Melangitkan Rida di Awan Panas Semeru (Episode 27. Robekan Baju)
Lisan tak lagi mampu berujar. Sanubari berbicara, dalam lara terbelit sengkarut penuh tanya yang mengundang sesak.
Aminah masih berdiri diam, ajakan Yanti untuk duduk diturutinya. Belum tahu angin apa yang menariknya sehingga begitu kuat keinginan untuk mendatangi bekas rumahnya.
Yanti dan Dewi sangat sadar dengan kewenangannya, sangat paham dengan apa yang menjadi tugasnya. Sebagai relawan tentu tak akan mungkin dapat bertindak terlalu kejauhan dan melampaui apa yang harus dilakukannya. Dengan keterbatasan yang ada hanya bisa menghibur, men-support untuk terus senantiasa menguatkan jiwa Aminah yang turun naik emosi.
Memorinya acap kali berputar mundur dengan apa yang terjadi di belakang, jiika sudah mengerucut terkait hal yang berhubungan dengan Emaknya, nampak sekali Aminah tak mampu menahan diri. Yanti dan Dewi sangat memaklumi tingkah polahnya.
Rasanya, belum lama psikis Aminah mulai melandai stabil, kenyataan membuat lukanya terkoyak nyeri. Orang-orang terdekat di desa termasuk perangkat desa yang selamat dari musibah dan mengenalinya, lebih lagi bapak ibu guru selalu memberikan perhatian, terutama urusan sekolah yang harus tetap digelar di tengah kondisi yang porak-poranda.
Februari mulai merangkak mendekat dan penghujung bulan di Januari tak lama lagi pergi. Masih seperti hari-hari kemarin, kondisi belum cukup stabil untuk berdiri tegak.
“Aminah, makan ya. Dari pagi belum ada yang mengisi perutmu lho…”
Aminah menatap nanar ke depan, walau tidak disampaikan dengan bahasa verbal sejatinya itu merupakan penolakan halus. Seperti tak mendengar bujukan Yanti, punggung tangan kanannya ditepuk-tepuk jemari kiri.
Dewi membuka karet pengikat bungkusan dan menyodorkannya ke Yanti. Sendok stainless di letakkan tak jauh dari gelas air mineral yang sudah ditusuk dengan sedotan.
“Kalau nanti nasinya sudah dihabiskan, Kakak akan temani Aminah.”
Yanti ujungnya mengalah. Pilihan tersulit adalah menuruti kemauannya. Aminah menyendok nasi dengan penuh keterpaksaan, belum juga beberapa suap, dia membungkus kembali.
“Habiskan sedikit lagi, setelah itu kita berangkat.” Yanti Agak mendesak sambil membuka bungkusan. “Orang mubazir itu temannya setan. Cuma beberapa sendok lagi. Sayang jika dibuang, Dik.” Rayu Yanti sambil mengusap kepala Aminah yang berbalut jilbab kaosnya.
******
Sore hari, hujan kembali mengucur. Endapan material yang menimbun lokasi bencana mulai terkikis. Bebarapa harta benda, termasuk mayat yang tadinya hilang tak tentu arah satu-persatu mulai ditemukan.
Sayangnya, waktu yang cukup lama menjadikan korban tidak utuh dan sulit dikenali sehingga untuk memastikan relawan bersama tim aksi cepat membawa penemuan korban-korban itu ke Rumah Sakit Umum Daerah di sana, supaya diteliti lebih dalam oleh tim forensik.
Di sela-sela kesibukannya membongkar buku-buku sekolah di bekas rumahnya. Terjepit di antaranya robekan baju yang menempel di paku besar kayu blandar atap rumahnya yang jatuh berserak di lantai.
Aminah menjerit keras……
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wadeuh kasihan Aminah. Ada apa lagi ?
Iya besok ya..hehe
Jadi makin gregetan bang, ikut deg2kan juga.. Pokoknya ditunggu kelanjutan kisahnya.. Sukses selalu
Haha..hidup aminah penuh konflik, tega bener penulisnya ini..
Aminah menjeritnya bersambung...
Besok lanjut ya bu
selalu dgn karya yg apik... salam sukses
Makin penasaran. Kisah selanjutnya dengan setia saya tunggu
Siap dilanjut
Bersambuung bacanya..
Ya bu...terima kasih hadirnya