Melangitkan Rida di Awan Panas Semeru (Episode 23. Kenangan di Balik Cincin bagian 3)
Cemara di lereng Semeru membawa hawa dingin dan entah apa alasannya daun pohon ramping yang menjulang itu meluruh menjauhkan cinta. Di bawahnya pernah bertumbuh romantika yang menjatuhkan banyak penat dan menunggui hari yang tak membuat menyerah dalam serindai kidung yang tersemat dalam bingkai kenangan.
Fatimah, Emaknya Aminah tertunduk dengan kesedihan menyesak yang menghantam keras hingga kandas di atas luka hati.
Dia orang yang sangat terguncang dengan kepergian suaminya. Canda-tawa bahkan kali terakhir ucapan yang tak disadari mencelakakan, terbukti nyata membawa maut membuatnya merasa bersalah dalam hamparan penyesalan. Berulang Emak menepisnya namun selalu terngiang “Tak kutuk jadi batu….” Ya Allah.
Lirih merindu, sungguh lirih.
*****
Sisa kelapa yang belum terjual di belakang rumah, tak jauh dari kandang sapi dan kambingnya Aminah masih menumpuk dalam karung-karung. Rencana untuk kembali menjual siang tadi pada kenyataannya tak pernah terjadi.
Di dapur, bekas jualannya belum dirapikan. Makanan yang dibuat untuk selamatan merayakan kelahiran Aminah berubah menjadi suguhan kepergian Bapaknya untuk terakhir kalinya.
Senja saat ketika awang-awang mulai menutup pintu dan semua makhluk berkumpul untuk beristirahat setelah lelahnya beraktivitas sebagaimana kebiasaan keluarga ini rupanya menjadi sore terduka membuka malam.
Aminah pun kehilangan daya, tak kuasa menahan diri di tengah teman-teman sesama penambang pasir yang mengantar bapaknya. Terbujur beku mematung dengan tubuh beraroma belerang terbakar, tertimpa awan panas guguran, yang terbawa melalui suspensi material kasar ke aliran sungai.
Hujan sepanjang malam itu bukanlah hujan biasa. Keragu-raguan yang membawa petaka. Bertakdir mengiringi Bapaknya menemui Tuhan untuk selamanya. Sebagaimana rezeki dan jodoh, kematian juga datang tak disangka dalam kadar yang tak dapat ditawar.
Melayukan taman-taman yang sedang mecoba mekar menatap dunia, bumantara rapuh dalam huru-hara yang merusuhkan hati. Menabung rindu yang tak tahu akan sepanjang apa jaraknya. Sedalam caranya menyapa, yang dalam hari-hari ke depan, tentu akan menumpuk harap.
Malam ini atau besok, Bapak telah tiada dan menahannya sama arti dengan memikul keburukan, oleh karenanya tak mau membuatnya tertahan lebih lama dan mempercepat kebaikan, keluarga ini menyegerakan untuk mengebumikannya.
Dengan penerangan lampu seadanya, keluarga, sahabat dan tetangga mengurus Bapaknya hingga peristirahatan terakhir menjadi seonggok kenangan yang akan berbentang jarak. Titip doa yang akan meringankan alammu di sana.
*****
Hujan di hati Aminah membadai. Tersulut dalam ketidakberdayaan yang membuat segalanya senyap. Terpukul meniti jalan menyulam lara, mengggarisi tanah dengan air mata, lalu dalam gelap sepanjang malam menggelandangnya kian sepi, sebagaimana sunyii yang menghuni hatinya. Tertatih mengais kepiluan yang melubangi banyak sekat terdalam, berurai garis-garis bening di pipinya.
Tangis memang tak mengembalikan bapaknya namun tak ada pilihan lain. Dalam banyak hal menjadi cerita panjang bagi kehidupannya, apalah daya satu penguat hidupnya itu pergi dan tak pernah kembali. Sepanjang jalan hanya menabur tangis dengan kesedihan yang telah melukainya. Jerat-jerat kepedihan yang memenjarakannya dalam lorong gelap.
Tak berbeda jauh dengan Aminah, Emak yang memang syok, makin hari kesehatannya makin menurun drastis. Penyesalannya terbawa hingga ke dalam sanubari, serta-merta memengaruhi jalan pikiran.
Samudera ampun dalan lautan taubatnya membabi-buta mengetuk gerbang langit dan selalu berujung dengan rintihan. Emak selalu menyalahkan dirinya dengan ucapannya yang meluncur tak diduga itu.
Dua bulan kepergian Bapak, dua bulan juga membuat Emak sakit parah. Selama waktu itu emak tak dapat melakukan apa pun. Berjualan ke pasar berhenti total termasuk aktivitas berkebun. Ekonomi yang makin merosot membuat kedua anak-beranak itu tak ada pemasukan sama sekali, bertahan dengan sisa simpanan yang disisihkan setiap hari hingga tak bersisa serupiah pun.
*****
Di kamar, Aminah terdiam, sambil memegangi cincin yang dibelikan Bapaknya, tak urung dirinya meragu. Resah sukses membuatnya gelisah yang menjerumuskannya rebah.
Kenyataan makin menghimpit dan pilihan makin membuatnya sulit. Antara berhenti sekolah dan keinginannya yang masih tersisa untuk melanjutkan asa.
Aminah tercenung memutar-mutar kenangan pemberian bapaknya itu…..
Bersambung….
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sedih baca kisah hari ini..semoga mereka bahagia pada porsi masing-masing
Terima kasih apresiasinya bu..salam
Cerita yang menarik dan sedih, salam sukses pak
Terima kasih bu..salam
Kutemukan ibrah dalam alur yang meliuk ini. Ucapan adalah doa. Salam kompak selalu.
Siap...terima kasih mbak
Kumenangiiiis tisu mana tisu baang hiks
Terima kasih apresiasinya mbak..tissue harus siap..hehe
Sungguh indah rangkaiannya Pak ditunggu kelanjutannya...salam literasi
Terima kasih bu..siap dilanjut
selalu menyaikan terbaik... keren
Siap pak..terima.kasih apresiasinya
Untaian kata yg dahsyat
Terima kasih pak. Salam, barakalah
mantap keren cadas... cerita keren menewen... salam literasi sehat sukses selalu mas Radinopianto
Terima kasih apresiasinya pak. Salam
Barokallah. Keren sekali Mas Radinopianto. Salam sukses
Terima kasih pak..salam