Senja Menua di Rawajitu (Episode 29. Cerita Pak Yai Bagian 1)
Buyar segala tawa yang tadinya begitu membahagiakan, menjentik terbang pikiran dalam kebersamaan ini. Obrolan terakhir Pak Yai seperti mengalihkan kisah. Pilihannya berpasrah dengan segala kemungkinan.
Dalam sekejap, getar-getar itu menjalar ke seluruh persendian tanpa bisa kutangguhkan, gugup menguasai diri, keringat dingin membadai dan aku nyaris tak mampu mengatakan apa pun. Tertegun dengan nafas tersengal.
Lama aku bergerilya di tiap lekuk wajahnya, berpadu dengan kalbu yang cemas menanti apa yang akan kujelang. Ekspresi Pak Yai serius tapi datar, bahkan kata-perkata seperti diramu dengan sangat hati-hati.
Rabbana, jika malam ini bertakdir mendengar sesuatu yang baik, maka dengan penuh harap kegembiraan ini tidak akan menjauhkanku dari-Mu, namun sebaliknya jika pun pada kenyataannya apa yang akan kuhadapi ini adalah sesuatu yang menggelandang dalam ruang sedih maka janganlah membuatku mengurangi rasa syukur akan nikmat-Mu yang jauh lebih banyak, tak ada jalan lain kecuali kuatkan aku untuk berterima.
Sontak mataku nanar menatap Pak Yai. Tak akan bisa aku bersitatap lama dengannya.
”Iya, Pak Yai. Ana mustaeidun liliastima’I bisidaq,” (Aku siap mendengarkan dengan ikhlas).
Meluncur lancar mengucapkan kalimat ini memantik ujung mataku menghangat, sekuat mungkin kutahan sehingga tak mengubah mood, terbayang bagaimana proses jatuh bangun yang begitu sulit hingga akhirnya bisa berdialog dengan baik dan benar. Proses itu dikuti dengan sangat detail oleh Pak Yai selama bersekolah di Pesantren.
“Tidakkah kamu rindu dengan Ayahmu, Nak?” sebuah tanya yang tak kuinginkan.
Segunung kebencian meledak tiba-tiba, ada keluh yang terbayang halangan mendengar sebutan itu. Membentuk corak menghitam yang bergelayut di langit kepalaku, menjadi awan tebal yang menghalangi pandangan. Rasanya ingin sekali menghantamnya dengan genggaman jemari sehingga berkeping tak terlihat.
Sungguh, tak cukup alasan buatku untuk membenci, akan tetapi lewat sejumput kisah dalam sekelumit episode sebanyak itu pula torehannya. Yang selalu terkenang dan sulit kuhapuskan tentangnya hanyalah ketidaksukaan dan sampai kapan juga tak pernah benar-benar menjadikannya dalam barisan orang-orang yang layak kusimpan dalam sanubari.
“Kamu, masih menyimpan marah dengan Ayahmu?” lanjut Pak Yai. Aku tetap tak berkata sepatah kata pun.
“Mengapa dia harus datang kembali dalam kehidupanku, menjadi cerita berkesinambungan yang menyakitiku, sementara dia tak pernah peduli secuil pun memberikan kontribusi layaknya tanggung jawab yang besar terhadap anaknya,” aku membatin dalam rasa sakit yang mengiris-iris.
Ironisnya, kali ini pertahananku jebol. Tak bisa berkata pada diri sendiri bahwa aku telah berhasil mengatasi ketakutan. Emosi menghadang berapi dengan luapan yang meruap-ruap membawaku tersungkur dalam sedu-sedan. Keruh dan netra membasah berduyun-duyun seperti pawai, namun berkisah luka.
“Apa yang perlu kuharapkan darinya, Pak Yai,” dengan terbata aku membuka mulut. Bergetar ucapanku di tengah panasnya gempuran dendam.
Pak Yai diam, begitu juga Bu Yai. Membeku dalam ketidaknyamanan suasana yang menyerana layu. Jika bukan Pak Yai, mungkin aku sudah tak berada di tempat dan kehilangan minat untuk melanjutkan obrolan.
“Nak, kamu tak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan kecilmu, lalu waktu mengubah segalanya.” Lanjut Pak Yai dengan sangat pelan, bahkan kali ini suaranya jauh menurun volumenya. Cara yang selalu dipakainya untuk mendinginkanku.
“Saat ini, penting bagiku untuk menjaga Emak dan mewujudkan impiannya, boleh jadi Ayah pernah lewat sebagai masa lalu kami, namun tidak akan kuizinkan untuk masuk dalam masa depan.” Lirih tak bertenaga.
“Istighfar…ada Allah di tiap denyutmu,” Pak Yai mengingatkanku.
“Bapak sangat paham setiap sayatan yang pernah meninggalkan noda, namun yakinlah babak demi babak cerita ini akan membuatmu memikirkan Ayah.”
Kuseka lautan butiran bening yang telah membuat sungai di pipiku dan kukuatkan diri untuk menyimaknya.
Bersambung….
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap Pak ...hadeuh ...jadi larut...
Terima kasih bunda
Waduuuh, menguras emosi di episode kali ini, Pak!
Iya pak, terima kasih apresiasinya