Radinopianto

Alam ini seolah miniatur kehidupan masa depan, yang tak cukup dengan diam atau duduk santai sambil menyeruput kopi, Hidup ini bukan mimpi. Takkan sampai jika ta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Senja Menua di Rawajitu (Episode 34.  Pulang)

Senja Menua di Rawajitu (Episode 34. Pulang)

Kelabu memayungi kepalaku. Corak langit sedang tidak cerah, daun-daun kering meluruh lunglai. Pelepah batang terluka sepi. Sesaat senyumanku terjatuh, namun kukuatkan lidah untuk tak mengaduh agar tak tumbuh amarah membenci badai.

Terbelalak dengan rasa yang sulit kuungkapkan, lalu lalang anak-anak Pesantren sempat kulihat dari jendela depan rumah Pak Yai. Beberapa orang terlihat berjalan-jalan seputaran lapangan rumput, entah sekedar olah raga atau ada tugas lain yang diberikan untuknya. Aku masih duduk menyandar di samping Ayah.

Kenyataannya, bagaimana pun caraNya menuliskan , kisah ini tersaji tanpa keluhan, acap kali rasa sabar bersanding dengan jalan tak biasa yang telah menelikungku dalam penjara masa lalu yang menyesak,namun atas nama cinta kutemukan jawabannya.

Menggantang mimpi dalam butiran harap yang menyerpih lalu bergumam sendiri di tepian hari menapaki jalan. Mengurai satu persatu apa yang kutemui hari ini. Perlahan aku mulai terbiasa berterima meski lelah begitu menoreh pedih yang sebetulnya secara logika arsiran abstrak yang singgungannya menjadi sembiluan lara.

“Ada apa, Nak?”

Ayah mengulangi pertanyaannya, berderai-derai wajahku menggelegak basah. Wajah teduhnya mematung menunggu jawaban. Kudekap erat relung terdalam untuk tak menggenang larut dalam kehampaan. Begitu hebatnya ekspresi menghindari, secepat kedipan mata, tatapannya menyentuh titik kesedihanku, menerobos di tengah sorot kebimbangan hingga aku tak kuat lagi untuk tak memberikan jawaban.

Tadinya terasa tak bertuan hidup ini, namun realitanya semua jejak yang belakangan mengisi hari laksana penanda yang kemudian dapat kuraba dengan jelas. Masih tergagap, “Emak terjatuh dari tanggul, Ayah. Sekarang terkapar sakit.”

Senyap. Ayah terdiam beberapa saat, begitu juga Pak Yai yang dari tadi menyimak. Di keningnya segunung peristiwa pasti menggiring dalam suasana batin tak nyaman dan selaksa kenangan membuatnya meragu, waktu membentangkan jarak namun Ayah mungkin punya alasan.

Ada doa yang senantiasa dirapal dari bibirnya dan aku tahu Ayah menggenggam rindu untuk Emak.

“Kita pulang menemui Emak,” seketika paraunya Ayah membuatku mendongak. Pak Yai mengangguk menyemangatiku untuk tak melepaskan sulur-sulur kesabaran ini.

Kucium tangan Pak Yai dan Bu Yai, lalu pamit menggeret langkah. Ayah mengiringiku berjalan.

“Rabb, rasanya belum lama gejolak hati ini mendingin, mengecap betapa kasih indah yang menyapa hariku bertumbuh menjadi cikal yang menguat, sayangnya itu hanya sejenak….”

Angin mengipasi kuntum Anggrek, berlabuh di atas pangkuan semesta, magma netraku meleleh. .

Bersambung…..

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

bahasa yang indah Pak, mantap

02 Dec
Balas

Terima kasih bu.

02 Dec

Lanjutkan!

02 Dec
Balas

Siap pak

02 Dec

Diksinya sangt indah Pak. Keren kisahnya. Salm sehat dan sukses

02 Dec
Balas

Iya bu, mksh hadirnya..salam

03 Dec



search

New Post