Senja Menua di Rawajitu (Episode 37. Pertemuan Emak)
Tirai jendela berlenggang dipermainkan angin. Kenyataan hidup yang angkuh menghantarkan berdiri pada jalan ini. Membesarkan hati untuk terus melangkah adalah fakta kelam yang mencabik masa lalu dan sepanjang waktu terlampaui, aku hanya mengakrabkan pikiran untuk berterima.
Berduka memagut diri di hadapan takdir tak akan mendapatkan apapun. Kisah ini telah berganti halaman jauh menembus batas nalar. Diam-diam semua yang mengemuka berhasil mengeroyok apa yang selama ini bercokol dalam sanubari dan memaksanya untuk berbalik arah.
Belakangan mulai bertumbuh bahwa sesungguhnya apa yang terjadi dengan Ayah dan segala kebencianku dengannya harus kuenyahkan jauh-jauh.
Semesta menyempurnakan kisah ini lewat perjumpaan yang memicu denyut adrenalin. Seketika segenap persendian gemeretak ngilu dan aku menahan nafas menyaksikan apa yang sekiranya terjadi.
Derit pintu terdengar jelas dibuka dan sesosok tubuh dengan aroma wangi semerbak menyembul dari bayang cahaya yang persis menyeruak masuk. Tak berani bertindak bahkan berucap apapun, aku hanya terpaku gelisah menunggu.
Emak terkesima, begitu juga Ayah. Tergagap tak menyangka bahwa pasangan halalnya itu telah siuman.
“Assalamualaikum……!” terucap lepas dari bibir Ayah. Intonasinya terasa bergetar.
“Waalaikumsalam…”
Sambil menahan handle pintu, bola matanya berlabuh menatap ke arah Emak dan dalam waktu yang sama kedua netra beradu pandangan, menjadi kali pertama ketika perubahan drastis itu tersua.
Detik waktu bergerak mengharu-biru, berharap tak berjumpa di penghujung waktu yang salah. Memungut harap di gentingnya realita.
Ayah tetap dengan rautnya yang tenang bergeming di hadapanku dan Emak. Sebesar cinta yang kuyakini terpelihara di dadanya berbaur dengan seonggok sesal, Ayah sumarah dengan segala konsekuensi yang bakal dihadapi dan dalam suasana hening itu Emak terkesiap tak berkedip seperti tersambar halilintar.
“Rabbul Izzati….,” ujung mataku meliriknya. Sesak. Pertemuan ini benar-benar menyentuh siluet hati dan tak ada jalan lain selain menyerah pada keadaan yang tak terperikan.
Emak bukan perempuan tinggi hati. Di parasnya dan senyum tulus yang mengembang, aku berteduh mengemis kasih. Sosok tegar pelipur lara yang telah paripurna menggenapkan kasih sayang tanpa pernah berkeluh-kesah.
Tak ada nampak bias menggugat dari tatapannya namun dia terisak.
Rabb, seluas limpahan rahmatMu jika pun tumpah merinai semua bentuk rasa bersalah, jawablah bahwa itu penyesalan karena khilaf. PadaMu, pada langit, meski pernah menyerpih tak berdaya, selarik rindu ini tak pernah lelah menunggu
Kupegangi tubuh Emak yang merebah. Emak pingsan tak sadarkan diri.
Bersambung…..
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar