Radinopianto

Alam ini seolah miniatur kehidupan masa depan, yang tak cukup dengan diam atau duduk santai sambil menyeruput kopi, Hidup ini bukan mimpi. Takkan sampai jika ta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Senja Menua di Rawajitu (Episode 32. Kisah Pilu Bagian 1)

Senja Menua di Rawajitu (Episode 32. Kisah Pilu Bagian 1)

Obrolan terhenti seketika begitu aku menyembulkan tubuh. Pak Yai dan juga lelaki itu menatapku. Wajahnya bersih, dengan janggut yang memutih. Bahkan aku hampir tak mengenali dengan tampilan gamis panjang, namun setelah sadar dengan sosoknya, bukan main kagetnya.

Serasa terbangun dari mimpi buruk. Ingin sekali segera undur diri angkat kaki dan lari dari kenyataan. Sayangnya kaki sudah terlanjur melangkah dan wajah pun sudah terlihat dengan jelas.

“Ah, mengapa juga aku langsung menemui Pak Yai, tanpa pernah berpikir bahwa bukan hanya beliau yang menunggu, tapi Ayah,” batinku mendongkol.

Beberapa saat terpaku, dadaku seperti bergolak dan ubun-ubunku sejurus sempat mendidih melihatnya. Ada senyum tersungging yang menyapaku, namun sedikit pun tidak kubalas.

Sorot mataku meredup. Kuhadirkan wajah dingin di hadapannya, sangat dingin. Tawa renyah yang diumbar hanya kusikapi dengan paras acuh, biar dia tahu bahwa teramat tersakiti diriku dengan semua yang telah berlalu. Pulau-pulau dendam yang tadinya berserak, seperti bersatu membentuk kekuatan kemarahan besar yang akan siap meledak.

Kini, tanpa merasa kehilangan muka dan entah terbuat dari apa hatinya, lelaki ini datang lagi setelah beberapa tahun tak pernah tahu betapa dalam kurun waktu itu kami hidup dengan lentera sunyi, bulan separuh dengan cahaya yang tak pernah mampu menyinari hati dan sembiluan yang menyesak.

Tak terbendung segala rasa, namun bukan rindu.

Hidup dalam bayang-bayang cinta tak berbalas, kasih sayang yang tercampak yang seiring waktu layu meluruh. Membuka netra dalam sajian realita yang tak kurindukan ini serta merta mematikan rasa. Momen memuakkan sepanjang hidup yang ingin segera kusudahi.

Sadar dengan suasana beku yang kubangun, aku menyapa. “Assalamualikum, Pak Yai. “

Keduanya menjawab dan lelaki di sebelahnya seperti salah tingkah membaca sinyal kebencian yang kukirimkan untuknya. Tangan Pak Yai terjulur dan aku menyambutnya dengan mendaratkan hidung di punggung tangannya.

Lalu secara bergiliran, lelaki itu pun menjulurkan tangannya. Deras sekali keringat mengucur membasahi tubuh. Ragu aku menyambutnya. Terlibat obrolan tak berinti lalu dia mulai menyapa. Jawaban sontak yang keluar dari bibirku tak lebih basa-basi.

Aku duduk di sampingnya, tak ada pilihan.

“Nak…..” Pak Yai membuka percakapan.

“Iya, Pak.” Jawabku singkat. Kubenamkan wajahku menatap ujung kaki. Di sebelahku terdengar tarikan nafas.

“Bapak mohon maaf dengan sebesar-besarnya….. hari ini Bapak sengaja mengundang Ayahmu datang ke sini,” Aku diam tak menyahutinya.

“Kehidupan kita sangat panjang dan kamu akan bertarung dengan semuanya. Ada banyak jebakan yang menyertainya yang tentu akan melalaikan kita. Bukan takut dengan segala tantangan, namun bagaimana kamu membersamai kehidupanmu ke depan di atas muroqobatullah. Gusti Allah Mboten Sare, Le.” Lanjut Pak Yai.

Kian menunduk wajahku, dan dari ujung mata lelaki itu menatapku. Duduk bersisian tanpa jarak tiba-tiba dia merangkulkan tangannya di tubuhku. Meski tak nampak mata, akan tetapi reflek denyut emosiku yang meruap-ruap memunculkan sedikit gerak penolakan, heranya semakin kuat dia mendekatkan tubuhnya di badanku, ada aliran hangat yang tak kupahami sedikit membuatku nyaman yang membuatku memilih untuk membiarkannya. Ada gersang yang terbasahi yang melelehkan semuanya.

“Nak, Ayah tahu kamu marah. Ayah tahu begitu memuncak apa yang ada dalam benakmu dan jika pun harus menuliskannya apa yang telah berlalu, begitu banyak kesalahan yang telah Ayah taburkan. Kelabu dalam kehidupan Ayah itu telah berlalu, masih bisakah Ayah mengulang kisah untuk memperbaiki segalanya?”

Bersambung….

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sudahlah maafkan saja ayahmu Raihan seburuk apapun ayah kamu tetap dia adalah ayah kandung kamu yang bisa membuat kamu hadir di muka bumi ini. Jiah serius amat komentarnya hehehe

08 Sep
Balas

Hahaha..siap

08 Sep

Wahh Ayah Raihan yg datang ...ya Allah ...berikan solusi terbaik buat mereka ...semoga Raihan diberikan kesabaran ...sukses selalu Pak .Baarokallah.

08 Sep
Balas

Terima kasih bunda...aamiin

08 Sep

Jawabnya "entahlah?"

08 Sep
Balas

Hahaha

08 Sep

Hmm.Ada debaran dalam dadaKerenlah pokoke ceritanya.

08 Sep
Balas

Terima kasih bunda

08 Sep



search

New Post