Radinopianto

Alam ini seolah miniatur kehidupan masa depan, yang tak cukup dengan diam atau duduk santai sambil menyeruput kopi, Hidup ini bukan mimpi. Takkan sampai jika ta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Senja Menua di Rawajitu (Episode 11. Penyesalanku)

Senja Menua di Rawajitu (Episode 11. Penyesalanku)

Sepulang Bu Bidan, selintas dari luar kamar aku melongok membuka tirai, memastikan keadaan Emak. Terlihat sosok itu tiduran memejamkan mata. Sebaiknya, Emak lebih banyak merebahkan diri untuk memulihkan tenaganya.

Masih dengan pakaian kerjaku yang beraroma matahari, aku kembali ke gudang. Menyusun pakan yang telah kustok tadi pagi lalu menyiapkan bahan lainnya untuk persiapan tebar. Kapur pertanian yang masih tersisa di ember, sedikit tercecer di lantai kumasukkan kembali ke dalam karung. Terasa panas tangan begitu menyentuhnya

Aku mendongak melihat ke langit yang mendadak mendung. Pikiranku gusar.

“Jangan hujan ya Allah, cukup melelahkan juga menunggu waktu hampir tiga jam untuk menaikkan air setinggi dua puluh senti meter.” Satu ember Klorin ukuran dua puluh kilogram sudah kuencerkan, siap ditumpahkan dalam dua tambakku.

Bismillah, semoga sterilisasi membasmi carrier dan predator yang bercokol di dalam tambak membuatnya terbebas dari berbagai kendala, terutama momok white spot syndrome. Paling tidak setelah ini dapat membersihkan rerumputan yang tumbuh sekitar tanggul. Aku harus sabar dengan enam belas jam ke depan untuk memastikan tambak terisi penuh.

Sambil menikmati mesin genset yang kecapaian memecah siang, aku duduk santai melepas sepatu bootsku, sementara angin sepoi-sepoi membawa isi kepalaku kembali ke Pondok.

*****

“Racun, itu racun. Sering mendatanginya di sana akan membuatnya ketergantungan. Biarkan saja dia di sana sampai menemukan kekuatannya sendiri. Dia akan berhenti merengek, tangisannya hari ini akan menjadi penolong untuk dirinya sendiri di kemudian hari.”

Omongan Kakek yang kudengar dalam obrolannya dengan Emak kala itu, ternyata bukanlah basa-basi. Dari minggu ke minggu aku masih yakin mereka akan iba dan kasihan dengan diriku, ternyata faktanya itu tak pernah terjadi.

Sebulan dua bulan di Pesantren tak satu pun yang nongol sekadar menjengukku. Emak, apalagi Kakek. Kalau Ayah tentu tidak mungkin, karena hubunganku dengannya sedang bermasalah, lagi pula untuk apa juga aku bertemu dengannya.

Dengan keterbatasan uang aku harus berhemat. Dalam kondisi itu cukup sering aku mendamprat dan menyalahkan Ayah dari jauh, kalau tidak karenanya tentu aku tidak akan diasingkan di sini.

Bagiku yang polos dan belum mengerti apa-apa, keberadaan diriku di pondok, semacam hukuman dan aku belum memaknainya sebagai cara Emak dan Kakek untuk menyelamatkanku.

Setiap kali ada kunjungan orang tua, setiap kali pula aku berharap ada Emak atau Kakek di antaranya, namun tiap kali pula pikiran itu tumbuh, aku akan kembali ke asrama sendiri tanpa mendapatkan apa pun. Jangankan sosoknya, bayangan mereka pun tidak sama sekali mencoba mampir.

Sampai akhirnya aku tak pernah lagi memikirkannya, dan makin membenci lelaki buaya itu. Suatu ketika pernah menyusun keberanian untuk menanyakan dengan Pak Yai, namun tidak juga dijawab dengan terang benderang. Senyum Pak Yai penuh tanda tanya dan diplomatis.

Pak Yai hanya mengelus kepalaku dan menasihati, alih-alih mendapatkan apa yang kumau, sederet ayat meluncur dari bibirnya dan aku tak berkutik dibuatnya.

Kedatangan orang tua tetanggaku, sempat membuatku mengirimkan surat dan hingga menyelesaikan sekolah pun surat itu tak pernah dibalas. Tidak sampai atau Emak memang sengaja tak menggubrisnya. Yang kubayangkan, Emak pasti ketakutan dan itu pasti karena hasutan lelaki nakal yang kubenci itu.

Sampai akhirnya aku gembira ria. Pak Ustad menjemputku di Asrama Putra, orang tuaku datang. Dengan jingkrak-jingkrak dan lari tunggang langgang aku segera ke gedung utama.

Ternyata yang menemuiku bukan Emak atau Kakek yang kuharapkan tetapi Ayah. Aku berontak menangis sejadi-jadinya dan balik belakang tak jadi menemuinya. Ayahku diam melihatku menjauh.

Penyesalanku terbawa hingga sekarang, aku tak pernah lagi tahu di mana sosok Ayah hingga hari ini dan Emak tak pernah meberitahukan apa yang terjadi.

Bersambung….

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Duh ya Allah sedih sekali membayangkan kehidupan tokoh dalam cerpen ini next bang

17 Aug
Balas

Iya mbak...lanjut

18 Aug

Siapakah Ayah? Ada apa gerangan dengan Ayah?

17 Aug
Balas

Next bu .lanjut..mksh

18 Aug



search

New Post