Radinopianto

Alam ini seolah miniatur kehidupan masa depan, yang tak cukup dengan diam atau duduk santai sambil menyeruput kopi, Hidup ini bukan mimpi. Takkan sampai jika ta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Senja Menua di Rawajitu (Episode 16. Hujan di Malam Purnama)

Senja Menua di Rawajitu (Episode 16. Hujan di Malam Purnama)

Ada serpihan kenangan mendengar tartil yang dibacakan Emak, sayup-sayup terdengar begitu indah dari kamarku sebelum kantukku menyerang.

Sehari setelah kelulusan kala itu aku pamit pulang, tanpa kuduga Pak Yai memberikanku hadiah sebuah Alquran kecil, sederhana sekali dan aku menyukainya.

Bukan tak menghargai pemberiannya namun untuk memanjangkan amalnya aku merelakan Emak yang memilikinya. Kutukar milik Emak yang telah lusuh.

Satu persatu, teman seangkatanku pulang dijemput oleh orang tuanya, termasuk diriku. Emak menjemputku sendiri, suasana haru biru pecah.

Tak ada Kakek apalagi sekedar kehadiran lelaki yang disebut Emak sebagai Ayahku itu, yang raib tak tahu rimbanya hingga kini.

Sejujurnya sempat kutanyakan dengan Emak keberadaanya, namun tak sepatah jawaban terucap. Selalu terucap kata “Emak, telah ikhlas dengan apa yang menjadi jalan hidup Emak.”

Emak langsung mengemasi semua barang-barangku lalu tanpa membuang waktu banyak mengajakku kembali, gerak-geriknya terlihat seperti begitu tegang raut mukanya.

“Kita akan pindah, Le,” ujar Emak. Aku kaget. “Pindah? Kemana, Mak?” sedikit mengernyit keningku.

“Kita akan mengurus tambak, jauh dari sini.” Aku hanya manut mengikuti dan benar saja perjalanannya ternyata sungguh jauh, menempuh darat yang melelahkan kemudian berlanjut dengan speed board, kendaraan air selama satu setengah jam menembus blok demi blok di perairan Sungai Mesuji ini.

Yang kubayangkan hanya senyum Pak Yai yang selalu menguatkanku itu. Kangen sekali berjumpa, aku akan menanyakan tentang Ayah suatu saat nanti.

*****

Setengah terkesiap aku langsung loncat dari tempat tidur. Mendadak bangun, cukup membuat pusing kepala namun terusik gemerisik di luar yang kupastikan adalah hujan serta-merta langsung membuat nafasku memburu.

Rupanya alarm dari gawaiku sudah berbunyi berulang-ulang dan aku tak menyadarinya.

Tengah malam bulan purnama, di saat udang sedang molting, tetiba buliran air itu turun sangat deras, dengan jas pelindung tubuh aku keluar memeriksa tambak.

Sungguh, dingin begitu menguliti persendian akan tetapi rasa was-was jauh menguasai diriku yang merasa khawatir terjadi sesuatu yang tak kuinginkan.

Di depan kamar Emak, sempat berhenti sejurus. Kuperlambat langkah lalu menempelkan telinga ke arah tirai. Ada terdengar sedikit dengkuran. Pantas saja, ternyata Emak juga tertidur sangat pulas.

Tangan kananku langsung menarik tali senter yang sengaja kugantung tidak jauh dari gudang. Sambil melangkah kupastikan terpasang kuat di kepala.

Begitu daun pintu belakang kubuka, angin mendorong kembali ke arah dalam. Agak sedikit memaksa kulawan menahannya dengan kedua tangan, seketika butiran rinai memerciki tubuh dengan begitu kencang.

Menyadari hawa yang menyesap, aku sedikit menurunkan penutup depan topi guna menghindari tempiasan air yang langsung menembak muka.

Menggigil malam dalam garis-garis langit yang berubah gelap-gulita. Gemintang telah surut langkah menggeliat, bahkan Tonggeret yang biasanya bernyanyi ketika malam sepi menepi, dedaunan meringkuk pasrah membumi. Hanya atap asbes Mess yang riuh-rendah bergemuruh menikmati sentuhan patah-patah.

Lobang-lobang kecil di tanah menuju kolam telah terisi penuh dengan air, menjadi indikasi bahwa hujan telah lama membasah.

Beberapa kali kakiku agak terseok menembus gelap di atas tanggul yang licin, sekali lompat aku sudah berdiri di depan gudang mesin genset yang terhubung langsung dengan kincir air.

Menyapukan pandangan ke sekeliling, sinar memantul bulat di gemericik air. Dasar tambak pasti sangat dingin, kondisi yang akan memicu udang menepi.

Kuhembuskan nafas kuat-kuat, tak kupedulikan lagi apa yang terjadi ketika senterku menyigi saluran pembuangan air, beruntungnya kincir tak ada gangguan.

Air hujan dengan keasamannya yang di bawah normal tentu akan berakibat menurunkan pH dan total alkalinitas di tambak sehingga mau tidak mau daya sanggah air terhadap fluktuasi pH akan menurun sangat rendah, bisa dipastikan akan menyebabkan terjadi goncangan pH dengan range pagi.

Dampak lainnya, menjadi penyokong pergeseran dominansi fitoplankton. Kenaikan pH pagi yang drastis akan sangat berbahaya memunculkan gas ammoniak yang berubah beracun pada pH tinggi. Udang akan stress dan sakit. .

"Ya Allah besok harus segera melakukan pengapuran, jika tidak fatal akibatnya."

Di bawah bumantara, kupejamkan mata mendongak. Tumpahan dari langit begitu lebat menyiramiku yang sedang menjura. Terdiam beberapa saat, berupaya menikam semua rasa yang kian bermunculan mengguncang.

Aku tak ingin semuanya berakhir dengan menjadi semu kugenggam. Memendam sekelumit harap dan sedetik pun ke depan tak mau menjumpai yang namanya menyesal. Gerimis di hatiku perlahan menderas.

Bersambung….

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow keren bgt kisahnya penuh penasaran

22 Aug
Balas

Terima kasih bu

22 Aug

Duh alamat gagal lagi nih panen udangnya, semoga membawa berkah saja hujannya Next bang

22 Aug
Balas

Lanjut mbak

22 Aug

Keren Pak Iqbal ...diksi dan kalimat yg bgtu bagus ....sukses selalu Pak ..baarokallah.

22 Aug
Balas

Mksh doanya, doa yang sama bunda, aamiin

22 Aug

Keren!

22 Aug
Balas

Terima kasih pak

22 Aug

Sama-sama

22 Aug



search

New Post