R.A ENDAN RATNAWATI

HJ.R.A ENDAN RATNAWATI, S.Pd, M.Si, mengajar di SMAN 1 Pasir Penyu Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Mengajar mata pelajaran Matema...

Selengkapnya
Navigasi Web

BERAKHIR DI PENJARA

BERAKHIR DI PENJARA

OLEH : Hj.R.A Endan Ratnawati

(Guru SMAN 1 Pasir Penyu, Kab. Indragiri Hulu – Rau)

Hari masih pagi, udara terasa sejuk, angin sepoy-sepoy masuk kedalam rumah Bu Yana. Hatinya masih sedih, masih pilu. Kenangan itu kembali berkelebat di ingatan Bu Yana. Perlahan sambil duduk di kursi teras rumahnya dia seakan menerawang kemasa lalu. Masa dimana ketika itu ketiga anaknya masih kecil-kecil, suaminyapun masih ada disampingnya.

Suasana rumah selalu ramai, selalu riuh karena suara-suara berisik dari ketiga anaknya. Tiga anak Bu Yana lelaki semua, semua tidak ada yang mau tenang, semua lincah, semua aktif, semua lasak. Tak heran rumah mereka selalu berserakan, selalu berantakan, tak pernah bisa rapi. Setiap kali perabotan di tata , selang beberapa menit, akan berserakan lagi. Jadi tak heran jika rumah mereka layaknya seperti kapal pecah.

Sekarang suasana itu sudah lama berlalu, perabotan rumah tak lagi berantakan, peralatan berada di pososisi yang seharusnya. Tak ada lagi tangan-tangan mungil, tangan-tangan usil yang mengusik. Yang ada rasa sepi, rasa sunyi, suasana rumah terasa lengang, lengang sekali. Tak ada lagi yang menyerak-nyerak rumah, tak ada lagi suara teriakan atau jeritan anak-anak yang memperebutkan mainan mereka. Bu Yana tinggal dirumah peninggalan suaminya, Pak Petra namanya, beserta Mbok Iyem pembantu setianya.

Pak Petra seorang pensiunan polisi yang sangat rajin, disiplin dan tegas. Dedikasinya pada tugas dibuktikan dengan banyaknya sertifikat piagam penghargaan yang diterimanya. banyak kasus yang sudah berhasil diungkapnya, bersama timnya tentu.

Berbagai kasus pernah dia tangani, mulai dari kasus kriminal, kasus KDRT, kasus narkoba, dan masih banyak kasus-kasus lainnya. 30 tahun perhatian dan waktunya tercurah untuk kerjanya, demi menghidupi istri dan ketiga anaknya. Semua kebutuhan keluarga sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Dia kerja keras siang dan malam demi agar keluarganya dapat hidup layak.

Rumah mungil yang penuh kenangan, penuh sejarah saksi perjalanan hidup mereka. Tata ruang, tata halaman tidak banyak yang berubah. Masih sama seperti waktu semua anggota keluarga masih lengkap. Sengaja keadaan tidak banyak yang diubah, Bu Yana seakan tak ingin kenangan itu hilang akibat perubahan itu. Bu Yana ingin tetap ditemani oleh kenangan masa-masa indah mereka dulu.

Perlahan Bu Yana menghela nafas dalam, seakan mau melepasakan semua beban dan semua derita di hati. Mata tuanya menerawang, nanar kearah yang tak jelas. Bulir bening mengalir dari sudut mata tuanya. Ada kesedihan yang teramat sangat disana. Kalau saja kejadian ini tidak ada, tentu tidak ada mendung di wajahnya.

Tidak apa-apa dia hanya tinggal berdua dengan Mbok Iyem, pembantu rumah tangga mereka. Tidak apa-apa Bu Yana menjalani semua itu, asalkan semua anak-anaknya baik-baik, yang penting anaknya bahagia dengan kehidupannya masing-masing. Kabar kebahagiaan anak-anaknya akan mendatangkan rasa bahagia pula dihatinya.

“Bu, ini teh manisnya” terdengar suara Mbok Iyem dari arah dalam rumah, membawakan secangkir teh panas untuk majikannya. Mbok Iyem melihat Bu Yana duduk termenung lesu dikursi teras rumah mungil mereka. Mbok Iyem dapat merasakan keresahan hati majikannya itu

“Kasihan sekali majikanku ini, masa tuanya akan selalu dirundung kesedihan. Seharusnya dia sudah bisa menikmati sisa hidupnya dengan tenang dan bahagia. Tugasnya sebagai seorang ibu sudah ditunaikannya. Lewat kasih sayang dan cintanya anak-anak Bu Yana tumbuh menjadi pribadi yang mandiri.

Tapi sekarang apa yang menimpanya? Kasihan, ...kasihan,... kasihan sekali. Mbok Iyem bergumam dalam hati, tak ada yang bisa ia lakukan, dia hanya seorang pembantu rumah tangga, yang hidup dari hasil menjual jasa dan tenaga. Tak ada yang bisa diperbuatnya, selain mencoba menghibur dan menjadi pendengar yang baik, yang siap menampung semua keluh kesah majikannya.

“Sudahlah Bu, jangan menangis lagi” ucap Mbok Iyem. Mbok Iyem menangkap kesedihan di wajah senja Bu Yana. Wajah yang dulu selalu ceria, penuh senyum, sekarang berganti dengan balutan kabut, selalu ada kabut, selalu ada mendung, selalu dibasahi air mata.

“Sabar ya Bu, semoga ini menjadi pembelajaran yang berharga” Mbok Iyem berusaha menghibur hati Bu Yana. Ia tahu apa yang dirasakan Bu Yana. Dia tahu kesedihan yang dialami majikannya. Suasana hati Bu Yana dapat dirasakan oleh Mbok Iyem. Hubungan keduanya sudah seperti saudara layaknya.

“Hmm .....” Bu Yana tidak mengucapkan apa-apa, hanya sebuah helaan nafas berat yang keluar dari bibirnya. Matanya terlihat sendu, ada kesedihan yang membayang.

“Entahlah Mbok, aku merasa gagal menjadi seorang ibu” suara Bu Yana, seolah menyesali keadaan yang dia alami.

“Kalau saja bapak masih ada, mungkin ibu tdak terlalu menderita seperti ini” Bu Yana mencoba menyampaikan isi hatinya kepada pembantu setianya. Mendung diwajahnya semakin berkabut, semakin gelap, hitam. Air mata itu sekarang lebih sering menghiasi hari-hari di usia tuanya.

“Apa salahku, ya Mbok? Anak-anak yang ku didik, kurawat dengan penuh kasih sayang, penuh cinta kok bisa jadi begini” ada suara tangis yang mengiringi kata-kata itu. Air mata Bu Yana mengalir tanpa kuasa dibendung lagi.

“Anak-anak yang kuharapkan membahagiakanku di masa tua ku, tapi apa yang mereka berikan sekarang” Bu Yana merasa kecewa atas apa yang menimpanya.

“Ibu tidak salah, ibu sudah merawat anak-anak dengan baik. Kalau saat ini terjadi yang tidak ibu inginkan, itu sudah jadi pilihan hidup mereka. Mereka sudah dewasa, sudah bisa memilih jalan hidup yang mereka inginkan” Mbok Iyem berusaha menghibur dan menenangkan hati majikannya, agar rasa bersalah itu tak perlu membebaninya.

Semua yang terjadi dirumah ini, tak ada yang luput dari pengetahuan Mbok Iyem. Bagaimana tidak, dia sudah puluhan tahun hidup bersama keluarga ini. Sejak ketiga anak-anak Bu Yana masih bayi, hingga satu demi satu mereka tumbuh dewasa dan memilih jalan hidup masing-masing.

Tumbuh kembang anak-anak Bu Yana, adalah hasil buah rawatan tangan Mbok Iyem. Inilah bukti pengabdian dan baktinya pada majikan. Kini tugasnya tinggal menemani dan melayani Bu Yana saja. Hari-hari yang mereka lalui bukan semuanya mulus. Banyak kerikil tajam, jalan berliku, banyak badai yang sudah mereka alami bersama.

Perlahan Bu Yana menikmati teh manis, yang sudah mulai dingin. Ada rasa sejuk saat air teh itu membasahi dikerongkongannya. Rasa sejuk itu tak mampu membasuh kesedihan dihatinya.

“Kalau seperti sekarang ini, Alsa sedang ngapa ya Mbok? Tanya Bu Yana.

“Mungkin dia sedang di hajar petugas provost ya Mbok? Pastilah berat hari-hari yang dilaluinya. Wajah yang tadinya sudah mulai tenang kembali berkabut. Kesedihan kembali membayang disana.

“Kita doakan sama-sama bu, semoga masalah Alsa cepat selesai” Mbok Iyem kembali meredakan kegalauan hati Bu Yana.

“Besok kita pergi jenguk Alsa ya Mbok” ajak Bu Yana kepada pembantunya. Mbok Iyem hanya menganggukkan kepalanya saja. Seperti hari hari yang lalu, setiap hari Sabtu atau hari minggu mereka pergi mengunjungi Alsa yang masih meringkuk di dalam sel tahanan .

Masih segar dalam ingatan Bu Hasan, bagaimana beberapa hari yang lalu Alsa datang kerumahnya sendiri. Sebenarnya Bu Hasan sudah curiga mengapa kali ini Alsa pulang tidak disertai anak-anak dan istrinya. Alsa hanya berkurung dalam kamar, tak mau keluar rumah. Wajahnya kelihatan tegang, sebentar-sebentar dia mengintip kearah luar rumah. Seolah ada sesuatu yang ditakutinya.

“Alsa, kamu kenapa Nak? Tanya Bu Yana penuh kasih sayang.

“Kenapa kamu pulang sendiri, mana anak dan istrimu? Bu Yana bertanya penuh rasa curiga. Ini pasti ada yang tak beres, fikir Bu Yana.

“Ga ada apa-apa Ma. Aku baik-baik saja” jawab Alsa. Seolah tak ingin ada yang mengusiknya.

“Ayolah, cerita sama Mama. Jangan bohongi Mama. Kamu sedang menyembunyikan sesuatu dari Mamakan?” Bu Yana terus mendesak Alsa agar mau bercerita. Ibu mana yang tak tahu perasaan buah hatinya. Bu Yana tahu Alsa sedang berusaha menyembunyikan sesuatu darinya.

Tangan keriput Bu Yana mengusap-usap punggung Alsa yang sedang berbaring, membelakanginya. Tangan keriput itu dulu yang selalu dengan lembut membelainya, menuntunnya, membimbingnya. Tangan itu masih tetap hangat masih tetap lembut. Tangan itu tetap mendatangkan kedamaian.

“Sudahlah, mama jangan ikut campur urusan aku. Aku bukan anak kecil lagi, aku tahu apa yang aku buat” suara Alsa sedikit emosi. Tangan keriput itu ditepis dari punggungnya.

“Mama jangan banyak tanya-tanya, aku tak suka” suara Alsa semakin keras. Tangannya dengan kasar menarik selimut, kemudian menutup semua tubuhnya, juga mukanya.

“Alsa, ini mama. Mama berhak tahu apa masalahmu” Bu Yana masih berusaha membujuk anaknya.

“Coba cerita sama mama, mungkin mama bisa membantumu” Bu Yana tetap berusaha ingin tahu apa yang dihadapi anaknya.

“Sudahlah, aku tak suka mama banyak tanya. Kalau ada yang cari aku, jangan bilang aku ada dirumah” Alsa menjawab penuh emosi. Dengan sigap dia tinggalkan kamarnya, berlari ke arah kamar tamu.

“Jeder... “ terdengar suara pintu dibanting, tak lama terdengar suara pintu dikunci. Suasana rumah berubah menjadi mencekam. Alsa benar-benar marah, emosinya tak terkendali lagi. Mama yang seharusnya dihormati, sekarang kehadirannya dianggap sebagai pengganggu. Mama yang seharusnya tempatnya bercerita, kini dianggap mencampuri urusannya.

Dengan langkah bergegas, Bu Yana berusaha menghampiri kamar tamu rumahnya.

“Tok,...tok,...tok... “Bu Yana menggedor-gedor kamar tamu, sambil memanggil-manggil nama anaknya.

“Bu, sebaiknya biarkan saja. Ga usah ibu hiraukan” Mbok Iyem berusaha mencegah Bu Yana agar jangan mendekati kamar anaknya.

“Ga usah paksa bu, nanti dia tambah marah” lanjut Mbok Iyem.

Kelihatan Bu Yana berusaha menenangkan diri, sambil beranjak meninggalkan kamar tamu. Benar kata Mbok Iyem, biarkan keadaan Alsa tenang dulu. Siapa tahu nanti dia mau bercerita, tanpa diminta. Alsa yang cepat emosi, cepat marah, agak temperamental memang tak bisa berubah. Semua masalah dihadapi dengan emosi, diakhiri dengan marah-marah.

“Ibu mau langsung sarapan? Suara Mbok Iyem membuyarkan lamunannya.

“Nanti saja Mbok” Bu Yana menjawab tak bersemangat. Tak sedikitpun ada gairah diwajahnya. Semua nampak tak bergairah. Sebentar-sebentar terdengar helaan nafasnya yang berat. Pandangan matanya tetap menerawang, mengingat kejadian yang baru saja dialaminya.

“Assalamualaikum,... Assalamualaikum,... “ terdengar suara ramai di luar rumah. Terdengar suara pintu di gedor berulang-ulang. Kelihatan Bu Yana bergegas menuju ruang tamu. Dari arah luar terdengar suara begitu ramai. Di sekitar rumah terdengar ada langkah-langkah kaki orang. Sekeliling rumah terdengar suara-suara berisik yang tak jelas.

Betapa terkejutnya, Bu Yana menyaksikan pemandangan yang ada didepan matanya. Sekeliling rumah sudah dikepung oleh banyak orang. Polisi ada dimana-mana. Ada apa ini? Jangan...janagan... Bu Yana tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia tak berani membayangkan bahaya apa yang sedang menghadangnya.

Bu Yana tak mampu berkata apa-apa lagi ketika polisi menanyakan keberadaan Alsa. Begitu pintu dibuka, tanpa dipersilakan, polisi langsung masuk kedalam rumah. Semua anggota polisi bergerak masuk kedalam rumah. Mereka menyebar ke setiap ruang . Menggeledah setiap sudut rumah. Mencari Alsa,... ya Alsa,...sudah terjadi sesuatu dengan Alsa.

“Praaak,....jedeeer” terdengar suara pintu yang didobrak. Polisi terpaksa mendobrak pintu kamar, setelah berulang kali di ketuk, tapi tak kunjung di buka.

“Jangan bergerak,...” terdengar suara hardikan di depan pintu kamar tamu. Kamar tempat Alsa berada. Suara riuh terdengar dimana-mana.

“Jangan melawan” terdengar suara keras, mengancam. Tak lama Alsa keluar dari kamar dengan tangan sudah tergorgol kearah belakang. Ada dua orang polisi memegang tubuhnya dibagian kiri dan kanan. Alsa digiring dengan wajah tertunduk. Alsa tak mampu memberikan perlawanan, apalagi melarikan diri.

Alsa terlibat kriminal lagi. Kali ini tidak main-main. Ada barang bukti yang tidak bisa dielakkan lagi. Sabu-sabu, ada sabu-sabu didalm ransel yang disembunyikan Alsa dikolong tempat tidur. Ada alat pengisap sabu “Bong” didekat tempat tidurnya. Alsa tidak melakukan perlawanan, karena dia baru habis “makai”. Sedang hilang kesadaran, dalam keadaan “sakau”.

Bu Yana tak mampu berbuat apa-apa, barang bukti yang didapat cukup menjadi alasan penangkapan anaknya. Teriakan histeris Bu Yana tidak menyurutkan langkah petugas untuk menggiring Alsa anaknya. Bu Yana berusaha memberi penjelasan dan memohon kepada petugas agar anak kesayangnnya tidak ditahan. Naluri seorang ibu untuk melindungi anak-anaknya. Jiwa raga rela ia korbankan demi anak buah hatinya.

“Apa salah anakku? Tolong,... tolong, jangan ambil anakku” teriaka suara Bu Yana terdengar kemana-mana.

“Ibu yang sabar, ya Bu. Biarkan anak ibu mempertanggung jawabkan perbuatannya” seorang polisi berusaha melepas genggaman tangan Bu Yana dari tangan Alsa anaknya. Tangan tua yang tak berdaya itu tetap berusaha mempertahankan cengkramannya. Alsa tak sanggup memandang tubuh tua mamanya yang terhuyung akibat terlepas dari genggamannya. Betapa ia sudah sekian kali membuat mamanya kecewa, sudah sering kali.

Sejak dulu ia telah sering mendatangkan kesedihan pada mamanya. Untuk mengucapkan maafpun dia sudah tak sanggup lagi. Sudah terlalu banyak dosa yang dia buat untuk mamanya. Wanita tua renta yang seharusnya, ia bahagiakan, yang seharusnya ia senangkan. Dia hanya mampu mendatangkan kesedihan dan kekecewaan.

Berbagai kata-kata meratap keluar tak terkendali dari bibir Bu Yana yang bergetar. Suara lantangnya, diiringi deraian air mata. Air mata sedih, air mata kecewa membaur jadi satu. Semua itu tak membuat polisi bergeming. Alsa tetap digiring masuk ke dalam mobil patroli polisi yang sudah parkir di depan rumah mereka.

Kegalauan hati Bu Yana terasa sangat membebani jiwa dan raganya yang semakin renta, semakin rapuh. Sinar matahari pagi bersinar semakin terang, tak mampu menerangi kegelapan jiwa. Sinar pagi tak mampu menghapus kabut yang menyelimuti hatinya.

Orang-orang sudah sibuk mengawali harinya dengan berbagai kegiatan, sementara Bu Yana masih duduk termangu di depan teras rumahnya. Termenung membayangkan buah hatinya yang sedang di penjara. Termenung merenungkan masa tuanya yang kelabu. Masihkah ada waktu tersisa untuk melihat buah hatinya menghirup udara bebas? Berapa tahun lagi saat itu akan datang? Sedangkan menunggu datangnya hari Sabtu atau hari Minggu saja terasa begitu lama. Semoga masih ada waktu untuknya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wooo....isinya menyentuh bu...

23 Nov
Balas

Terimakasih Bu, sudah membaca cerpen saya.

24 Nov
Balas



search

New Post