Melangitkan Rida di Awan Panas Semeru (Episode 18. Cerita Aminah)
Terik yang mulai terasa menyengat kepala membawa Aminah dan Yanti merapat ke arah tenda kompi milik TNI, di arah bekas lapangan desa untuk mencari tempat beristirahat.
Alat-alat berat sudah mulai mengaum mencakar tanah, demi percepatan membangun kembali infrastruktur yang sempat babas-bingkas terdampak erupsi, termasuk juga korban banjir lahar dingin yang turut melengkapi ujian yang sedang menerpa kawasan Semeru
Seminggu belakangan lokasi ini cukup ramai. Kehadiran para pembesar yang meninjau langsung lokasi tak lain menjadi sumbangan kekuatan yang memberikan kepastian berakhirnya kejenuhan di posko pengungsian.
Tak hanya huntara yang konon akan berubah menjadi hunian tetap, satu kesatuan paket lengkap pendukung seperti halnya juga sarana-prasarana sekolah, tempat ibadah termasuk pemakaman menjadi target dalam upaya penanganan bencana ini.
“Bapakku dulu penambang pasir, Kak.” Sambil menunjuk ke arah kaki gunung, Aminah tanpa diminta menceritakan tentang hidupnya yang lalu. “Ada sungai di sana, mata airnya jernih dan banyak pepohonan yang menghijau.”
“Suatu hari, persis di hari lahirku, emak sedang sibuk membuatkan Lontong Petis untuk dibagi dengan teman mainku, Bapak sengaja berangkat pagi rencananya sore akan mengajakku jalan ke pasar Klojen Lumajang, sambil membawa buah kelapa untuk dijual.”
“Namun…….” seperti tercekat, suara Aminah mengecil dan tangisnya pecah.
Mengigit-gigit bibir bagian bawah dengan giginya, sementara mengalir deras buliran bening dari mata sayunya. Yanti diam terharu sambil merapatkan badannya memeluk Aminah. Badan Aminah berguncang hebat.
“Lahar panas yang mengepulkan asap belerang menimpa Bapak dan seketika itu juga………,”
Yanti mendengus. Meski Aminah tak melanjutkan ceritanya, Yanti tahu terusan kepedihan itu. Penuturan Aminah mengaduk semuanya, menguak kisah yang ternyata berulang.
Tangan prahara membungkam gelak yang membawa nama dalam rindu
Rabb, andai Emaknya Aminah tak juga diketahui, haruskah dirinya akan terus mengunjungi sunyi dalam gelas-gelas kaca retak, menyerpih menjadi puzzle kenangan pahit pada bilik tak terjamah dari sanubari yang di dalamnya bersemayam sebuah makam tanpa nama dan sepanjang hidupnya akan terus membayanginya dalam dialog tak tuntas yang siapa pun tak mampu menjawab.
*****
Gawai di tangan Yanti menyala layarnya, sebuah panggilan terhubung. Suara serak dari ujung telepon mengingatkan tentang tanggung-jawab akademisi yang juga sedang menanti di kampusnya. Kenyataan yang mau tidak mau, suka tidak suka akan membuatnya pulang untuk menyelesaikannya segera.
Melamun sendiri membayangkan sebulan ke depan, ketika kemudian kebersamaan ini kian berdetik menemui akhir dan saat waktu itu tiba Yanti akan berbentang jarak dengan Aminah. Mengingat ini membuat Yanti berkaca-kaca.
Angin perpisahan itu mulai menyapa.
Bersambung…..
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Dan Aminah pun semakin terpuruk dengan kepergian Yanti, tambah merebes mili bang hiks
Iya mbak...mksh hadirnya..