Radinopianto

Alam ini seolah miniatur kehidupan masa depan, yang tak cukup dengan diam atau duduk santai sambil menyeruput kopi, Hidup ini bukan mimpi. Takkan sampai jika ta...

Selengkapnya
Navigasi Web
EMAK KOMPILASI (EPISODE 1 s.d EPISODE 12 )
Sumber Foto : ratnapurwati.blogspot.com

EMAK KOMPILASI (EPISODE 1 s.d EPISODE 12 )

EMAK 1 ( EPISODE LOCK DOWN)

Emak baru saja selesai mengepak cabe merah dalam karung untuk dijual kepada pengepul. Beberapa kali kulihat wajah tua itu menyeka keringat yang bercucuran membasahi jilbab panjangnya,

Alhamdulillah meskipun hanya memiliki beberapa potong dan itupun sudah sangat lusuh namun emak sudah begitu konsisten dengan jilbab syar’inya. “Urip iki ra kekal langgeng le, kudu nyiapi awake dewek dengan bekal amal sing akeh, selalu begitu kata emak.

Ya Allah perempuan tua yang harusnya beristirahat di rumah, mesti jatuh bangun demi meraup receh untuk kehidupan. Hidup memang belum memberikan banyak pilihan untuk emak, namun semangatnya yang luar biasa tanpa pernah mengeluh, semakin memberikan semangat untuk terus berjuang.

Alhasil setelah bapak berpulang, mutlak tanggung jawab dan tulang punggung keluarga jatuh ke tangan emak. Sedih rasanya belum bisa berbuat banyak untuk emak, namun dengan keterbatasan yang ada, diri ini teramat yakin ada Allah yang maha baik.

Emak tahu aku sedang mengamatinya, dia tersenyum. “Selak wengi lho le, turu...” “Inggih mak, tadi habis membantu PR adek” dalihku.

Tak kuat menyaksikan begitu beratnya perjuangan emak, namun apa daya tidak ada yang bisa diharapkan sepenuh hati kecuali berjuang sendiri di tengah musibah covid yang entah sampai kapan akan berakhir.

Bagi yang bergaji mungkin tidak banyak kendala, namun bagi kami yang setiap hari harus meninggalkan gubuk dan berharap ada rejeki untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup, rasanya terasa sangat lama kondisi ini.

“Lok don, lok don iki opo meneh to le...” lugu emak bertanya suatu hari ketika dia harus pulang dengan hampa tanpa ada seorangpun yang menjamah dagangannya.

“Oh, itu lock down mak, bahasa inggris yang dalam bahasa kita mungkin istilah untuk membatasi ruang gerak, supaya tidak terlalu banyak beraktifitas dengan banyak orang” aku menyederhanakan istilah ini dengan bahasa yang bisa di mengerti emakku.

“Oh, opo biar dikira wong londo ngono, kok yo nganggo istilah opo to le.....”.

Aku tertawa. Emak memang mutiaraku yang sangat berharga. Bahasa polosnya yang cenderung nyablak, mewarnai rumah dengan senda gurau.

Aku tahu, itu cara emak membuatku tersenyum. Emak memang pembohong ulung, begitu pintarnya dia menyembunyikan rasa sakit dan pedihnya hidup, demi membuatku sumringah. Bidadari tak bersayap yang hanya punya kegigihan hidup menepis semua anggapan perempuan yang dianggap lemah dan tak berdaya.

Biasanya aku hanya bisa bertemu emak malam hari, dari subuh sampai sore hari emak masih di pasar berjualan sayur, namun setelah banyaknya pembatasan dan himbauan untuk tidak banyak keluar, keseharian emak lebih banyak di rumah,

Sesekali kudengar emak mengaji di kamarnya yang juga sekaligus gudang sayuran jualan emak. Bahkan untuk sekedar berkumpul dengan ibu-ibu dalam pengajianpun sudah tidak ada lagi. Emak benar-benar sedih, bukan hanya dapat ilmu namun snack pengajian biasanya dibeli dari emak,

Masakan emak memang enak, namun menurutku yang melatar belakanginya, tak lebih dari keinginan dan niat baik ibu-ibu pengajian untuk meringankan beban emak

Menurut emak, dimasa isolasi (lock down), semua menjadi serba sulit. Meskipun tidak ada pembatasan yang melarang untuk berjualan sayur namun tetap saja tidak ada pembeli, sepi dan emak berapa kali terpaksa pulang dengan membawa kembali sayuran layu ke rumah.

“Gusti Allah masih ingin mendengar doa-doa emak le...” begitu emak melihatku menyambutnya dengan penuh iba.

Tak sedikitpun diujung mata itu aku menangkap pikiran buruk dan menyalahkan takdir, meskipun harus meniti hari dengan fase yang begitu mendebarkan jiwa ini...

Di ujung bibir ini aku hanya bisa berbisik...

“Allahumma fighfirlii wa liwaa lidhayya warham humaa kamaa rabbayaa nii shokhiroon....”....

Kupeluk emakku....

EMAK 2 ( PEMBAGIAN SEMBAKO)

Emak duduk selonjoran di bale bambu depan rumah. Tempat duduk yang menjadi area favorit, berfungsi ganda menjadi tempat ngobrol sekaligus tempat emak meletakkan jualan sayurannya. Satu satunya kursi paling mewah di rumah ketika ada teman-teman datang.

Terlihat tenang sekali emak menikmati angin sore melepas rasa lelahnya, kebiasaan yang selalu dilakukan emak setelah pulang dari pasar, sekedar ngaso beberapa menit, namun terkadang jadi lama jika ibu-ibu tetangga rumah yang kebetulan tidak sempat ke pasar belanja sayur.

Bergegas aku masuk kedalam mengambil segelas air putih, dan membawanya ke emak. “Matursuwun le,emak haus sekali dari tadi”. “Adekmu ndi kok gak kelihatan?”

“Oh, Adek ngantar PR nya mak buat dikirim ke gurunya, pakai Hp nindy teman sekelasnya, anak pak RT”.

Sekolah daring jarak jauh tanpa tatap muka yang serba online ini, membuat adikku yang duduk di bangku SMP harus bolak balik ke rumah temannya untuk sekedar numpang mengirim tugas lewat pesan whatsapp.

Untuk urusan ini emak tidak bisa menolak, di rumah memang tidak ada hape android apalagi laptop. Selain harganya tidak terjangkau, juga sayang rasanya uang yang susah payah dicari harus dihabiskan hanya untuk membeli paket internet.

Beruntungnya, kami dikelilingi oleh orang-orang baik yang dengan penuh keikhlasannya memudahkan urusan ini. Setidaknya adikku masih bisa mengikuti pelajaran ditengah keterbatasan yang ada.

Covid memang membuat segalanya berubah dengan sangat cepat, dan suka tidak suka harus dilalui dengan penuh kesabaran.

Belum lama berselang, pak RT datang dengan sepeda motornya, sedikit kesusahan beliau menurunkan paket,

“Assalamualaikum mbok’e”

“Waalaikumsalam, Pak RT”

“Ini, mbok’e, saya mengantar sembako” sembari meletakkannya di dekat emak duduk,

“Ceritanya begini, untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19, pemerintah menerapkan pembatasan wilayah, PSBB istilahnya”

“Sebagai konpensasinya, ada bantuan bagi masyakat yang terdampak” panjang lebar Pak RT menjelaskan, emak masih duduk tak beringsut, sesekali emak menganggukkan kepala khusuk mendengarkan.

“Isi tiap paket sembako adalah adalah beras 5 kg, minyak goreng 1 kg, sarden 2 kaleng, sabun 3 buah, masker 2 lembar, dan biskuit 2 kaleng”

“Monggo mbok’e, silahkan diterima” Pak RT menggeser paket sembako

Tanpa ewuh pakewuh, emak yang dari tadi diam angkat bicara “Pak RT, saya mohon maaf sekali, bukan saya tidak menerima bantuan ini, tapi saya masih mampu untuk berusaha sendiri”.

Gelas yang kupegang hampir saja terlepas mendengar jawaban emak. Aku menundukkan kepala dengan rasa malu yang tak terkira, yang kucemaskan terjadi. emak tidak mau menerimanya

“Lho, kenapa mbok?” ini hak mbok’e kok” “Pemerintah sudah mendata dan mbok’e salah satu penerima bantuan ” pak RT meyakinkan

Emak tersenyum dingin. “Tidak apa-apa pak RT, dibagi ke yang lain saja, mungkin masih ada yang lebih membutuhkan” cukup lemah suara emak. Saya Tahu emak menahan tangis

Suasana cukup hening. Aku terdiam, Pak RT pun terdiam, terlihat salah tingkah dibuatnya. Perasaanku benar-benar tidak enak dengan penolakan emak terhadap paket sembako itu. Aku kawatir pak RT menjadi tersinggung,

Emakku bukan orang miskin yang sombong, bukan karena isi paketnya namun prinsifnya yang begitu keukeuh membuatnya tidak mau menerima berbagai bantuan yang sifatnya gratis. Emak merasa masih mampu berusaha tanpa bantuan dari orang lain, emak lebih tenang jika yang dimakan adalah hasil keringat sendiri.

Ironis memang, ketika orang lain berebut untuk mendapatkannya dengan berbagai cara, lain halnya dengan emakku. “Hidup itu harus punya malu le, tidak elok mempertontonkan kemiskinan hanya demi mendapatkan belas kasihan” selalu itu yang menjadi dalihnya.

Duh, robbi....ya Allah, apa yang harus kulakukan,

“Gini aja pak, paketnya dibawa saja dulu, nanti habis maghrib ke rumah bapak, sambil memjemput wahyuni adik saya” aku mencoba mencairkan suasana.

“Oh, paketnya apa gak ditinggal saja?” Pak RT seperti tidak tega untuk membawa kembali paket itu.

“ Tidak apa pak, dibawa aja dulu” sahutku.

Pak RT cukup mengerti sehingga tidak banyak argumentasi lagi, “Baik, saya pulang dulu ya mbok’e, arif, assalamualaikum”

“Waalaikumsalam” hampir bersamaan aku dan emak menjawab

Emak terlihat diam, tak kuperhatikan lagi apa yang dilakukannya. Aku mulai sibuk membawa keranjang sayur jualan emak kedalam rumah, meletakkannya di nampan, untuk diangin-anginkan, sayuran yang segar kumasukkan kedalam baskom yang berisi air supaya tidak layu. Setidaknya masih bisa bertahan sehari.

Kudengar langkah kaki berjalan ke dapur. Emak bersiap mandi, biasanya sekalian mengambil wudhu untuk sholat maghrib. Aku hanya membiarkannya berlalu, nanti saja habis maghrib aku akan mengajaknya bicara.

EMAK 3 (PAKET SEMBAKO LANJUTAN)

Detik demi detik setelah sholat maghrib membuatku hanya bisa mondar-mandir. Duduk lalu berdiri, keluar masuk rumah dan sangat gelisah. Suara emak masih terdengar dengan lantunan ayat alquran yang dibaca tartil. Rutinitas yang setiap hari dilakukan emak,

Entah mengapa, malam ini menjadi malam yang begitu aneh dan mencekam. Bayangan wajah pak RT sudah berputar-putar di depan mataku mengganggu pikiranku. Aku mencoba merangkai kata dan berandai-andai terhadap segala kemungkinan, namun tetap saja tidak membuatku tenang.

Duhai Robbi,

Sungguh tidak nyaman rasanya, namun apa daya emak sosok perempuan yang sangat aku sayangi, tidak mau aku membuatnya bersedih meskipun terkadang apa yang emak pikirkan tidak sama dengan apa yang aku inginkan.

Pintu kamar emak berderit, aku terlonjak dibuatnya, kulihat wajah emak menyembul, masih dengan mukenanya. Wajah itu begitu teduh, tak kuat aku berlama-lama berada di sana, Wajah yang selalu mengisi hari-hari menata kesabaran di tengah kehidupan kami yang penuh dengan kekurangan.

Emak mengelus kepalaku. Ia menangkap kegelisahanku,

“Le, kita memang susah, emak belum bisa memberikan banyak hal, layaknya kehidupan teman-temanmu”

“Emak hanya penjual sayur, sedangkan almarhum bapakmu hanyalah pekerja swasta yang tidak meninggalkan uang pensiun”

“Bukan Tuhan tidak tahu apa yang kita rasakan, bukan Dia tidak mengerti apa yang kita inginkan, tapi Dia ingin menguji kesabaran kita”

Aku hanya diam membenamkan kepalaku, menunduk, tak sepatah katapun mampu terucap mendengar nasihat emak yang begitu nrimo dengan keadaan hidup.

“Emak ingin suatu saat nanti, ketika kalian sukses, kalian adalah pribadi yang penuh semangat berjuang, seperti apa yang emak lakukan hari ini”

“ Ada Allah di otak besarmu le...” emak memelukku.

Jantungku berdegup, perlahan wajahku membasah, kalimat yang dari tadi kusiapkan untuk berbicara dengan emak tentang paket sembako tadi sore hilang buyar, aku tak bisa mengingat satu kalimatpun.

“Kamu mau menggantungkan hidupmu sama orang lain le ? lalu hanya karena paket sembako tadi kamu merasa hidupmu memang layak mendapatkan rasa kasihan, lalu menjadi beban negara?”

Nafasku terasa terhenti, emak semakin kuat memelukku. Aku terisak. Sesekali Emak mengelap matanya. Aku jadi sangat bimbang.

Sejujurnya pemikiranku dengan emak berbeda, namun untuk sekedar menatapnya saja aku tidak berdaya, apalagi harus menjawab dengan kalimat yang sudah ku pastikan akan membuat emak terluka. Jika diam akan membuat segalanya menjadi lebih baik maka aku akan memilih diam.

“Le, kamu ke rumah Pak RT, jemput adikmu ya” “inggih mak...” sambil berdiri kucium tangan emakku sambil pamit.

Aku berangkat ya, assalamualaikum..

Waalaikumslm

*******

Rumah Pak RT dari rumah hanya berjarak lebih kurang 100 meter, sehingga dengan berjalan kaki sebentar saya sudah sampai ke rumahnya.

Terlihat lengang, tak banyak aktivitas, hanya sesekali terlihat bapak ibu keluar dari rumahnya sambil membawa bingkisan sembako. Pak RT duduk di teras rumahnya.

Melihat diriku datang, dia menyambutku,terlihat adikku juga ada di sana bersama Nindy anaknya pak RT masih dengan buku-buku pelajarannya.

“Sendiri Le, mana mbok’e?” tanya pak RT mengajakku masuk

“Oh, emak di rumah pak” sahutku.

“Gimana, keputusannya terhadap paket sembako tadi?” ayo sambil duduk”

Aku duduk persis bersebelahan dengan adikku wahyuni

“ Aku kesini untuk menjemput adikku pak” jawabku singkat.

“ Lha, terus paketnya bagaimana?”

“Emak tetap memutuskan untuk memberikannya kepada tetangga yang lain saja”

“ Le, itu hak kalian, kalian berhak dan memang layak untuk menerima bantuan itu, ini cara pemerintah membantu masyarakat selama masa pembatasan ini”

Aku menganggukkan kepala.

Itu tanda terimanya juga sudah bapak siapkan, ambil ya, kalian pasti membutuhkan nak” begitu ngemong tutur kata pak RT. Beliau memang orang baik yang sangat peduli.

“Ini akan di berikan setiap minggu sampai masa PSBB ini dicabut” Pak RT memberikan tanda terima untuk ditanda tangani.

Aku memegang map tanda terima itu, tercatat nama emak dalam daftar penerima paket sembako,lengkap dengan rincian apa saja yang akan di terima. Tertegun melihat daftar itu, ragu-ragu dan takut, sisi lain emak pasti akan marah kalaupun aku mau menerimanya.

“Pak, ini tanda terimanya. Aku tidak bisa menerima paket ini, emak pasti tidak akan mau. Apa yang bapak sampaikan tidak ada yang salah, namun sebelum berangkat, aku sudah mengajak emak berbicara, keputusannya tidak berubah pak”

“Mohon maaf kalau apa yang dilakukan emak membuat bapak tidak berkenan”

Pak RT memegang bahuku.

“Le, bapak mohon izin, ini sebetulnya tidak boleh tapi jika kamu percaya sama bapak, tanda terima ini tandatangani saja, paketnya bisa di simpan di sini, jika nanti mbok’e berubah, kapanpun silahkan diambil ya,ini hak kalian, nak”

Aku berpikir sejenak, lalu menandatanganinya.

"Kami mau permisi pulang pak, sudah malam. Terima kasih atas niat baik bapak”

“Oh, ya Le. Salam dengan mbok’e ya....

*******

EMAK 4 (Larangan Mudik)

Emak bersungut terisak. Perempuan tua yang sangat kusayangi ini terlihat tak kuat menahan tetesan air matanya. Berpantang emak bermuram durja, bahkan ketika diriku selalu mengeluh dan mengadukan keterbatasan hidup yang berbeda dengan teman-temanku yang lain, di atas kekurangan yang tak mampu diwujudkan oleh emak, meskipun harus menangis darah sekalipun, selalu dengan tangan kasarnya yang tertempah oleh kerasnya hidup, emak senantiasa mengelus kepala dan menghiburku untuk tetap sabar dalam kondisi apapun.

Namun, malam ini emak seperti membebaskan semua luapan perasaan yang selama ini berhasil disembunyikan dariku. Emak menumpahkannya semua tanpa berupaya membendungnya sedikitpun. Di umur sesenja ini, beragam rasa pasti telah menghiasi hidupnya, namun tanpa pernah putus asa dan menyalahkan takdir, emak lewati hari-hari dengan perjuangan heroiknya

Aku tahu selama ini emak bukan tak pernah menangis, emak bukan tak pernah bersedih, perempuan tua rentah penjual sayur, emakku ini hanya berusaha membuat diriku tegar, tak ingin membuatku rapuh, emak memilih tersenyum di atas penderitaan dan luka hatinya yang pasti tak bisa di gambarkan. Diari perjalanan hidup yang sungguh mendebarkan dan berhiaskan banyak hal yang selalu menggetarkan jiwa. Jika saja mau dituliskan, berapa habis pena yang akan mencatat kesedihan hidupnya, jika mampu menampungnya, sudah sebanyak apa tetasan air matanya, namun didepanku emak selalu tersenyum sumringah.

Berpuluh tahun emak tak pernah terlihat sesedih ini, mukanya sangat mendung yang menyiratkan hatinya seperti sedang merundung duka. Luka tak berdarah namun menyisakan kenangan atas kepahitan hidup yang tidak bersahabat. Duh robbi, kubenamkan kepalaku didalam pangkuannya tanpa aku bisa berucap apapun, kami berpelukan bertiga dalam ketidakberdayaan.

Kehidupan memang belum memberikan kami banyak pilihan hidup, namun kami selalu menghiasinya dengan penuh kesungguhan, bahwa akhir kehidupan sesungguhnya bukanlah di dunia, namun hanyalah perniagaan yang akan memberikan modal kepada kami ke alam sana nanti.

Mukaku panas, tetesan air mata emak yang mengonak pinak bercucuran menetes mengenai kepalaku. Kubiarkan emak memeluk kami, bahasa tubuh yang sejatinya tidak menyelesaikan masalah, setidaknya bisa melegakan hati yang lara, kepiluan yang teramat sangat.

Kuciumi tangannya cukup lama, berharap ridhonya, dan memohon ampunan, lalu perlahan aku berbisik

“Mengapa emak menangis?....”

“Tahun ini, kita tidak bisa pulang mudik le, ada larangan dari pemerintah, kita harus menahan rindu untuk bisa ke makam bapakmu..

Aku menangguk perlahan. Emak menjawab kebingunganku.

Persis seperti mengulang dialog Rasulullah bersama Abdurrahman bin Auf, ketika anaknya meninggal dan Rasulullah menangis,

“Kau menangis Rasulullah? Bukankah kau sendiri melarang menangisi kematian seseorang?' tanya Ibnu Auf. Rasulullah kemudian menjawab, 'Ibnu Auf, aku tidak melarang menangis. Yang ku larang adalah dua teriakan dosa; nyanyian yang tak bermakna dan melalaikan serta ratapan histeris saat tertimpa musibah dengan menampari wajah dan merobek-robek pakaian. Sedang yang terjadi padaku ini adalah ungkapan kasih sayang'."

Akupun mengulangi kisah itu...

“Engkau menangis mak? Bukankah emak ingin bapak tenang di sana dan mengharapkan kami selalu mendoakannya? Tanyaku. Emak tidak sedang meratap dan menyesali, nak, namun emak kangen....

EMAK 5 (Emak jatuh sakit)

Lampu teplok mulai kukecilkan, malam kian larut, ada getaran keras yang terus menerus membuatku tidak mau sedetikpun melewatkan kegelapan ini bersama emak.

Keterkejutan akan informasi larangan mudik yang didengarnya membuat emak drop, keinginan yang disimpan untuk sekedar berziarah ke makam bapak harus kandas, entah sampai berapa lama emak harus menahan rindunya,

Kasihan sekali emak, meskipun sudah lama bapak meninggalkan kami, bahkan berlatar kondisi itu pula yang akhirnya memaksa emak harus bertahan hidup dengan segala kekurangan yang ada, namun tak membuat rasa sayangnya kepada almarhum bapak memudar.

Kisah cinta emak kepada bapak laksana cinta Rasulullah kepada isterinya khadijah, Rasulullah masih terus memuji isteri pertamanya itu dalam perjalanan hidupnya, meskipun sudah tidak bersamanya lagi.

Suatu waktu emak berucap, “Bapakmu memang tidak semulia Ali bin Abi Thalib, tapi emak ingin punya kesetiaan seharum pribadi Fatimah Az-zahroh. Nanti kita akan bersama bapakmu di sana. Laut itu biru, banyak ikan berloncatan, emak tidak terpesona oleh birunya laut, emak tidak terpengaruh dengan ikan yang banyak, namun emak akan menjaga biduk ini tak tenggelam le, terus doakan bapakmu”

Namun....malam ini tak kutemukan cerita itu, tak kudengar lantunan ayat-ayat yang selalu keluar dari bibir tua ini, tak kudengar nasihat-nasihatnya yang selalu membuat kami membesarkan hati.

Emak terkapar tak berdaya, rautnya terlihat sangat layu. Tiba-tiba emak demam, badannya panas tinggi. Sambil terus berupaya mengompreskan handuk yang kurendam dengan air hangat, tak berhenti bibirku komat-kamit merapal doa semampuku.

Ya Robb, jagalah perempuan tua ini untuk kami, apapun kondisinya, berada di dekatnya hatiku menjadi sangat tenang. Aku belum siap kehilangan, cukup pincang hidup ini dengan berlindung di bawah satu sayap, sementara sayapku yang lain, Kau panggil lebih dulu menghadapMu robb. Di sisa umurnya, izinkan hamba untuk menjadi anak yang salih, berikan hamba kesempatan menghias harinya dengan kebahagiaan.

Di bumi Allah yang lain, dalam kisah yang lain,

Sseorang pemuda Yaman bernama Uwais Al-Qarni, dalam banyak kisah disebut sebagai anak yang patuh kepada ibunya, pemuda yang terhina di muka bumi namun terkenal seantero langit. Sambil tetap menggendong ibunya wukuf di depan Kabah, ia berdoa..

“Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata Uwais.

“Bagaimana dengan dosamu?” Ibu Uwais bertanya dengan keharuan sambil terus mengalir deras air matanya.

“Jika dosa ibu terampuni, maka ibu akan masuk surga. Cukuplah rida dari ibu yang akan membawaku ke surga.”

Akupun berharap, sebagaimana kisah Uwais.

"Ya Allah, di tiap letihnya ada kasih sayang yang teramat besar yang tak mungkin mampu kubalas. Bentangkan kemuliaan untuknya, emak"

"Duhai robbi, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul dalam mencurahkan kecintaan hanya kepada-Mu, kuatkanlah ikatannya, abadikanlah kasih sayang ini"

Kupandangi lekat-lekat wajah emak, ku elus kepalanya lalu kupegang tangannya, kupeluk tubuhnya dan aku sengaja merebahkan diri tiduran di sampingnya sambil mendekatkan kepala ke pipinya. Perempuan keriput yang melahirkanku, yang setiap waktu mengkawatirkanku, sungguh berartinya dirimu mak. Kupejamkan mata sambil kurapatkan tubuh. Lamunanku jauh sekali, membayangkan betapa jatuh bangunnya emak mengasihiku sewaktu kecil, mataku panas, bulir bening ini tak tertahan pecah membasahi seprei tidur emak.

Tiba-tiba emak terbatuk yang membuatku terperanjat. “Le, kepala emak pusing sekali”. Kupijit-pijit bagian kening emak dengan tangan sampai kebagian leher, emak mengerang lemah kesakitan, nafasnya tersengal dan muka sangat pucat pasi. Emak harus berobat ke dokter. Kulirik jam dinding, persis pukul dua dini hari. Aku berdiri lalu berjalan ke arah dapur. Adikku, wahyuni masih memasak makanan untuk di santap sahur ini, tercium aroma gorengan ikan asin yang menusuk hidung. “Dek, adek temani emak sebentar di kamar, kakak mau ke rumah bu dokter, sakit emak parah”.

Dalam kekalutan, kuterobos malam untuk menjemput bu Dokter Salsa. Tergopoh-gopoh berlari, tak kupikirkan lagi seberapa kencang aku memacu kakiku hingga aku menghentikan langkah persis di depan rumah cukup besar yang berpagar keliling berwarna hijau itu. Bagian dalam rumah gelap, namun terlihat cahaya dari lampu bohlam yang dipasang di teras, semoga bu dokter tidur di rumah malam ini batinku. Kuhela nafasku untuk menenangkan diri, lalu memegang pintu pagar dan mendorongnya dengan tangan yang gemetar.

Dengan hati-hati, perlahan kuketuk pintu rumah dan mengucapkan salam. Tak terdengar jawaban, suasana malam yang begitu hening membuatku makin panik.

Duh gusti, belum pernah aku segugup ini. Maju mundur di depan pintu rumah itu membuat kakiku seperti mau copot, perasaan takut, malu dan beribu rasa menggelayuti hati. Aku hampir menyerah dan kembali pulang, namun wajah letih emak seperti memompa energiku untuk memberanikan diri mengulanginya kembali. Satu menit, dua menit, tiga menit, hingga waktu berlalu tanpa ada kepastian dan aku masih berdiri berharap ada suara yang menjawab salamku. Namun tetap saja hening.

Dengan gontai, aku berbalik arah untuk pulang, harapanku untuk mengobati emakku malam ini pupus, tanganku dingin, dan seketika aku langsung rapuh. Ya robbana, apa yang harus kuperbuat. Membiarkan emak menahan sakitnya tentu tidak mungkin, namun sudah berapa menit terlewatkan tak membuahkan hasil.

Pintu pagar kudorong dengan tak bersemangat, namun tiba-tiba keajaiban itu datang di waktu diriku hampir putus asa. Selalu ada keajaiban dari tiap untaian doa yang diucapkan dengan penuh keyakinan, lampu ruang depan bu dokter menyala dan ada jawaban salam dari dalam.

“Ada yang bisa ibu bantu nak? Perempuan yang kutaksir berusia 40 tahunan berperawakan sedang lengkap dengan jilbabnya yang cukup panjang menyapaku, sambil membuka terali pintu depan. Seorang lelaki berkacamata berdiri disampingnya.

“Bu, dokter, bapak, mohon maaf mengganggu malam-malam datang ke sini. Emakku sakit, aku ingin ibu mengobatinya” sedikit membungkukkan badan sebagai rasa hormatku kepada orang yang lebih tua. “Degh.....bergetar aku mengucapkan kalimat-kalimat itu, dengan penuh harap. Perempuan cantik itu tersenyum ramah.

“Rumahmu di mana nak?” Masuk saja dulu, kita cerita di dalam, gantian lelaki itu yang bertanya “Tidak jauh dari sini pak, persis di depan tikungan masjid “ kumencoba menjelaskan. Bu dokter terlihat mengernyitkan keningnya, “Bukankah itu rumah mak khadijah ya?” saya mengangguk. “Betul bu dokter, itu emak ku”.

“Ya wes, ibu siap-siap dulu, nanti biar bapak yang mengantar ke sana, ibu tahu rumah kamu nak” “Saya permisi pulang bu, kami menunggu di rumah”

Setelah menjelaskan sedikit perihal sakit dan keluhannya, aku melangkah pulang

*****

EMAK 6 (Berita yang sangat mengejutkan)

Aku masih tertegun memegang bungkusan uang hasil tabungan, ketika bu Dokter Salsa dan suami datang menemui emak. Setelah berbasa-basi mempersilahkan masuk, bu dokter dan suami kuajak menuju kamar emak.

Di atas dipan kayu yang berlapiskan kasur tipis, emak hanya bisa tiduran. Mata emak sayu, pandangannya kosong dan tubuhnya nampak tak punya tenaga sedikitpun. Adikku menunggu di luar kamar, begitu kami masuk. Bu dokter duduk mendekat emak sambil mengamit tas jinjing kecil berlogo palang merah, sementara aku duduk di ujung dipan sambil memegang kaki emak yang tertutup selimut.

Bercampur aduk perasaanku malam ini, Duhai robbi, sembuhkan emakku seperti sedia kala, entah apa yang terjadi jika ini menjadi malam terakhir emak. Langit seperti runtuh di atas kepala, menggelayut dan berputar-putar mengisi pikiranku, begitu besarnya harapanku akan emak. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu

Emak memang tak bersuara, namun bola matanya berkisah tentang banyak fase yang dilalui dengan kegetirannya, emak memang diam namun jalan hidupnya menopang tanggung jawab besar penuh dengan kepasrahan.

Menanggung beban hidup yang cukup berat membuat emak melupakan akan dirinya, tak dipikirkan lagi bagaimana harusnya dirinya juga menjaga kesehatan, demi menjemput hari mengumpulkan serpihan berkah.

“Assalamualaikum mak” bu dokter memegang badan emak sambil tersenyum. Emak menjawab salam dengan lirih. “Emak, kita obati ya, biar nanti habis ini emak akan sehat lagi” begitu lembut suara bu dokter melibatkan emak untuk berbicara, support yang biasanya diberikan oleh seorang dokter kepada pasiennya. Tangannya bergerak memasang steteskop, memasukkan ujungnya kedalam jilbab, ke arah telinganya. Anggukan lemah emak, membuatku makin tak kuasa menahan diri.

“Nuwun sewu, mak, kita periksa ya” sambil sedikit menyingkap baju emak, alat yang berfungsi untuk mendengar denyut jantung dan pernapasan itu di pindah-pindah bu dokter di atas dada emak, terlihat bu dokter menurunkannya hingga perut untuk memastikan mendengarkan gerakan peristaltik usus atau kolik perut yang dialami emak.

“Sekarang kita cek tensi emak”. Terlihat bu dokter sibuk dengan kotak segi empat panjang, fokus kuperhatikan dengan penuh seksama, memasang pembebat ke lengan kemudian tangannya bergerak–gerak memompa bulatan yang tersambung selang kecil pada alat pengukur tensi itu, terlihat skala level tensi darah emak bergerak. Tangan bu dokter mengambil senter kecil, lalu meminta emak membuka mulut “Emak...buka mulutnya sedikit ya” dengan telaten bu dokter mengecek emak.

“Alhamdulillah, emak harus banyak istirahat. Emak kecapean saja nak, habis ini obatnya di makan, yang ini sebelum makan, yang ini sesudah makan” bu dokter memberikan beberapa bungkus obat kepadaku sambil menjelaskan sedikit petunjuk pemakaiannya. “Besok kalau kabari ibu ya tentang kesehatan emak”, kemudian bu dokter dan suami permisi pamit ke emak. Emak memandang sambil mengucapkan “Matur suwun ya nduk....” “Inggih”. Bu dokter dan suami beranjak keluar.

Di depan pintu kamar, adikku menoleh kepadaku, aku memberikan jawaban dengan anggukan tanda persetujuan. “Bu dokter, ini biayanya, jika nanti kurang, kami kasih waktu untuk melunasinya”, polos adikku menyerahkannya, masih dalam plastik putih yang diikat dengan gelang karet. Bu dokter memeluk adikku dari samping

Tangan suami bu dokter memegang kepala adikku sambil tersenyum “Uangnya disimpan saja ya sayang, barangkali nanti emak ada keperluan, yang penting emak segera sehat”. Bapak sama ibu pulang ya nak” lanjutnya,

Kami terdiam, mukaku bersemu merah mengantar sampai depan, hingga sepeda motor bu dokter tidak terlihat lagi. Angin mengalihkan kisah, menyisakan sepi merengsek menuju fajar yang kian menggilas malam

*****

Malam ini menjadi sahur kelabu, sulit sekali memaksa memasukkan suap demi suap nasi dalam kondisi perasaan yang bercampur aduk. Biasanya sehabis salat malam menjelang imsak, kami menikmati sahur bersama, menu apapun akan terasa nikmat jika sahurnya bersama emak, namun demi kesembuhan emak, sesuai saran bu dokter, emak sebaiknya untuk tidak berpuasa sampai pulih kembali.

Malas sekali menjamah makanan yang sudah di hidangkan adikku, aku tercenung dalam lamunan, meleleh dalam kegamangan...

Duhai Robbi,

Emak memberikan cinta namun aku belum memberikan apa-apa,

Emak memberikan kami kasih namun aku belum bisa berbakti seutuhnya,

Bahkan ketika darahmu mengalir dalam tiap air susu yang dengan ikhlas diberikan kepadaku, emak telah memberikan nafas dalam kehidupanku,

Nikmat mana lagi yang akan aku dustakan ya robbana,

Kau korbankan hidupmu sepanjang masa, namun aku hanya pribadi yang belum bisa melukis harimu dengan kebahagiaan, merajut impian dan memenuhi kebutuhanmu. Karena kutahu berjuta kasih dari tiap tetesan keringatmu takkan mampu kubeli dengan cara apapun,mak jangan tinggalkan kami, izinkan aku berbakti melakukan itu mak,

“Kak, kita sahur yuk....” adikku membuyarkan lamunanku. Tak kusadari, dari tadi dia memperhatikanku. Semua terasa hambar dan nyaris tak mengundang nafsu, namun aku menjejalkan makanan, demi menjaga perasaan adikku. Pura-pura aku menikmati makanan itu hingga tuntas, sehingga tidak membuat pikiran adikku, kami larut dalam pikiran yang membisu dan menghabiskan nasi di piring masing-masing, Wahyuni membereskan bekas sahur, dan aku kembali ke kamar emak hingga azan subuh berkumandang.

“Mak, sudah subuh” aku membisiki telinganya, meskipun tidak tega melihatnya pulas tertidur namun aku harus membangunkanya. Setelah makan obat tadi, emak tertidur.

Sedikit kaget, emak mengucek matanya lalu berupaya untuk duduk, aku membantunya sambil memasang bantal di ujung kepalanya di sandaran dipan. “Emak, mau mengambil wudlu, le...”. Aku menahannya, namun emak meyakinkan bahwa dia sudah kuat. “Apa tidak sebaiknya tayammum saja mak atau baskomnya aku bawa kesini saja ya mak” emak menggeleng. Tatapannya begitu teduh seperti megharapkan perlindungan “Emak sekalian mau ke belakang le”. Aku luluh.

Emak berdiri dan aku mencoba memapah badannya. Bahu yang sudah mulai tidak tegak lagi ini seperti menamparku akan gigihnya pengorbanan, memegang tubuh tua emak menyadarkan betapa tanpa pamrihnya emak melakukan semuanya untuk kami, aku sengaja memperlambat jalan hanya untuk berlama-lama memegang emak, kebiasaam yang dulu pasti juga dilakukan kepadaku ketika masih kecil. Bukan hanya memapah tapi menggendongku kemana-mana, mengingatnya membuatku perih,

Setelah menyiapkan baskom berisi air, aku menunggu emak di luar kamar mandi, mungkin emak malu kalau aku menunggunya disana untuk menyelesaikan hajatnya, gemericik air terdengar bahwa emak sudah mengguyurkan air ketubuhnya untuk mengambil wudhu lalu setelah itu aku kembali memapahnya ke kamar.

Salatnya sambil duduk saja mak, aku membantu memasang mukenanya. Wajah emak berseri, menampakkan perkembangan baik, bergegas akupun salat subuh.

*****

Duhai robbi, yang jiwaku berada dalam genggamanMu,

Pagi merekah, meninggalkan gelap, mentari menantang ku dengan yukhrijuhum minazh zhulumaati ilan nuuri, Berulang kali ku sebut dalam keraguan ini, namun Kau jawab dengan dzaaliikal kitaabu laaraiba fihi hudaliilmuttaqin.

Pagi ini, kesehatan emak membaik, meskipun belum sangat pulih namun parasnya terlihat segar, ingin kukabarkan kegembiraan ini dengan bu dokter Salsa, lewat tangannya, Allah telah menjawab doa-doa ini, aku melenggang berjalan menuju rumah bu dokter, namun belum sampai menuju rumahnya, berjarak seratusan meter ternyata ada banyak petugas keamanan yang berjaga-jaga yang menghalangiku ke sana,

Dari ujung matanya yang wajahnya tertutup dengan masker, seperti menyimpan sesuatu dan dari ambulan turun beberapa orang yang memakai APD lengkap, seperti astronot berwarna putih, dari informasi yang di dapat ternyata bu dokter Salsa akan di isolasi, setelah beberapa jam sebelumnya bu dokter mengalami keluhan sesak nafas, di adakan tes cepat (rapid test), pemeriksaan menunjukkan hasil yang reaktif,

Kucubit tanganku untuk memastikan bahwa aku tidak bermimpi, terasa sakit, ya Allah, jika setelah isolasi pertama dan hasil swap menunjukkan positif covid-19, berarti suami bu dokter, emak, aku dan wahyuni adalah ODP bahkan PDP ?

EMAK 7 (Apa yang terjadi setelah bu dokter di isolasi)

Bak di sambar halilintar aku pulang dengan penuh ketakutan. Persendianku terasa gemeretak. Sulit untuk mempercayai, kejadiannya begitu cepat dan di luar nalar, sewaktu mengobati emak, bu dokter tidak menunjukkan gejala sedikitpun (OTG).

Faktanya pagi ini, beliau harus di uji secara cepat (rapid test). Ada keinginanku untuk mendapatkan kejelasan informasi tentang berita ini, namun debaran rasa yang tak bisa kuungkapkan membuatku lebih baik bersegera menemui emak.

Aku tercekat, bayangan tentang masker, jarum suntik dan berbagai alat kedokteran seperti mengeroyok pikiranku. Sedikit banyaknya pemberitaan tentang wabah corona yang sudah menjadi masalah dunia ini membuatku menjadi sangat ciut. Tak terkira sama sekali ternyata makhluk ini sudah mengintai orang-orang yang kusayangi di depan mata.

Ya Allah, jika akhirnya bu dokter di rawat inapkan sebagai pasien oleh tenaga kesehatan maka sudah dipastikan beliau berstatus PDP, ini sama artinya emak, aku, adikku dan juga suami bu dokter adalah orang-orang yang pernah kontak, yang dalam waktu dekat akan berganti sebutan sebagai ODP. Dunia terasa gelap mengingat ini semua. Kebersamaan yang akan berbentang jarak

Aku berjalan limbung, dadaku sesak, logikaku berantakan tersaput emosi yang sulit kukendalikan, mencemburui takdir lalu meratapi diri. Ada yang menghangat mendera mataku, turun tak terbendung. Membiarkannya berceceran dengan sangat deras dalam langkahku pulang, lalu menyungkurkan kepalaku di kaki emakku.

Ya robbi, kesabaran macam apa lagi yang Kau harapkan dari kami, sedangkan ujian hidup ini datang menghantam bertubi-tubi.

Emak memegang kepalaku, teduh sekali....

”Istigfar le, nyebut, Laa ta’ khudzuhu sinatuw wa la nauum, gusti Allah mboten sare, tak selembar daun yang jatuh tanpa sepengetahuan Allah, bahkan apa yang kita pikirkan,.....

Bukan Tuhan tidak mengetahui bagaimana remuknya hati kita le, bukan juga Dia tidak peduli dengan kepedihan perjalanan hidup kita, tapi Dia yakin kita akan mampu menghadapinya, bersepakatlah dengan hati yang lapang untuk memenangkannya.....”

Emak menenangkanku.....

Duh, ya Allah, begitu pintarnya setan mempermainkanku, apa yang kupikirkan ternyata tidak lebih hanyalah sejengkal kepala, saat merasa tak berdaya, tubuh ini terasa sangat lemas, hampir saja ketika dalam sekejap aku tidak melibatkanMu, godaannya hampir mengggelincirkanku....

Aku bersegera wudlu membakar kebencian, lalu menghabiskan pagi ini dalam bentangan sujud dan tadarrus, hingga siang merekah.

******

“Assalamualaikum......” ucapan salam dari luar rumah, suara yang tidak asing di telingaku, seperti suara pak RT batinku.

“Waalaikumsalam...” terdengar suara Wahyuni adikku menjawab sambil membuka pintu, aku keluar untuk memastikan siapa yang datang.

Laa hawla wala quwwata illah billah,

Al-matsurat di tanganku terlepas, di luar rumah sudah dipenuhi oleh beberapa orang yang berpakaian astronot, petugas keamanan dan pak RT, sebuah ambulan telah parkir di depan rumah.

Kupersilahkan tamu tamu yang tak kuharapkan kedatangannya ini masuk, beberapa tenaga medis yang memakai Alat Perlindungan Diri (APD) ke kamar emak melakukan skrining awal untuk mendeteksi antibodi, tindak lanjut dari penelusuran orang-orang yang pernah kontak langsung dengan bu Dokter Salsa.

Pemeriksaan yang dimaksudkan untuk memastikan apakah emak, aku dan adikku wahyuni terinfeksi covid-19 menjadi pengalaman sedih yang tidak pernah kuimpikan sama sekali, jika bisa menghilang dari hadapan mereka mungkin itu yang akan kulakukan,

Alhasil, meskipun hanya sedikit namun tidak tega rasanya menyaksikan di depan mata, ketika jarum suntik kecil itu mengambil sampel darah dari ujung jari emak yang masih lemah, mendengar pilu tangisan adikku lalu merasakan sendiri betapa pedihnya ketika cairan merah dari masing-masing tangan kami di teteskan ke alat rapid test.

Selanjutnya lebih kurang 15 menit kemudian setelah bercampur dengan cairan yang menandai antibodi, nampaklah garis indikasi pertanda kami terpapar atau tidak, jika ke arah positif, besar kemungkinan kami terinfeksi, namun jika hasilnya negatif artinya tubuh ini belum pernah membentuk antibodi terhadap virus ini,sama artinya kami selamat.

Setelah selesai aku dan adikku diminta bergeser sedikit, terlihat Pak RT dan para perawat terlibat perbincangana serius. Sesekali pak RT mengangguk.

Hasilnya membuat aku menjerit histeris, meskipun negatif namun dengan berbagai pertimbangan, emak harus dibawa untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.

Aku menyembah sambil terisak, namun meskipun mereka juga bersedih, demi kesehatan emak sendiri, dan keselamatan orang banyak, mereka akan tetap membawa emak. Setelah mempersiapkan segalanya, rombongan astronot ini membawa emak, meninggalkan kami termangu.

Covid-19 mengurung kami diruang sunyi, lalu riuh rendah menjadi senyap tanpa suara, sepi berbingkai kerinduan, dan kami menjadi bagian dari kebersamaan, yang berbentang jarak

********

EMAK 8 (Hari-hari tanpa bayangan)

Bujukan perawat membuat diriku tersirap merelakan emak untuk di bawa ke rumah isolasi. Tatapannya berhasil memberikan keyakinan bahwa proses ini tidak akan lama, namun ternyata sudah lebih dua pekan berjalan emak tak kunjung pulang.

Kami dipisahkan dalam rindu yang meringkuk kedinginan, menyiksa raga, berderai dalam temaram yang menundukkan asa, memberikan warna lain dalam wujud yang tidak biasa,

Dalam denyut putaran waktu, yang kulakukan hanyalah menghitung hari. Bergemuruh cemas dalam debar, membulir merendah, memilin harapanku yang kian hari makin menggelegak tak bisa di ajak kompromi,

Duhai robbi,,,,berpagi hari aku mengucap syukur sehingga Kau sempurnakan nikmat kami, lalu bersore hari aku menutupnya dengan doa yang sama berharap dalam masa penantian ini Kau lindungi kami dengan KemuliaanMu

Rasa kangen dengan emak kian mencabik hati, terutama ketika melihat adikku merajuk menangis menanyakan emak. Yang kusampaikan bukanlah cerita tentang kesabaran, namun mengajak adikku untuk kuat, meskipun seperti apa nanti ujungnya, aku masih percaya, semua yang terjadi menjadi bagian skenario yang terbaik dari tuhan,

Diantara kamar emak yang kosong tak berpenghuni, keranjang tempat emak membawa sayur ke pasar yang mulai berdebu, derit pintu kamar tengah malam ketika dengan jiwa keibuannya, emak membangunkanku untuk bersama melaksanakan qiyamuul lail tak lagi terdengar, semua menjadi ruang rindu yang tak terobati, tanpa kata, tanpa cerita, gelap .

Aku terlelap

*****

Sirine yang meraung-raung dan teriakan sahur dari corong mesjid membangunkanku. Wajah polos Wahyuni masih terlihat mendengkur, setelah mengirimkan tugas sekolah ke gurunya selesai berbuka, dia ternyata terlelap di atas tikar daun depan kamarnya. Sengaja sahur ini aku yang akan menyiapkan makanan,

Masa isolasi emak menjadi hari-hari sulit bagi kami, berbekal sisa persediaan bahan pokok yang mulai habis di dapur, aku dan wahyuni mencoba bertahan untuk tetap kuat, hingga sahur ini, aku menjadi sangat bingung di buatnya,

Pada minggu-minggu awal, mungkin saja atas dasar kasihan, kami masih sering mendapat antaran takjil, bahkan tidak jarang ketika sahurpun sering ada yang memberikan sayur masak namun belakangan dengan kondisi ekonomi yang sudah mulai sulit, membuat tetangga tidak bisa berbagi lagi.

Kamipun tidak bisa berharap banyak, bahkan untuk sekedar bermainpun, teman-teman seperti mulai membatasi diri, akupun maklum mengingat kami dalam proses isolasi mandiri, wajarlah jika perlahan mereka mulai menjauh.

Mondar mandir aku di dapur dengan perasaan kalut, kaleng roti tempat emak biasa menyimpan beras ternyata kosong tak bersisa sebijipun, sayuran segar yang tidak laku dijual yang biasanya akan menjadi menu harian kamipun sudah tidak ada lagi, yang tersisa hanya sekeping tempe, bawang merah dan cabe yang sudah kering kisut. Di dalam panci, masih ada nasi sisa,

Mataku menoleh ke pintu kamar emak, berharap ada sesuatu di sana, namun tak kutemukan juga. Aku menunduk, dengan mata berlinang kupanaskan sepiring nasi sisa ifthor (berbuka) untuk disantap sahur, tempe kupotong tipis, lalu kugoreng, cukuplah untuk adikku nanti. Biarlah nanti aku akan meminum air sebanyak-banyaknya, semoga aku kuat batinku.

“Dek, bangun, sahur.....” kugoyang goyang bahu adikku, tubuhnya sedikit menggeliat, lalu matanya terbuka.

Kutunggu beberapa saat hingga benar-benar siuman, kebiasaan buruk adikku yang sering membuat aku harus berulangkali membangunkannya adalah tidak jarang dia akan tertidur kembali jika tidak dipastikan, namun malam ini adikku cepat sekali merespon, sambil duduk, mulut itu menjawab, “Iya Kak....”,

“Tadi, kakak sudah duluan sahurnya, perut kakak lapar sekali, di dapur sudah kakak siapkan nasi dan gorengan tempe”, “Cuci muka dulu sana....”,adikku mengangguk,

Aku memalingkan muka, sedikit terguncang dengan kebohongan ini

“Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang orang yang bersama kami dan yang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan engkau, beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki yang paling utama.” (QS. Al-Maidah/5: 114)

Aku bersegera wudlu, menghidupkan malam seperti kebiasaan bersama emak hingga subuh tiba

*****

Dari kejauhan emak melambaikan tangan ke arahku, berdiri di sebelahnya lelaki tua yang tidak aku kenali, seumuran emak. Tidak terlalu gagah namun tubuhnya bersih sekali, aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan, terlihat sangat ramai hari ini, Kerumunan orang banyak membuatku sedikit terhalang,

Emak tersenyum lebar, dengan bajunya yang serba putih, ujung jilbabnya terlihat meliuk-liuk di permainkan angin,

Ya Allah tidak pernah emak sebahagia ini, tidak terlihat beban hidup yang selama ini menderanya, tubuhnya bersih, mukanya merah terlihat bersinar, wajahnya sangat segar, tak nampak sedikitpun kerutan,

Emak terus tersenyum memandangiku, rona kegembiraan terpampang dengan sangat jelas, emak seperti menemukan apa yang selama ini menjadi impiannya,

Emak terus tersenyum....senyum yang begitu kurindukan. Senyum yang selama ini menjadi pelepas dahaga kasih sayang, senyum yang selalu dimiliki emak membuat hidupku begitu bermakna

Emak yang kusayangi...emak yang kuharapkan, tak sabar aku ingin memeluknya,

Aku berlari menerobos menyongsong kedatangan emak, berteriak berharap emak segera mendengar panggilanku

Namun, sekelebat bayangan seperti membuat tubuh emak perlahan lenyap, aku lunglai,

Aku memekik sekuat tenaga......eemmmhm,,.emha.....emhhhhh

“Kak....kakak” wahyuni membangunkanku....kakak kenapa?

Tubuhku basah berkeringat, "Duh, ya Allah aku bermimpi rupanya.

*****

EMAK 9 (Kabar dari Pak RT)

Dibelahan dunia lain,

Negeri Arab pernah mengalami keadaan yang sulit, tanah begitu kering, dalam kondisi kemarau yang sangat panjang, masyarakat hidup dengan serba keterbatasan,

Pernah suatu ketika, dalam perjalanan malamnya menuju kampung kecil di Madinah, bersama sahabatnya Aslam, langkah Khalifah Umar tiba-tiba mendadak berhenti persis di dekat sebuah tenda lusuh.

Beliau mendengar suara tangisan anak kecil yang cukup membuatnya terusik, khalifah umar ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi,

Setelah mendekat, didapatilah seorang perempuan tengah duduk di depan perapian sambil mengaduk-aduk panci.

Khalifah Umar mengucapkan salam sembari meminta iizin untuk mendekat.

Lalu beliau bertanya " Siapa yang menangis bu?" tanya Khalifah Umar.

" Anakku," sangat ketus jawabannya

" Mengapa,anakmu menangis? sakitkah?" lanjut khalifah,

Perempuan ini menyahut, lagi-lagi dengan penuh emosi "Tidak, mereka lapar"

Khalifah Umar dan Aslam tertegun cukup lama. Perempuan itu seperti membiarkan saja anaknya terus menangis, yang dilakukan hanyalah terus menerus mengaduk panci,

Khalifah Umar heran "Ibu, sedang memasak apa? Masih lamakah matang masakanmu itu?"

Dengan sangat marah perempuan itu " Kau lihatlah sendiri!",

Setelah melihat isinya, terkejutlah khalifah umar ? "Ibu memasak batu?"

"Ya, demi menghibur anakku, aku membohonginya dengan memasak batu. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak pernah tahu apa yang dirasakan oleh orang di bawah, tidak pernah melihat apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum," lancar sekali perempuan itu ,

"Aku ini seorang janda. Dari pagi, kami belum makan sama sekali. Anakku terpaksa kusuruh berpuasa, dengan harapan saat tibanya waktu berbuka, akan ada rezeki. Namun hingga maghrib tiba, belum ada yang dapat kami santap. Anakku kupaksa tidur dengan perut kosong.

Kukumpulkan batu kecil, lalu kumasukkan kedalam panci kemudian kurebus, untuk membohongi mereka, dengan harapan akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Rasa lapar, membuat mereka sebentar-bentar terbangun menangis" rutuk perempuan ini "Umar bin Khattab pemimpin macam apa?

Perempuan ini tidak tahu yang di ajaknya bicara ini adalah Khalifah Umar bin Khattab. Aslam hendak menegur, namun khalifah justru mencegahnya sambil menangis. Khalifah Umar lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengajak segera pergi kembali ke Madinah. Begitu tiba beliau langsung ke Baitul Mal dan tanpa mempedulikan rasa lelahnya, di panggulnya sendiri sekarung gandum tersebut di punggungnya. Aslam menjadi tidak enak hati,

"Wahai Amirul Mukminin, biar diriku yang mengangkat karung gandum ini"

Wajahnya Umar merah padam lalu berucap dengan suara yang tinggi,

"Jangan jerumuskan aku ke neraka. Jika kau gantikan aku memikul beban ini, maukah dirimu juga memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?"

Aslam tertunduk.

Dengan terseok, Umar mengangkat karung hingga ke tenda tempat tinggal perempuan tadi. Sesampainya Aslam dan Khalifah Umarpun memasak makanan yang akan disantap oleh Perempuan dan anaknya yang menangis tadi,

Setelah memastikan masakan di makan, tenanglah hati Umar, sambil berpamitan beliau berucap “Besok temui Amirul Mukminin dan kau bisa temui aku juga di sana. Insya Allah dia akan mencukupimu" katanya

Seperti yang dijanjikan, datanglah perempuan itu. Betapa kagetnya dia ternyata sosok Amirul Mukminin itu adalah orang yang telah memasakkan makanan untuk dia dan anaknya.

"Maafkanlah diriku, aku telah menyumpahimu dengan kata yang tidak pantas, hukumlah aku”

"Ibu tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku berdosa membiarkan seorang ibu dan anak kelaparan di wilayah kekuasaanku. Bagaimana aku mempertanggung jawabkan ini di hadapan Allah? Maafkan aku, ibu," kata Khalifah Umar.

******

Aku seperti mengulang kisah,

Sore yang membuatku tak bisa berucap apapun, bingung hendak berbuat apa. Tak sesenpun uang kupegang, tabungan yang rencananya untuk biaya berobat emakpun telah habis kubelanjakan untuk kebutuhan dapur,

Ya robbi, apa yang akan kami makan ketika berbuka nanti, sedangkan persediaan kami telah habis,

Meminjam uang ke tetangga atau meminta makanan tentu sangat naif dan tidak mungkin kulakukan, apa kata emak jika sampai ini terjadi.

Ke masjid? Tidak ada takjil di sana, karena jangankan berbuka puasa bersama, untuk salat wajib dan salat tarawih berjamaah saja sudah tidak dilakukan di masjid. Himbauan Phisical distancing, membuat segala yang bersifat kerumunan harus di batasi,

Duh....andai emak ada di sini, tak akan segusar ini. Perutku terasa nyeri sekali,

Alhasil, ketika aku hanya bisa memasak air, bingung apalah kiranya yang hendak aku dan adikku Wahyuni makan, tiba-tiba pak RT datang menbawa bantuan sembako yang pernah di tolak emak, kali ini dua kotak besar.

“Le, ini jatah minggu pertama, dan ini minggu kedua. Bapak tahu kalian pasti membutuhkan ini” Ujar Pak RT “Inggih pak” jawabku.

“Tadi bapak dapat kabar juga, bu dokter Salsa negatif sehingga sudah di bawa pulang, mbok, emakku masih menunggu hasi uji SWAP, jika negatif emak akan menyusul pulang”

“Ya Allah ya Fattah Ya Razzaq, pembuka jalan, pembuka langit, pembuka ampunan, pembuka rejeki. Apa yang selama ini tertutup atas izinmu Kau bukakan pintu itu dengan tidak terduga pada waktu yang tepat, tenyata Engkau memang memberikan apa yang aku butuhkan, bukan yang aku inginkan.....”

Aku langsung sujud syukur

******

EMAK 10 ( Pelajaran berharga dari emak)

Dari corong masjid azan magrib terdengar berkumandang, pertanda waktu berbuka puasa telah tiba. Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa'ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar roohimin.

"Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang."

Alhamdulillah sujud syukur tak terhingga, perasaan bahagia dan senang melihat adikku cungap cangip melahap bingkisan yang diantar oleh pak RT tadi siang. Aku sengaja membiarkanya memilih dengan penuh leluasa berbagai varian rasa dari roti kaleng itu.

Adikku tersenyum merekah, aku membalasnya dengan senyum. Mataku panas dalam keharuan rasa namun buru-buru aku mencongak ke atas kawatir air mataku jatuh di depan adikku. Bagaimanapun, aku menjadikan emak sebagai teladan dalam kekokohan bersabar.

Begitu mudahnya membuat kami bahagia, bukan tentang harta yang bergelimang, bukan tentang tahta, bukan tentang gemerlapnya dunia, namun bagaimana kami tetap bersyukur dalam kondisi apapun.

Tanpa bermaksud membenturkan dua peradaban yang berbeda, semoga seperti kisah khalifah Umar, gerak langkah pemimpin negeri inipun akan senantiasa melakukan aksi nyata yang menggembirakan, tanpa menorehkan luka.

Alhasil, skenario Allah memang sulit dimengerti alasannya, namun dari tiap sesi selalu memberikan pelajaran yang berharga, terkadang emosi seperti mempermainkan kesabaran, otak terasa mau pecah, perasaan menjadi bergejolak, adrenalis naik turun seperti main plosotan, lalu diri ini seperti tidak menerima terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dan hati mengeluh,

Beruntungnya Tuhan memberikan teguran yang teramat halus akan sikap-sikapku yang ternyata salah. sungguh skenarioNya teramat indah.

Duhai robbi, lisan ini makin tak terjaga, hati ini sangat lemah dan mudah terbawa suasana, terpancing memikirkan sesuatu yang seharusnya tak pantas kulakukan untuk orang sebaik emak.

Aku tercenung, pikiranku wara-wiri mewarnai keseharian dua minggu ke belakang, meskipun awalnya kudebat dengan berbagai dalih, lalu aku berbeda pendapat dan sempat bingung dengan keputusannya, namun malam ini aku seperti tertampar dan begitu malu telah meremehkan emak dengan sikapnya yang kupandang kolot.

Andaikan emak tidak menolak bantuan sembako pada waktu itu, apa jadinya menjalani hari-hari yang penuh dengan ketidaknyamanan ini.

Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. QS. An-Naml 27:19)

******

Berdiri dalam lorong waktu, melewati kisah ini sungguh bertaburkan banyak hal yang menggetarkan jiwa, beberapa episode terkadang tidak kuinginkan namun menyadari setiap peristiwa ini merupakan campur tangan tuhan, aku harus ikhlas.

Membayangkan wajah emak dan kesembuhannya menjadi penyemangat yang begitu kuat terpatri di dada ini, di balik tangan keriputmu ada perjuangan yang tak mungkin kubalas. Emak..........

******

EMAK 11 (Ada kejadian mengejutkan di rumah sakit)

Aku dan adikku tiba di rumah sakit pukul sembilan pagi, dengan didampingi oleh pak RT dan bu Dokter Salsa. Pak RT memarkirkan mobilnya di area depan.

Di musim wabah covid-19 berada di rumah sakit tentu membuatku menjadi sangat takut. Bagaimanapun juga, area pusat kesehatan menjadi wilayah yang sangat rentan untuk terpapar virus yang mematikan ini,

Rsiko penularannya terhitung cukup tinggi, oleh karenanya perlu kehati-hatian ketika berada di sini. Sebelum berangkat masing-masing sudah diberi masker oleh bu dokter untuk dipakai.

Kami berjalan berjejer mengikuti langkah bu dokter. Sesekali terdengar perawat menyapa bu dokter. Petugas kesehatan terlihat sibuk lalu lalang berjalan di lorong-lorong rumah sakit, kebetulan rumah isolasi emak adalah ruang paling belakang, oleh karenanya ada beberapa prosedur protokol keamananan untuk pencegahan covid-19 yang harus kami lalui untuk sampai di ruang yang hendak kami tuju.

Mencuci tangan dengan hand sanitizer dan menjaga jarak adalah hal yang mutlak ketika memasuki zona ini,

Semakin mendekati ruangan, semakin sering melihat perawat yang memakai Alat Perlindungan Diri yang lengkap, baju tertutup rapat seperti astronot, dan setiap kali melihatnya aku menjadi begitu ketakutan yang membuat degupan jantungku berpacu dengan sangat cepat.

Keinginan untuk segera bertemu dengan emak mengalahkan semua rasa phobiku terhadap rumah sakit dan jarum suntik.

*****

Beberapa orang berjejer di bawah cahaya matahari, rupanya itu adalah waktu berjemur untuk pasien dalam pengawasan yang sedang menjalani masa isolasi. Mataku dengan sangat liar memperhatikan mereka untuk mencari keberadaan emak, namun sosoknya tidak terlihat sama sekali,

Bu dokter mendekati petugas di bagian depan yang memakai APD lengkap, lalu masuk keruangan yang terlihat juga di jaga oleh beberapa orang petugas keamanan, aku, Wahyuni dan Pak RT menunggu di luar.

Sambil duduk di ruang tunggu, mataku nanar. Berulangkali kusapukan pandangan, namun tetap tak menemukannya, aku makin was-was. Duh...robbi kemana emak ya?

Setelah dua pekan berpisah, yang ada di otakku hanyalah emak. Selama masa itu aku dibuat menjadi sangat tidak sabar. Sesekali aku berdiri lalu duduk kembali. Beberapa obrolan pak RT untuk mengalihkan perhatianku hampir tak begitu serius kugubris, aku ingin emak, aku ingin ada kabar baik yang bisa menenangkan. Ya robb, tenangkan hati ini

Tak lama seorang petugas kesehatan memanggil kami untuk segera masuk, bergiliran kami di minta mencuci tangan, merapatkan masker lalu di periksa kembali. Termometer tembak di arahkan, sinar laser merah itu mengarah tepat di bagian kening yang ingin diukur, pada bagian belakang akan nampaklah angka yang menunjukkan suhu badan.

Setelah Pak RT, aku menjadi giliran berikutnya mengikuti apa yang dilakukannya, mendekati perawat dan diperiksa dengan termometer, namun, sesuatu yang mengejutkan terjadi, ketika adikku diperiksa, wajah petugas berubah seketika.

Dia memanggil temannya yang duduk tidak jauh dari tempat pemeriksaan, terlibat obrolan kecil kemudian termometer tembak berpindah tangan, lalu adikku diperiksa kembali oleh petugas yang baru. Sedikit mundur ke belakang lalu menelepon, entah siapa yang di hubungi, namun aku menangkap ada kepanikan,

Beberapa tenaga medis lengkap memakai APD datang membawa kursi dorong untuk pasien dengan terburu-buru, adikku dengan sangat pasrah berjalan ke arah kursi, mendudukinya lalu di dorong menjauhi kami menuju ruangan, pekikan tangisan adikku sangat nyaring terdengar, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Akupun hanya bisa menangis menyaksikan adikku yang semakin jauh. Aku nyaris pingsan mendengarnya, ternyata hasil pemeriksaan pada adikku wahyuni menunjukkan gejala terpapar covid-19.

Ya robbana, begitu sesaknya dadaku, langit seperti runtuh menghantamku dengan sangat keras, setelah emakku, kini adikkupun menjadi mangsa makhluk jahannam itu, ujian apa lagi ini.

Ruangan terdengar sangat senyap, semua mematung. Pak RT memelukku. Mataku sembab, airmataku mengalir bak air bah jatuh tanpa bisa kutahan lagi..

*******

EMAK 12 ( Realita tidak seindah idealita)

Suasana menjadi terasa sangat kaku, tak tahu lagi apa yang terjadi dengan adikku wahyuni, yang menjadi fokusku saat ini adalah bertemu emak.

Setelah sesi pemeriksaan selesai, waktu yang ku tunggu-tunggupun tiba, dengan di temani perawat yang berpakaian astronot (aku selalu menyebutnya begitu, karena sangat stress dengan istilah-istilah corona yang belakangan cukup menjadi momok), kami di arahkan ke sebuah kamar isolasi,

Bismillahirrohmanirrohim....robbi, kakiku tak cukup kuat menopang tubuhku, aliran darahku seperti di pompa berlipat kali dan aku berkeringat dingin makin gemetaran untuk kali pertama setelah berpisah dengan emak, ini adalah hari itu,

Pintu ruangan di buka oleh perawat yang menemani, binar kebahagiaan terpancar dari raut wajahnya, sama seperti yang ku lihat di mimpi, aku seperti melayang tak menginjak bumi menyaksikan ini. Emak berdiri persis di depanku, aku menghamburkan tubuh.

Tidak ada ketaatan yang melebihi ketaatan kepada Allah, namun untuk seorang emak yang telah memberikan hidupnya untukku, mencium tangannya lalu merebahkan kepalaku di kakinya adalah surga terindahku. Aku hanya memuliakannya,

Terbungkuk emak mengangkat badanku, lalu dia menciumi pipiku. “Emak, jangan tinggalkan kami pergi”, Emak menggangguk, tetap seperti emak yang ku kenal, tanpa tangisan, tanpa keluhan.

Tidak banyak menghabiskan waktu disana, sambil membawa tas pakaian emak, kami bersegera keluar menuju ruangan adikku. Pak RT, juga bu dokter Salsa dengan setia berada diantara aku dan emak.

Rupanya untuk menghindari shock, keterkejutan dan mungkin dapat berefek buruk, pihak rumah sakit sudah memberikan penjelasan kepada emak tentang hal ikhwal adikku wahyuni, kabar terakhir yang aku dengar adikku sedang menjalani perawatan yang cukup intensif, ada yang tak terduga terjadi.

******

Takdir Tuhan datang dengan skenarioNya yang baru, apa yang kupikirkan tak seindah yang terjadi, idealita tidak sama dengan realita, bergetar keluh lidah ini, berulangkali aku istigfar......astaghfirullahal adzim....

Hasil swab emak, negatif, sehingga dengan keyakinan bahwa emak tidak terpapar covid-19 membuat masa isolasi berakhir, namun sayangnya, kebahagiaan hari ini tidaklah sesempurna yang kuharapkan, terkadang ekspektasi yang tinggi terhadap suatu pengharapan harus takluk dengan suatu keadaan. Pagi ini menjadi kenyataan terpahit

******

Di atas ranjang pasien, adikku terbujur lemas. Emak duduk diam di kursi plastik yang sudah disiapkan, namun cukup jauh jaraknya. Protokol keamanan hanya bisa menatapnya tanpa sentuhan, aku berdiri dbelakang, sambil memegang lengannya. Selang ventilator terpasang mengarah ke hidung adikku, di sampingnya juga ada tiang infus dan beberapa alat kesehatan lainnya,

Beberapa waktu setelah di bawa memasuki kamar periksa. kata bu dokter, adikku mengalami kesulitan bernapas secara mandiri, oleh karenanya dengan bantuan alat diupayakan akan memompa udara selama beberapa detik untuk menyalurkan oksigen ke paru-paru, sempat normal namun kemudian sesak kembali,

“Kami membawa kesini karena setiap saat dia selalu memanggil emak, wahyuni cukup gelisah dari tadi” lanjut bu dokter “Mudah-mudahan kehadiran emak bisa membuatnya tenang....”

Aku tahu emak begitu ingin mendekat, namun aturan keselamatan mengharuskan kami harus patuh, yang bisa dilakukan hanyalah berdoa,

Tangan adikku bergerak, dengan reflek membuat emak berdiri, aku memegang emak dengan kuat untuk menahannya, matanya membuka sedikit,

“Iki emak nduk...” seperti mencari sumber suara, adikku menoleh ke arah emak.

“Mak, dadaku sakit sekali,....” emak mengangguk,

“Harus kuat, ya nduk” lalu emak tersenyum, adikku tersenyum lemah, menatap lama ke emak lalu perlahan menutup mata, terdengar dia sedikit meregang, terdengar dengusan nafas dangan cukup kuat. Adikku terkulai

Bu dokter mendekat diikuti perawat yang dari tadi juga berdiri, terlihat garis-garis yang tidak aku mengerti di layar monitor dengan pergerakan yang melambat,

Ya..mujibassa ilin....

*******

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tak bisa menulis banyak saat mata basah dan dada sesak.... keren....membacanya seolah akulah yang mengalami..

09 May
Balas

Terima kasih bu apresiasinya

09 May

Semakin mendebarkan kisahnya pak...

15:37
Balas

Terima lasih bu

16:38

Mantap Bang, smoga segera dibukukan, dan sukses selalu. Salam

00:57
Balas

Aamiin, salam

16:38

Ceritanya keren Bang! 12 bagian sy lahap dlm 1 x duduk. Alurnya mengalir, diksinya bgs, sarat pesan moral jg. Top markotop pokoknya. Ditunggu klnjutannya. Salam literasi dari Bangka. Btw, dari OKU ya Bang? Sy aslinya Palembang. Salam knal.

09 May
Balas

Ya betul, mksh byk

09 May



search

New Post