Tepukan lembut di pundak membuatku lantas menoleh ke belakang.

“Mas Kiki, apa kabar?”

“Yaa ...”

Aku gugup. Bagaimana tidak, perbedaan yang mencolok terlihat pada diri kami. Aku – seorang tukang parkir di depan sebuah pertokoan di sudut jalan raya, mengenakan kaos oblong lusuh, topi kusam di kepala, lengkap dengan sebuah peluit mungil di leher, disapa seorang gadis – yang terlihat sangat rapi, dan terpelajar.

“Mas, ini aku, Ayesha.”

Kutatap wajahnya sebentar. Mata bulatnya terlihat berbinar. Kuperhatikan senyuman yang melengkung dari bibirnya. Senyuman yang sangat tidak asing – persis sama.

***

Hujan deras tiba – tiba turun. Menimpa aspal dengan keras. Menimbulkan percikan air yang degil dan nakal.

“Aku selalu mencari tahu keberadaanmu, Mas.”

Aku terdiam. Mematut ujung sepatuku yang mulai robek besar. “Mencariku? Untuk apa?” Tenggorokanku tercekat, menyulitkanku untuk berkata – kata.

“Untukmu dan Kiara, Mas. Sebab, semenjak Mbak Ratih berpulang – “

“Ayesha, aku tenang menjalani hidup seperti ini, dan aku selalu berjuang demi kebahagiaan Kiara.”

“Mas...”

“Katakan pada Ibu, mencoba menggugurkan janin di rahim Ratih adalah kesalahan terbesar yang pernah ada. Meski Kiara terlahir tanpa kesempurnaan fisik, namun Kiara adalah kesempurnaan yang kumiliki.”

Dadaku sesak saat mengenang pahitnya luka. Tanpa menoleh lagi, kuterobos rintikan hujan petang ini, kubiarkan air mata luruh – meredam sakit hatiku.

***

198 kata

Lubuk Sikaping, 22 Januari 2016

Profil Penulis :

RAMITA ZURNIA, 30 tahun. Berdarah asli Minangkabau yang pernah mendapat sebutan “Cerpenis Kocak” oleh sahabat – sahabat di bangku SMA. Seorang perindu yang taat melukiskan luka dalam bait – bait sajak. Yang gemar menyesap kopi, sambil mendengarkan senandung hujan.

Sapa aku lewat Twitter dan IG-ku : @Mitha_AdelSanto