Kak Puputnya Aiz

AKU RUMAH KETIKA ENGKAU MENJADI PENGEMBARA (30 Mei 2017 / @PutyAisy) PEREMPUAN BIASA YANG BERIKHTIAR MENJADI PEREMPUAN YANG DICEMBURUI BIDADARI SURGA Tak kena...

Selengkapnya
Navigasi Web
ANAK BUKAN ORANG DEWASA YANG SEDANG KECIL

ANAK BUKAN ORANG DEWASA YANG SEDANG KECIL

Hari itu jadwal bercerita saya di sebuah PAUD Terpadu dekat tempat mengajar kami. Satu team dari kami berangkat dengan penuh semangat.

Mengendarai 2 motor melewati gang-gang kecil, sampai akhirnya sampailah di sebuah balai RW sebuah perkampungan.

Saya membaca tulisan yang tertera; Pos PAUD Terpadu. Saya bergumam, mungkin ini yang disebut PPT. Bismillah.

Kami sampai di balai RW tersebut ketika anak-anak sudah masuk kelas. Di pintu masuk, saya sudah membayangkan guru-guru yang ramah, dengan senyum ceria menyambut kehadiran kami, layaknya para guru di lembaga kami.

Ternyata, bayangan saya harus ditepis jauh. Fakta yang ada, di depan pintu ada Bunda-bunda yang sibuk dengan aktivitasnya dan tanpa sedikit pun senyum di bibirnya.

Saya sudah canggung melihat pemandangan seperti itu. Bahkan tak ada sedikit pun senyum di hadapan anak didiknya. Kami mengulurkan tangan dan mengucap salam. Ada sedikit senyum yang terlepas. Barangkali ini sebuah senyum penghormatan. Alhamdulillah.

Belum selesai bayangan saya tentang anak didik yang bahagia dengan aktivitas bermainnya, layaknya siswa-siswi kecil kami yang kami tuntaskan masa bermainnya. Saya hampir sock melihat kenyataan di depan saya. Saya berbisik ke rekan sebelah saya; ini lembaga anak usia dini atau tempat kuliah? Saya menghibur diri dengan tetap ternsenyum, meskipun sebenarnya hati saya berontak dan menangis.

Ini anak usia dini kan? Mengapa cara belajarnya seperti anak kuliahan? Terpenjara di sebuah meja dan kursi, berderet berjajar seolah tak boleh ada kesempatan untuk bergerak.

Ini sungguh jauh dengan konsep belajar yang diterapkan di tempat kami. Di lembaga kami, anak-anak belajar dengan penuh bahagia. Sebab konsep belajar yang kami terapkan adalah belajar tak harus madep buku dan menulis dengan dipaksa layaknya anak SD.

Masya Allah. Saya benar-benar merasa ada hak-hak mereka yang terampas. Ironisnya, hal tersebut dianggap wajar.

Satu hal lagi yang membuat saya ingin menangis kencang. Anak-anak dipaksa mendengar cerita saya dalam keadaan terpasung di meja masing-masing. Ini baru pertama kali saya alami. Jujur, saya sock.

Pengalaman itu, saya kira hanya terjadi di satu tempat. Ternyata, hampir di semua pembelajaran di Balai RW modelnya seperti itu.

Anak-anak manut dan sangat takut melihat wajah gurunya. Gurunya pun suaranya sangat keras. Sungguh, ini jauh berbeda dengan kondisi di lembaga kami. Di tempat kami, jika saya melakukan supervisi harus sembunyi-sembunyi. Sebab jika ketemu anak-anak di kelas sudah pasti mereka berebutan mendekat, ada yang nguyel-nguyel, mencium dan menggelayut di kerudung.

Pemandangan ini terjadi juga saat kami datang sampai pagar, mereka sudah berhambur dari tempat bermainnya kemudian bersiap bermanja-manjaan kepada kami.

Tiada ketakutan ketika berjumpa dengan ustazahnya. Bahkan saya selalu mengingatkan kepada para pengajar di lembaga kami untuk memilih kata yang baik dan menjaga volume bicara. Sebab anak-anak, tak butuh bicara yang keras. Mereka butuh contoh nyata dari orang dewasa.

Pengalaman bersama di luar lembaga semakin menyadarkan saya, bahwa sesungguhnya menjadi pendidik itu butuh ilmu, apalagi pendidik anak usia dini.

Barangkali terlalu muluk kalau saya tidak setuju dengan pendidik yang asal comot, apalagi hanya dilatar belakangi sebagai kader posyandu dan kader PKK untuk memegang aset bangsa bernama anak usia dini. Pengalaman membesarkan anak-anak mereka tak cukup kuat digunakan sebagai kelayakan menjadi seorang pendidik di lembaga anak usia dini.

Saya pernah menjumpai anak-anak polos itu terdiam saat dibentak-bentak oleh seorang guru senior, gegara mewarnainya tidak sama dengan yang sang guru contohkan. Masya Allah, saya mengelus dada. Ironisnya, para pengantar entah ibu atau pembantunya ikut memarahi anak tersebut dengan memojokannya di hadapan teman-temannya. Jika ingat kejadian itu, saya nangis, sakit rasanya. Ini jauh berbeda dengan pemandangan di lembaga kami yang memposisikan anak sebagai pribadi yang wajib dihargai dan dihormati.

Saya geregetan. Mereka yang kerap menzalimi anak didiknya, Mereka semua orang-orang dewasa yang sok dewasa itu perlu tahu, bahwa anak-anak pun punya hati yang wajib dicintai. Sebab anak-anak bukan orang dewasa yang sedang kecil, mereka bukan miniatur kita.

Surabaya, 23 Februari 2017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post