Radinopianto

Alam ini seolah miniatur kehidupan masa depan, yang tak cukup dengan diam atau duduk santai sambil menyeruput kopi, Hidup ini bukan mimpi. Takkan sampai jika ta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Senja Menua di Rawajitu (Episode 24. Ketetapan Hati)

Senja Menua di Rawajitu (Episode 24. Ketetapan Hati)

Di ujung ember masih ada tertinggal sedikit sisa pakan oleh karenanya sengaja kuraup cepat untuk menyelesaikan pekerjaanku dulu, sebelum mendekat ke Emak. Beliau juga masih terlihat belum mengutarakan niatnya, berdiri di atas tanggul berseberangan denganku. Dalam hati, aku yakin ada sesuatu yang ingin disampaikan.

“Jam berapa mau ke Kantin 12, Le,” tanya Emak, suaranya melengking bersaing dengan bunyi mesin genset dan kincir yang sedang berputar. “Sesempatnya saja, Mak,” jawabku sambil berbalik arah memutar, berjalan ke arah Emak.

Jujur, maksud hati ingin mempercepat tahu tentang angin apa sesungguhnya membawa Emak sampai menyusulku ke tambak, namun sebaliknya langkah demi langkah seperti makin perlahan melambat.

Aku benar-benar kalut dibuatnya. Menapaki beragam kegaduhan yang kukhawatirkan, teraduk-aduk dalam aneka situasi yang membuatku panik. Bimbang mencacauku rusuh hati, membuatku berpusar dalam kubangan keruh bawah sadar. Terasa terjun bebas dalam ketidakpastian, yang diam-diam telah membuat kusut.

Beranda keinginanku kali ini berkembang mendua, terhempas antara ingin sekali menemui Pak Yai, namun sisi lain sederet beban berat yang tak mungkin dilakukan Emak menari-nari di pelupuk mata. Terbayang tengah malam tiba-tiba genset mati, kincir bermasalah, hujan turun dengan deras atau bermacam rupa hal tak terduga lainnya yang bisa saja terjadi. “Kenapa jadi awut-awutan begini?” pikirku.

“Mana catatan belanjanya, Mak,” setelah terpaut tak berjarak dengan jilbab panjang Emak, aku angkat bertanya.

Emak tak segera menjawab, sepertinya sedang menata hati. Wajahnya tegang, berkali terlihat mengigit bibirnya. “Le, Emak bukan mau menitipkan belanja dapur,” ujar Emak tidak lama berselang.

“Lho…? Lalu?”

“Emak, mau membicarakan tentang Pak Yai, Le.”

Menyadari obrolan akan panjang, aku mengajak Emak duduk di bangku panjang yang kubuat di depan rumah genset, berdiri di tengah-tengah tanggul antara tambak pertama dan kedua.

Emak mengiringiku dan kami duduk berdampingan.

Pandangannya persis mendarat di mataku dengan ragu. Dinding pertahananku terasa jebol akan tatapannya, dingin namun menghujam sangat dalam. Baru kusadari meski tak terucap, berterima namun tidak rela. Ikatan batin yang kuat, membuat bahasa hatiku terbaca terang benderang oleh Emak, dan aku merasa bersalah. Di ujung netra itu pergolakan sedang berlangsung dengan hebat dan demi aku Emak mengalah.

“Besok, kamu temui Pak Yai,” terucap penuh kehati-hatian.

“Mak….,”

Tangan Emak memegang bahuku. Belum juga terucap apa yang mengganjal, Emak langsung menyambar, “Le, jika Pak Yai mengutarakan bahwa ini penting, maka jangan tunda lagi untuk mendatanginya.”

“Emak tahu apa yang sedang kamu pikirkan,” lanjutnya.

Aku tak menimpalinya lagi. Hening, kepalaku berdenyut. Tak ada gunanya untuk mendebat, sebaik-baik kata adalah memenuhi apa yang menjadi harapannya. Berpantang untuk membantah selagi dapat melakukannya.

“Mak, aku belanja dulu. Pakan harus stok lebih banyak,”

“Iya, Le.”

Aku ke gudang belakang mengambil sepeda motor dan Emak ke dalam rumah “Sekalian pesan speed boad dengan Pak Ketut untuk besok,” ujar Mbak hingga hilang di balik daun pintu. Aku mengangguk pelan.

Dari belakang, setelah di atas motor, starter kuhidupkan, perlahan menyusuri jalan Infra sepanjang kanal menderu mengarah ke pasar.

*****

Di kamar, malam hari sehabis memberikan pakan. Tak ada pilihan selain mempersiapkan keberangkatan. Bismillah, apa pun yang terjadi tak mungkin lagi aku menarik langkah. Emak tak tergoyahkan dengan argumentasiku , dengan segala risiko telah kubulatkan untuk mengiyakan apa yang telah diucapkannya tadi pagi.

Merayap rembulan mengiringi pagi dan aku mencoba berpasrah dengan keadaan. Merebah dalam lelah namun sulit sekali untuk membuatku terlelap. Terpojok sendiri di langit-langit kamar, kupanjat dengan menatap jauh hari yang telah terlampaui.

Sungguh, mengulang kisah lalu sering kali tersentak. Ada banyak penggalan potongan puzzle yang tercecer dalam detikku yang tidak kupahami tentang kehidupan Emak. Mungkin akan kudapatkan suatu hari nanti.

Bersambung….

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga emak akan baik-baik saja selama ditinggal di pondok, masih kepo ada apa dengan pa Yai

30 Aug
Balas

Iya mbak, disimak kisah selamjutnya

30 Aug

Next, keren... Always

30 Aug
Balas

Mksh bu....siap

30 Aug

Keren banget Pak ...cerita indah penuh makna kehidupan ...sesuatu yg harus kita hadapi ... dengan segala konskuensi ...namun hati kembali kpd-Nya ....Sukses Pak ...ditunggu kelanjutannya ...baarokallah.

30 Aug
Balas

Siap bunda...terima kasih

30 Aug



search

New Post