Senja Menua di Rawajitu (Episode 35. Pulang Bagian 2)
Terminal mulai hingar bingar. Tak serikuh sebelumnya, Ayah duduk di sampingku. Posisinya sedikit berdempet. Antrian penumpang speed boad juga bersusun di kursi panjang. Halus wangi parfum non alkohol dari gamisnya menebar hingga ujung penciumanku. Tak ada obrolan.
Dalam diam, ada keluh yang mencoba memojokkanku untuk tak berkomentar, senada dengan kegelisahan yang membumbung, bilik batinku bolak-balik membuka lembaran, kepingan kenangan tentang Ayah mengisi paling banyak dari ruang memori, dari tiap yang terlanjur bersemayam hampir semuanya menorehkan luka yang sulit untuk sembuh.
Bak mimpi, wujud dan karakternya berbalik arah. Ayah yang kukenal jauh berbeda dengan yang kutemui hari ini, keteduhan yang kurasakan bertolak belakang dengan karakternya yang dulu, jika mau dirunut tentu perjalanan spritual hebat telah mengubah dunianya.
Sisi lain, dialog kecil di benakku berceloteh tentang bagaimana aroma perjumpaan antara Ayah dan Emak nanti. Seapik bagaimana Tuhan melunakkanku membuka diri atau akan berhadapan dengan episode penuh drama yang bertabur kebencian. Mengingat ini aku hanya berharap ada celah baik yang bisa membuat keduanya tak sampai harus berkonflik. Petugas karcis speed boad menghalau kekhawatiranku.
Dengan bantuan tangga kecil, kami mengisi speed boad yang sudah siap berangkat. Kebagian tempat di posisi depan membuat leluasa memandang sungai tanpa halangan. Gemuruh mesin yang terus dipercepat perlahan membuat gerakan maju, semilir seolah memberikan kekuatan mendorongnya “Bismillah ya Allah semoga perjalanan ini akan baik-baik saja.”
Daun nipah sepanjang Muara Mesuji menghijau.
Alhasil, satu jam terombang-ambing, Rawajitu makin tak terlihat pangkalnya. Semakin melebar meninggalkan kanal, semakin kuat goncangan air. Hantaman di pinggiran speed boad mendorongku ke tengah, tangan Ayah reflek menahan, seketika itu juga mendekapku.
“Maaf, Ayah.” Senyumannya mengembang.
Mencoba luruh mengunjungi ketulusannya berhasil menggoyahkan kebimbanganku. Ada rasa yang sulit terucap, tiap kali sesak membumi, di waktu yang lain selengkung buncah membintang. Berdiri pada fase ini dinamika asaku hanya bisa berpasrah, berharap semesta selalu punya cara membuatku gembira.
*****
Menjelang maghrib, Ukhti Rini menyambut kedatangan kami, setelah lepas tersesat oleh pikiran sendiri, nyawaku rasanya nyambung kembali melihat Emak. Rona mukanya masih pucat. Penuturan bu guru ini membuatku lega, meski belum siuman, Emak progresnya membaik.
Bersisian denganku, Ayah duduk melihatnya terkapar di atas tempat tidur. Entah apa yang dipikirkannya, namun jelas sekali beliau begitu berduka.
Rabb, Engkaulah penolong yang menolong. Pelindung yang melindungi, memberikan rasa aman yang dengan berbagai skenario-Mu menghapus sedih.
Aku merapikan kamar dan mempersilahkan Ayah untuk salat dan istirahat, tubuh lelahnya pasti begitu penat.
*****
Kedatangan pagi masih cukup jauh. Bulan turun tak menyala. Angin yang tadinya bersenda gurau memainkan asbes rumah sudah berdiam menepi, menyisakan rona pekat di bumantara dan mata ini belum juga mau terlelap.
Ada bayang tak nampak yang hilang di balik kelamnya, pada sunyi yang kemudian membawa rindu ini bertasbih.
Di ruang depan suara takbir terdengar sayup dan kupastikan doa Ayah turun naik menggaris langit. Merinding menyimak tartil yang dibacanya.
Bersambung….
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bagus pak ceritanya, tiap katamua sy bisa turut serta membayangkan kisahnya dan latarnya..lanjut
Terima kasih bu...siap
Ijin follow ya pak
Monggo
Mantap Jiwa, lanjut ke!
Terima kasih pak, siap