Rahmaizar Aljaswan

Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Tetaplah semangat.....

Selengkapnya
Navigasi Web
PENTINGNYA MEMBANGUN BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH

PENTINGNYA MEMBANGUN BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH

Oleh : RAHMAIZAR, S.Pd

CGP ANGKATAN 6 DHARMASRAYA

Setelah mempelajari modul 1.4 ini banyak sekali pelajaran yang saya petik dari modul ini. Dan banyak sekali tindakan-tindakan yang dilakukan di sekolah sehubungan dengan budaya positif yang sangat bertentangan dengan pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara seperti yang dipaparkan dalam modul ini. Dan banyak sekali hal atau pun tindakan dari para pendidik yang perlu di luruskankan kembali.

Sebagai pendidik kita harus menciptakan Budaya positif di sekolah. Budaya positif ini tentunya berakar pada nilai kebajikan yang diyakini semua warga sekolah yaitu nilai Profil Pelajar Pancasila. Dalam mewujudkannya, guru harus memahami motivasi dan langkah yang tepat. agar siswa menjadi manusia seutuhnya yang memiliki kebahagiaan dan keselamatan setinggi - tingginya.

Jadi, sebagai seorang pendidik yang akan menuntun murid supaya menjadi manusia seutuhnya, kita memang harus mau mengubah pola pikir kita dan sikap ataupun prilaku kita untuk kemajuan. Bergerak dan gerakkan perubahan dalam komunitas kita. Niat yang sama dan cara yang sama untuk menciptakan budaya positif di sekolah tentu akan terwujud.

Sebagai warga sekolah, kita harus menciptakan disiplin postif baik dikalangan teman sejawat maupun di kalangan guru. Pada dasarnya bila mendengar kata “disiplin” orang akan menghubungkan dengan tata tertib, teratur dan kepatuhan pada peraturan. Dan sering juga dimaknai dengan hukuman padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan bila perlu tidak digunakan sama sekali.

Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan mulia, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai agar tercapai tujuan mulia yang diinginkan. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.

Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. Namun, sebelumnya kita tentu harus mampu terlebih dahulu mendisiplinkan diri kita sendiri agar bisa menjadi tauladan bagi murid kita.

Disiplin adakalanya tercipta karena adanya motivasi atau alasan seseorang untuk melakukannya. Motivasi ini bisa bersifat internal maupun bersifat ekstrernal. Motivasi ini ada tiga yaitu, 1) motivasi untuk menghindari ketidaknyaman atau hukuman. 2) Motivasi untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain dan 3) Motivasi untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Motivasi yang ke tiga merupakan motivasi yang bisa untuk menanamkan nilai displin positif kepada murid karena motivasi yang muncul dari dalam diri murid (motivasi instrinsik) sehingga berdampak jangka panjang dan tidak terpengaruh dengan adanya hukuman atau hadiah. Sebagai guru, tugas kitalah untuk menanamkan displin positif kepada siswa dengan memberi contoh tauladan yang baik.

Di sekolah, peraturan yang dibuat selalu ada yang melanggar. Tindakan dalam bentuk pelanggaran umumnya berbentuk hukuman atau konsekwensi. Hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Murid tidak tahu apa yang akan terjadi. Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi sudah terencana atau disepakati. Sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Selain itu, ada program disiplin positif yang dinamakan Restitusi. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka bisa Kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat.restitusi merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, konsekwensi biasanya diberikan berdasarkan suatu data yang umumnya dapat diukur.

Ciri-ciri restitusi adalah : 1) restitusi bukan menembus kesalahan, namun untuk berlajar dari kesalahan, 2) Restitusi memperbaiki hubungan, 3) Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan, 4) Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri, 5) Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan, 6) Restitusi diri adalah yang paling baik, 7) Restitusi focus pada karakter bukan tindakan, 9) Restitusi focus pada solusi, 9) Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah kepada kelompoknya.

Kata disiplin tanpa tambahan kata ‘positif’ di belakangnya, sesungguhnya sudah merupakan identitas sukses dan hukuman merupakan identitas gagal. Disiplin yang sudah bermakna positif terbagi dua bagian yaitu Disiplin dalam bentuk Konsekuensi, dan Disiplin dalam bentuk Restitusi.

Menurut Kohn tindakan memberikan penghargaan hampir sama nilainya dengan menghukum seseorang. Baik penghargaan maupun hukuman, adalah cara-cara mengontrol prilaku seseorang yang menghancurkan potensi untuk pembelajaran yang sesungguhnya.

Seluruh tindakan manusia sesunggunya memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita. Kebutuhan dasar kita adalah (a) Kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), yaitu, kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. (b) Kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), yaitu, Kebutuhan untuk disayangi dan diterima meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, (c) kebebasan (freedom) yaitu, kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. (d) kesenangan (fun), yaitu, kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. (e) penguasaan (power), yaitu kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri.

Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Sebagai seorang guru, kita harus menguasai 5 posisi kontrol untuk menyelesaikan masalah siswa di kelas maupun di sekolah. Seorang guru yang baik dapat memposisikan dirinya sebagai posisi yang baik dalam proses pembelajaran didalam kelas. Lima posisi kontrol tersebut adalah: (a) Penghukum. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata: “Patuhi aturan saya, atau awas!”, “Kamu selalu saja salah!”, “Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”. Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia. (b) Pembuat Merasa Bersalah. Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti: “Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”, “Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”, “Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?” Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya. (c) Teman. Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata: “Ayo bantulah, demi bapak ya?”. “Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”, “Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”. Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. (d) Pemantau. Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau: “Peraturannya apa?”, “Apa yang telah kamu lakukan?”, “Sanksi atau konsekuensinya apa?” (e) Manajer adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer akan berkata: “Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas), “Apakah kamu meyakininya?”, “Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”, “Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”, “Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?” Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.

Dari kelima posisi kontrol diatas yang paling baik adalah kita sebagai guru memposisikan sebagai manager. Di mana kita sudah membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya sendiri. Sesuai pemikiran KHD bahwa sebagai seorang guru kita harus membuat siswa kita merdeka belajar untuk dapat mengubah lakunya sendiri sebagai manusia yang merdeka lahir dan bathin.

Untuk memudahkan kita dalam mengontrol murid. Kita perlu Menyusun keyakinan kelas Bersama murid di kelas agar murid tahu apa yang mesti dilakukan untuk menciptakan kelas yang aman, nyaman dan tentram. Selain itu murid juga tahu nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Nilai-nilai kebajikan yang menekankan pada keyakinan seseorang akan lebih memotivasi seseorang dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Pembentukan keyakinan sekolah/kelas dengan cara mengubah kalimat-kalimat dalam bentuk negative menjadi positif. Contoh : jangan berlari di kelas atau koridor ( kalimat negative)

Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas: (a) Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit. (b) Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal. (c) Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif. (d) Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas. (e) Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut. (f) Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat. (g) Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

Untuk mengontrol prilaku murid kita bisa menggunakan tiga tahapan segitiga restitusi yang dirancang oleh Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001) tentang 3 sisi dari Segitiga Restitusi. Proses tiga tahapan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip utama dari Teori Kontrol. Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah-langkah tersebut adalah: (1) Menstabilkan Identitas Stabilize the Identity Kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang suksesl. Kalau kita ingin ia menjadi reflektif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat ini: (a) Berbuat salah itu tidak apa-apa. (b) Tidak ada manusia yang sempurna . (c) Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu. (d) Kita bisa menyelesaikan ini. (e) Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari permasalahan ini. (f) Kamu berhak merasa begitu. (g) Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri? (2) Validasi Tindakan yang Salah Validate the Misbehaviour Semua perilaku memiliki alasan

Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat di bawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan mereka. “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?” ,“Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu” ,“Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting buatmu”.,“Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.” (3) Menanyakan Keyakinan Seek the Belief Kita semua memiliki motivasi internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga. (a) Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga? (b) Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati? (c) Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal? (d) Kamu mau jadi orang yang seperti apa?

Sebenarnya Langkah-langkah itu sudah kita gunakan dalam berbagai versi menurut gaya kita masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi dan langkah-langkah tersebut tidak harus dilakukan satu persatu secara kaku.

Itulah penjelasan tentang budaya positif yang bisa kita lalukan di sekolah. Agar teman sejawat bisa menerapkan semuanya, saya pun melakukan pengimbasan materi budaya positif ini di sekolah kepada teman sejawat. Karena penerapan budaya positif tidak bisa dilakukan oleh satu orang saja. Harus seluruh warga yang menerapkannya.

Sumber :

Modul 1.4 Pendidikan Calon Guru Penggerak

Referensi:

Restitution: Restructuring School Discipline, Diane Chelsom Gossen, 2001, New View Publications, North Canada.

Ki Hajar Dewantara; Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,2013, UST-Press bekerjasama dengan Majelis Luhur Tamansiswa

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ulasannya

19 Nov
Balas



search

New Post