Radinopianto

Alam ini seolah miniatur kehidupan masa depan, yang tak cukup dengan diam atau duduk santai sambil menyeruput kopi, Hidup ini bukan mimpi. Takkan sampai jika ta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Melangitkan Rida di Awan Panas Semeru  (Episode 17. Lokasi Hunian Sementara)

Melangitkan Rida di Awan Panas Semeru (Episode 17. Lokasi Hunian Sementara)

Seusai Subuh. Gurat keindahan Semeru masih terentang kasat mata. Kejernihan langit yang terpancar di puncak paku bumi berapi tertinggi di pulau Jawa itu sungguh memesona, wajarlah jika kemudian mengundang banyak penggila gunung untuk mendatanginya.

Tak ada yang menyangka jika kemudian panorama yang indah dengan alamnya yang asri terban meluapkan isinya dengan diliputi kengerian erupsi menjelang sore itu.

Meski tak begitu segar udaranya, namun suasana seputaran pegunungan tetap memberikan hawa yang cukup enak untuk dinikmati sambil olah raga pagi. Yanti dan Aminah berjalan-jalan menuju lokasi yang akan dijadikan tempat untuk dibangun hunian sementara.

Efek kelelahan, membuat Dewi yang berbobot cukup berisi lebih memilih leyeh-leyeh di posko.

Tak dipungkiri, kedekatannya dengan Yanti, membuat Aminah mulai membaik. Secara psikis memang masih ada tekanan yang acap kali menggelisahkan namun cara Yanti memperlakukan Aminah, melayaninya dengan sepenuh hati membawanya untuk mulai bisa berterima akan kenyataan yang menerpa.

Ibu Fatimah, Emaknya Aminah. Memang sosok yang tak tergantikan, tiap desah nafas dalam putaran waktu, hari-hari Aminah senantiasa diliputi penantian berkepanjangan namun bak ditelan bumi, jangankan fisiknya, kabar beritanya pun seperti bersembunyi. Bila sudah mengingatnya, Aminah akan terbawa suasana.

Sambil duduk menatap ke arah puncak Semeru, Yanti menepuk-nepuk kaos kakinya yang berdebu karena abu vulkanik. Aminah di sebelahnya menyerut air mineral yang dimasukkannya di kantong gamis sebelum berangkat pagi tadi.

“Semoga Allah mencukupkan rezekimu dan mengabulkan apa yang diiinginkan untuk bisa melanjutkan pendidikan ya, Dik,” ujar Yanti di sela obrolan.

Aminah diam, lama sekali dia menjawab, itu pun hanya anggukan yang terlihat sangat ragu.

Yanti salah tingkah dan cukup menyesal. Menyadari ucapannya bak membukakan luka lama mengalihkan obrolan. “Kita jalan lagi yuk.”

Tak mudah memang. Menumbuhkan harapan di tengah ketidakberdayaaan nasib, takdir yang telah memporak-porandakan semua yang telah berhasil dibangun terasa bak pungguk merindukan bulan. Bahkan jangankan untuk berpikir lebih jauh mewujudkannya, bermimpi pun menjadikan Aminah sangat takut.

******

Kawasan Sumber Mujur, di Kecamatan Candipuro sudah begitu terbuka, Pembersihan lahan beberapa minggu ke belakang telah mencapai pada tahapan meratakan tanah, tentu menunjukkan progres yang cukup menggembirakan.

Pasca turunnya izin penggunaaan lahan Perhutani, pemerintah daerah sebagai pemangku kepentingan mulai bekerja ekstra. Alat-alat berat telihat sibuk beroperasi di kawasan hutan, orang-oang PLN juga telah memasang instalasinya, konon penyulang Pronojiwo akan menyuplai aliran hingga ke pintu utama kawasan huntara, menjadi sebuah harapan yang sedang ditunggu.

Memulai sesuatu yang baru bukanlah pilihan menyenangkan di tengah kebimbangan untuk terus bertahan di lokasi milik mereka yang telah memberikan kenyaman, namun pilihan menerima untuk direalokasi adalah pilihan yang cukup bijak.

Aminah menangis. Yanti mendekapnya dengan sangat kuat. “Apa yang merisaukanmu, Dik?”

Sambil berdiri menyapu jauh ke depan pandangannya, “Di bawah itu, Kak.” Yanti mengalihkan pandangan heran ke wajah Aminah. “Iya, kenapa?”

“Di bawah tegakan itu, Emak menjadi Pesanggem (Petani penggarap) dengan menanam sayuran. Aku selalu ikut serta sepulang sekolah dengan mengambil pakan untuk kambing dan sapiku.” lirih terdengar.

Duhai Robbi, kenyataan yang juga cukup mengiris ketika kemudian lahan hasil menumpang itu tidak bisa ditanami lagi…

Peluru kebijakan menguntai banyak cerita, sepenuhnya belum mampu menyudahi kisah. Mengelana di kaki langit, otak terasa meleleh. Tiap hari menggurat tanah dengan meruahnya netra.

Bumantara Semeru merah, terkadang kuning, sesaat orange, lalu tiba-tiba menghijau. Membuta realita dalam pelangi zona langit membersamai hari-hari sulit.

Bersambung…..

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Selalu penuh gizi, diksinya luar biasa, salut unutk amsi Dino, sukses selalu

16 Jan
Balas

Terima kasih bu apresiasinya...aamiin. doa yang sama

16 Jan

Terkesan dg Dewi yg berbobot

16 Jan
Balas

Hehehe..siap bu

16 Jan

Waiting 4 U in my blog, Sir..he..he

17 Jan

Keren. terban artinya apa? Apa bukan terbang? Di bawah

16 Jan
Balas

Terban itu di KBBI artinya runtuh, rusak binasa. Kata laim dari roboh

16 Jan

Selalu keren cerita nya. Mantap pak. Salam sehat selalu.

16 Jan
Balas

Terima kasih bu..salam

17 Jan

Duh ya Allah nasibmu Aminah, semoga badai segera berlalu, meleleh bacanya bang

16 Jan
Balas

Iya mbak...aamiin

16 Jan

Selalu keren dengan tulisannya, sukses selalu pak.

16 Jan
Balas

Terima kasih bu apresiasinya..aamiin

17 Jan

Salut, kepada bapak yang bisa membuat Novel. Saya mencoba buat novel aja. baru 1 bab sudah menyerah.

17 Jan
Balas

Wah...saya harus berguru nih sama Bapak...keren banget tulisannya...

16 Jan
Balas

Wah..saya baru belajar bapak..sama sama belajar kita

16 Jan

Keren..permainan kata yg luar biasa...menusuk hati dan membawanya terhanyut dlm cerita..salam literasi

17 Jan
Balas

Terima kasih ibu..aamiin

17 Jan

Sehat selalu...aamiin

17 Jan



search

New Post