Radinopianto

Alam ini seolah miniatur kehidupan masa depan, yang tak cukup dengan diam atau duduk santai sambil menyeruput kopi, Hidup ini bukan mimpi. Takkan sampai jika ta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Senja Menua di Rawajitu (Episode 26. Perjalanan Rindu Bagian 1)

Senja Menua di Rawajitu (Episode 26. Perjalanan Rindu Bagian 1)

Tak perlu menunggu lama, aku menarik jari ke bawah di layar android dan ponsel tersambung dengan panggilan Emak. Suara itu begitu teduh mengucap salam dan aku langsung merasa terjatuh di atas permadani lembut yang menenangkan.

Menit menegangkan itu berlalu dan apa yang kucemaskan terjawab. Setelah obrolan berlangsung ternyata Emak hanya bingung pakan nomor berapa yang harus diberikan terhadap umur udang yang telah melewati empat puluh hari. Lega mendengarnya. Belakangan aku jadi setengah paranoid terhadap apa yang dilakukan Emak.

Batasan antara ketakutan yang berlebihan dan prasangkaku yang mungkin menjurus ngawur terasa sangat tipis sekatnya, akibatnya jalan pikiran yang mengemuka cenderung membuatku depresi.

Aku menyembul keluar dari pintu depan toko manisan, yang juga memiliki usaha toilet berbayar. Setelah lama menahan pipis di speed boad, seperti lepas beban yang begitu besar saat hajat itu ditunaikan. Huhhhh…menarik nafas panjang saking leganya.

Mataku terus berkeliling memastikan travel mana yang tadi sudah kutelpon beberapa menit sebelum berangkat. Setelah yakin dengan plat mobil yang dikirimkan drivernya melalui pesan whatsapp, aku mendekati mobil berwarna silver metalik yang parkir tidak jauh dari tempatku berdiri. Seorang berperawakan gemuk, baju kotak-kotak dengan umur sekira lima puluhan menyapaku.

Aku tersenyum, “Iya, Pak. Aku yang tadi menelpon,” jawabku. “Jam berapa berangkat?”

“Jam Sembilan tiga puluh, masih ada yang belum tiba speednya,” timpal sopirnya. Aku melongok kedalam mobil, belum ada yang masuk, ada sebuah kresek hitam yang kelihatannya milik penumpang yang lebih dulu datang.

“Siapa duduk di depan, Pak.” Bersisian dengan Pak sopir sambil menjinjing kardus bekas mie instant

“Oh, kosong,” jawabnya. “Aku, di depan saja ya.” Sambil membuka pintu dan meletakkan tas. “Iya, silahkan.”

“Aku izin beli minuman dulu ya, Pak.” Beliau menganggukkan kepala, Iya, Masih cukup lama.”

*****

Duduk menyendiri di kursi plastik depan counter Hp, sesekali menenggak air mineral di genggaman tangan membuat rasa dahagaku sedikit berkurang. Hilir-mudik orang yang belanja akan kebutuhan rumah tangga di pasar, lalu lalang orang yang membeli pulsa atau hanya sekedar bertanya tentang aksesoris ponsel menjadi bagian yang kuamati sembari menunggu. Tidak jarang aku sedikit bergeser khawatir menghalangi jalan.

Sempat bingung sendiri dibuatnya. Bermula dengan ketetapan hati yang membulat berkeinginan, seiring meniti jalan di atas berbagai pertimbangan logis tiba-tiba berubah menjadi remahan tak tentu arah yang membuatku meragu.

Menatap tentang lembaran penuh tanya yang akan kusibak beberapa hari ke depan dan dalam masa itu Emak dan tambak menjadi dua sisi yang terus-menerus menguasai kepalaku, tak urung membuatku berkeringat dingin tidak tenang.

Bahkan ketika dengan sadar mengiyakan apa yang diminta olehnya tak lebih karena aku tahu Emak tidak sedang main-main. Aku mengenal Emak di masa kini dan masa depan namun tak banyak tahu tentang masa silamnya.

Bersimpuh memaksa masuk dalam guratan sketsa penggalan kisahnya, berbekal sejumput kebersamaan yang kualami hanya berujung ngilu di ruang sunyi. Sebuah nama yang selalu tak luput kulangitkan dengan beribu asa tak terbendung itu adalah Emak.

Sungguh akhirnya, ketika terbelah rapuh dengan sepasang keinginan yang sama baiknya, meneguhkan diri untuk mencoba melandai berbaik sangka, merajai hati untuk melunak dan memberanikan diri menyongsongnya dengan kesungguhan yang berapi-api. Bisa jadi semesta bertakdir menyembunyikan kotak ibrah dalam roncehan surprise tak terduga yang akan hadir mencengangkan di luar prediksi, di ujung pengharapan ini.

Panggilan Pak sopir membuat pending lamunanku, meninggalkan Terminal Rawajitu dengan segala keramaiannya. Mobil membawaku menyusuri kisah.

Jejak ini semakin berliku. Merabanya membuatku bertanya dalam diam, mengapa harus aku yang menyeret langkah tertatih?

*****

Di Jalan Bidada yang sedang dalam pengerjaan, mobil meliuk-liuk melintasi tanah kuning berliat yang di sana-sini masih penuh lubang. Berjam-jam bersulih dengan jalan darat yang tak mulus, Simpang Penawar menjadi tujuan istirahat.

Bersambung……

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga perjalanan menuju pondok lancar jaya tidak menemui hambatan selama di jalan. Lanjoooot baaaaaaaang

01 Sep
Balas

Siapp gerak...hahaha

01 Sep

Haha siap laksanakan kak Dino haha

01 Sep

Alhamdulillah ...semoga lancar dan semuanya baik2 saja Pak ...Keren ...diksi dan kalimat teruntai indah ,Baarokallah.

02 Sep
Balas

Terima kasih bunda

02 Sep



search

New Post