda Nia.

“Huh, apaaan sih? Sahabatku yang paling sok tahu ya cuma kamu, Ni” Aisyah malah meledek Nia kembali.

“Hehehe” Nia hanya membalas ledekan Aisyah dengan tawa kecilnya.

Beberapa lama kemudian, kelas mereka mulai ramai, hingga pukul 07.00 WIB bel masuk berbunyi. Mereka mendapat pelajaran dari beberapa guru, salah satunya pelajaran matematika yang sangat Aisyah sukai. Tetapi, itu tidak berlaku bagi Nia, karena menurut Nia pelajaran matematika adalah pelajaran tersulit, sehingga Nia selalu mengeluh saat guru matematika masuk ke kelas mereka. Bahkan, Nia sempat berandai, jika di dunia ini tidak ada pelajaran matematika, maka Nia benar-benar akan merdeka. Sebenci itukah Nia pada matematika?

Materi demi materi mereka dapatkan, hingga tak terasa bel istirahat berbunyi. Semua siswa melesat keluar dari kelasnya seperti anak panah yang ditembakkan dari busurnya. Aisyah pun bergegas keluar dari kelasnya menuju ke masjid untuk melaksanakan salat duha. Itulah yang Aisyah lakukan saat jam istirahat. Ia tak seperti anak-anak lain, ia bahkan sering tidak membeli jajan karena waktu istirahatnya ia gunakan untuk salat duha. Tetapi, tak ada rasa sesal sedikitpun dalam hatinya.

Ketika Aisyah sedang berjalan menuju masjid, hampir ia tak menyadari bahwa ada Alby yang sedang berjalan di depan Aisyah. Alby juga sepertinya akan ke masjid. Aisyah lagi-lagi berpikir tentang Alby, kali ini ia berpikir bahwa sebentar lagi Alby akan ujian, itu artinya Aisyah akan sangat jarang sekali melihat Alby seperti saat ini dan setiap paginya. Ia juga sangat sulit untuk menghubunginya dan bertanya tentang sesuatu kepadanya lewat pesan. Aisyah mungkin akan sangat kehilangan Alby. Ah, segalau itukah Aisyah tanpa seorang Alby ?

Setelah sampai di masjid, Aisyah segera mengambil air wudhu dan melaksanakan salat duha 4 rakaat. Begitupun Alby.

‘Duha-Nya adalah caraku bercerita tentangmu, menatap tajam hatimu, dan mengadukan perasaanku kepadamu lewat-Nya’

-Aisyah-

****

Malam itu, Aisyah duduk di kursi depan rumahnya. Ia termenung ditemani segelas susu hangat dan sepotong roti kesukaanya yang tersaji di meja dekat kursi yang ia duduki itu. Sambil menikmati sajian tersebut, Aisyah memutuskan untuk mengambil handphone nya yang tergeletak di atas meja, lalu mulai menulis sesuatu. Hampir setiap malam, Aisyah mencari-cari kesempatan untuk bisa chatting dengan Alby. Cara yang biasa ia lakukan ialah dengan bertanya sesuatu yang Aisyah tidak tahu kepada Alby, entah itu tentang keagamaan sampai tentang perguruan tinggi yang Alby inginkan. Candaan-candaan ringan sering terjadi dalam percakapan mereka. Tapi, sepertinya Alby mulai mengetahui perasaan Aisyah kepadanya, mungkin Alby tahu lewat tulisan-tulisan yang Aisyah kirim kepada Alby atau pun yang Aisyah upload di dinding facebooknya. Hal yang pasti, malam itu adalah malam yang menegangkan bagi Aisyah. Percakapan lewat pesan mereka malam itu.

“Aisyah, kamu suka sama saya ya?hehe” Tulis Alby

“Hah, kakak nanya saya suka kakak?” Jawab Aisyah

“iya” Jawab Alby cuek

“Nggak, biasa saja, Kak” Jawab Aisyah. Aisyah berbohong tentang perasaannya. Dada Aisyah sesak sekali saat itu, Aisyah benar-benar tak menyangka Alby bisa menanyakan perasaannya. Namun, percakapan Aisyah dan Alby lewat pesan itu tak berhenti sampai itu saja.

“Oh, awas loh kalau kamu suka saya. Nanti saya blacklist jadi orang yang saya cuekin. Haha, tapi syukur deh kalo kamu nggak suka. Saya itu takutnya kalau kamu suka. Saya komunikasi malah buat kamu terlena. Makanya saya tanya begitu biar nggak ada masalah saja sih” Pesan Alby yang terlihat pada layar handphone Aisyah.

Entah apa yang sedang Aisyah pikirkan saat itu. Tubuh Aisyah mendingin setelah membaca pesan tersebut, bibirnya tak henti mengucapkan istighfar, dan jarinya lemas untuk membalas pesan itu. Malam yang menegangkan itu berubah menjadi malam yang penuh kebingungan. Aisyah tak mengerti harus berbuat apa. Tiba-tiba hujan turun cukup deras. Tetes-tetes hujan itu telah berhasil mengintai apa yang sedang Aisyah rasakan. Aisyah bertanya pada hujan ‘Haruskah aku berhenti mengaguminya?’. Dan tiap tetes hujan itu seakan mengatakan hal yang sama, yaitu ‘berhenti mengaguminya’.

“Ya Allah...” Rintih Aisyah malam itu.

‘Adakah madu dari takdir malam ini ? Aku seperti berada dalam lubang yang tertutup. Gelap. Dan lubang itu semakin mengecil, hingga membuat dadaku ini merasa sesak’

-Aisyah-

****

Tibalah hari kelulusan Alby. Terik matahari siang itu mulai mereda. Di atas panggung kecil itu terlihat wajah-wajah berseri. Bibir-bibir mereka merekah memunculkan sebuah senyuman indah. Kebahagiaan terpancar dan ucapan selamat terlontar dari setiap guru pengajar. Saat itu Aisyah nampak ditempat itu. Ia sedang duduk di salah satu kursi. Aisyah pun ikut bahagia melihat sepuluh kakak kelasnya berdiri di depannya, mereka nampak gagah dan ayu menggunakan kostum mereka, ditambah sebuah medali yang dikalungkan ke leher sepuluh siswa itu membuat Aisyah iri, dan ingin menjadi salah satu dari mereka. kebahagiaan Aisyah sempurna saat ia melihat seseorang yang masih ia cintai itu berdiri disana, mengenakan medali itu. Siapa lagi kalau bukan lelaki pecinta Al-Qur’an yang Aisyah banggakan itu, lebih tepatnya Alby. Bu Rahma pun terlihat sangat bahagia melihat anaknya menjadi salah satu dari sepuluh siswa terbaik di sekolah itu.

“Kau hebat, Kak” Ucap Aisyah lirih sambil mengarah pada Alby yang berada di atas panggung kecil itu.

Setelah acara tersebut selesai, Aisyah menghampiri Alby. Ia ingin mengatakan sesuatu, mungkin ucapan selamat.

“Kak Alby” Panggil Aisyah pada Alby yang sedang berjalan keluar ruangan tersebut. Seketika Alby berhenti dan menengok ke belakang.

“Iya, ada apa, Aisyah?” Tanya Alby kepada Aisyah.

“Ss..selamat ya, Kak. Kakak hebat bisa menjadi siswa terbaik kedua di sekolah ini” Ucap Aisyah yang sedikit terbata.

“Alhamdulillah. Ini semua karena Allah Ta’ala. Terimakasih atas ucapannya” Sahut Alby dengan nada suara yang tenang

“Iya, Kak. Alhamdulillah. Oh iya, saya minta maaf ya kalau selama ini aku banyak salahnya ke kakak. Saya juga kadang bikin kesel, bikin nggak nyaman. Saya minta maaf ya, Kak. Oh iya, maaf juga kalau saya pernah berbohong ke kakak” Kata Aisyah dengan sedikit grogi.

“Termasuk kamu berbohong tentang perasaaanmu, kan ?” Tanya Alby kepada Aisyah. DUG.. Pertanyaan itu membuat suasana hening beberapa detik. Aisyah benar-benar takut untuk untuk mrnjawab ‘Ya’. Namun, Aisyah memberanikan diri untuk jujur dan mengatakan kebenarannya.

“Ii..iya, Kak. Maaf ya, Kak” Kata Aisyah. Lalu Aisyah menunduk, namun ia melanjutkan berbicara,

“Kalau kaka mau blacklist saya sebagai orang yang kakak cuekin juga nggak apa-apa, Kak. Saya siap!” lanjut Aisyah, tetapi kali ini ia tersenyum menandakan ia benar-benar siap untuk menerima semua resiko yang pernah Alby katakan jika Aisyah sampai menyukai Alby.

“Oh, labasa. Tapi, Afwan, Aisyah. Saya tidak bisa memenuhi harapanmu” Kata Alby

“Harapan apa kak?” Tanya Aisyah penasaran. Kali ini Aisyah benar-benar tak mengerti harapan apa yang Alby maksud. Pacarankah ? Oh, Aisyah rasa itu mustahil. Lagipula Aisyah tidak mengharap apapun dari Alby, apalagi pacaran. Pikiran itu tidak ada di benak Aisyah sama sekali.

“Ya barangkali kamu mengharap sesuatu kepada saya” Jelas Alby singkat

“Kalau saya berharap, saya mengharapkan apa yah dari kakak?” Aisyah malah nanya balik ke Alby yang akhirnya membuat Alby tersenyum.

“Oh, nggak ada yah. Hehehe” Alby dan Aisyah pun tertawa mendengarnya. Mereka tampak seperti tak ada masalah sedikitpun. Lalu, pembicaraan terhenti, karena Alby meminta izin untuk pulang kepada Aisyah. Dan mungkin, hari itu adalah hari terakhir Aisyah melihat Alby di sekolah. Setidaknya Aisyah sudah meminta maaf kepada Alby tentang kebohongan Aisyah itu, tapi Alby tak benar-benar mem-blacklist Aisyah. Alby hanya berpesan agar perasaan suka Aisyah kepada Alby tidak menjadi penyakit hati. Itulah yang Aisyah dapat dari sosok Alby.

‘Mencintai adalah bahasa nurani. Ia akan menumbuhkan kejujuran. Namun, tak ada sesuatu yang lebih kucintai daripada Al-Qur’an dan pembawanya, yaitu Rasulullah’

-Alby-

****

Kini, Aisyah masih bertahan pada perasaan kagumnya kepada Alby. Walaupun sampai saat ini Aisyah tak pernah tahu perasaan Alby kepadanya.Hal yang ia tahu hanya satu, ia menyukainya. Itu bahkan lebih dari cukup bagi Aisyah. Kehilangan sosok Alby dari matanya, tak membuat Aisyah lesu dalam menuntut ilmunya. Walaupun setiap pagi ia tak pernah lagi mendapati objek yang menawan itu.

Kini Aisyah mengerti tentang maksud Alby yang meminta Aisyah untuk tidak menyukainya. Malam itu, penanya mengajak jemari Aisyah untuk menari diatas secarik kertas putih. Hampir setiap malam Aisyah menulis sesuatu tentang Alby, apalagi saat Aisyah sedang merindukan Alby. Ia hanya bisa mengungkapkan rindunya lewat bait-bait puisi. Baginya, cinta bukan sekedar rasa ingin memiliki saat itu juga, dan memaksakan waktu untuk membuat ikatan yang tak semestinya. Namun, cinta itu adalah penjagaan hati dan melangitkan doa-doa untuk kebaikan orang yang ia cintai, yang pasti orang itu, Alby.

Brebes, 15 Juli 2016

Kak, terimakasih sudah datang

Aku tahu kenapa dulu kau sempat melarangku mencintaimu

Itu karena kau ingin meraih dua mimpi besar itu, kan?

Menjadi seorang guru matematika seperti ibumu

Dan menjadi seorang penghafal Al-Qur’an

Oh iya, dulu kau pernah bertanya padaku tentang harapanku padamu?

Mungkin dulu aku tak mengharap apapun darimu

Tapi, kini harapanku ialah ingin melihat mimpi besarmu itu terwujud

Itu akan membuatku lebih bahagia, daripada bahagianya aku mencintaimu, Kak

Semoga mimpimu bisa membawamu ke syurga-Nya, kelak.. Aamiin

Afwan ya, Kak. Dulu aku pernah membohongimu tentang perasaanku.. hehe

Tulis Aisyah pada secarik kertas malam itu, berharap malaikat membacanya dan menyampaikan pada Alby.

Aisyah masih bergulat dengan pikirannya. Bermain kata dan menyatu dengan suasana. Tiba-tiba ia tersenyum ketika ia sampai pada sebuah sajak yang ia tulis malam itu.

‘Jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan, maka biarlah ini menjadi kesalahan terindah yang pernah aku lakukan sepanjang hidupku’

-SELESAI-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post