Senja Menua di Rawajitu (Episode 23. Telepon di Pagi Buta)
Pagi seusai Subuh, ponsel Emak berdering. Nadanya cukup kuat terhantar hingga kamarku. Biasanya jika ada panggilan telepon tidak sampai berulang sudah diangkat, namun kali ini setelah berkali-kali putus nyambung barulah terdengar Emak bercakap-cakap.
Aku yang lagi duduk membaca di tempat tidur menutup buku lalu menolehkan pandangan berdiri membuka lembaran kalender di dinding, “Rasanya belum lama jadwal liqo’ Emak,” batinku. “Apa Emak, ada janji ya, masih gelap buta sudah saling berkabar.”
Sedikit memaksa untuk memanjangkan telinga, bermaksud ingin tahu. Sayangnya tak begitu jelas kata perkata, tutur Emak cukup halus volumenya, dan Emak lebih banyak mengucap “Iya.” Mungkin Bu Rini yang menelpon, karena tahu Emak masih santai selepas salat.
Kubuka jendela kamar, tirainya langsung diterpa angin, kukaitkan cantolan kuncinya. Rumput di luar yang tumbuh di sepanjang jalan ke tambak terlihat membasah. Di sana-sini kabut masih menghalangi jarak pandang. Aku bersiap meracik pakan udang untuk menaburnya pagi ini.
Sedikit berjinjit melangkahkan kaki menuju gudang, pamali rasanya ikut mendengarkan percakapan orang lain. Aroma khas pakan tercium cukup amis dan tajam menyeruak hidung, aku sedikit menahan napas untuk mengurangi baunya.
Sebanyak pakan yang akan kuberikan, kucampurkan rata pakan nomor dua dan tiga di dalam ember. “Bentar lagi menebarnya, masih terlalu dingin.”
Mencuci tangan lalu kembali ke depan. Kopi hangat yang sudah disiapkan di atas meja sepertinya sudah memanggil-manggil diriku untuk diseruput..
*****
Belum lama duduk, Emak ke luar dari kamar, lalu mendatangiku dengan sorot tajam menatap mataku, ekspresi wajahnya datar. Aku menurunkan pandangan “Le, Pak Yai menelpon Emak lagi.”
“Yang barusan menelpon, Pak Yai?” tanyaku sambil meletakkan gelas menyimak dengan kecut apa yang akan disampaikan Emak selanjutnya.
“Iya. Kelihatannya urusannya penting,” cukup tersengat dengan jawaban Emak.
“Pak Yai menyampaikan sesuatu, Mak?” aku sedikit menyelisik dengan meredam gejolak yang mulai berdegup.
“Hanya bilang, kamu ditunggunya di Pesantren, Le.”
“Pak Yai, sehat kan, Mak?” seketika sketsa roman wajah yang teduh itu membayang menjejali otakku.
“Beliau sekeluarga sehat, Le.” Meski masih bingung, jawaban Emak melegakanku.
Berpikir keras mencoba meneroka, tetap saja tak menemukan alasan. Bayangannya gelap dan rumit, benang merahnya tak kutemukan “Tak biasanya Pak Yai bersikap begini.” Aku diam bergumam sendiri.
Emak juga bergeming bungkam. Mungkin alam pikiran kami sedang berputar di bilik yang sama, berpapasan untuk mencari jawaban, namun tak saling bertegur sapa, terperangkap menerawang di zona tak berpintu dan hampir kehilangan daya di sudut praduga liar yang mengemuka berloncatan.
“Mak, setelah memberikan pakan, aku mau ke kantin dua belas, inpra.” aku mengalihkan pembicaraan
“Mau beli apa?” tanya Emak. “Pakan nomor tiga hampir habis,” jawabku singkat .
“Oh ya. Kalau begitu sekalian titip belanja dapur,” timpal Emak. “Iya, Mak. Nanti catatannya taruh aja di Meja belakang, aku ngasih pakan dulu.”
Emak mengangguk dan secepat itu aku menjauhinya.
*****
Hawa dingin merayap ke ubun-ubun. Angin sedikit kencang bertiup, tercekat dalam banyak tanya yang berbaur menguasai pikiran. Dilema membawaku terhenyak di persimpangan. Memikirkannya menghantarku lebih memilih sunyi seiring waktu bergulir. Aku tak cukup bijak untuk memutuskan. Menyentuhnya membuatku bimbang.
Emak menyusulku ke tambak, langkahnya panjang-panjang. Aku mulai berdebar menantinya, sepertinya ingin menyampaikan sesuatu untukku.
Bersambung…..
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ikut penasaran dengan apa yang akan disampaikan mak. Ditunggu kelanjutannya, Pak. Salam sukses selalu.
Siap bu, lanjut
Sepertinya penting hingga pak Yai menelpon kembali meminta untuk datang ke pondok, ada apa gerangan, dan lagi lagi hanya penulisnya yang tahu jawabannya hehee
Pastinya, jangan coba menebak, cerita akan berubah...hahaha
Hadeuhh semakin penasaran Pak ...apa yang ingin disampaikan emak ya ...lanjut Pak .
Iya bunda....siap
Apa yang akan disampaikan emak padaku? Lanjut!
Siap pak, akan dilanjut...hehe