Ramlan Maulana

Nama. : Ramlan Maulana Ttl. &...

Selengkapnya
Navigasi Web

INDONESIA INI SEMAKIN POKEMON SAJA

#tantangan_hari_ke_15

#tulisan_ke_15

 

INDONESIA INI “SEMAKIN POKEMON SAJA”

Oleh : Ramlan Maulana

 

Demam Game “Pokemon Go” di Indonesia belakangan ini merupakan gambaran betapa bangsa kita semakin “pokemon saja”. Saya tidak hendak memberitakan tingginya rating  game tersebut, melainkan ingin menceritakan betapa semakin “latahnya bangsa ini”. Dari sekian banyak “kelatahan” masyarakat Indonesia yang dalam bahasa psikologi sosial disebut “Perilaku Imitasi”, fenomena pokemon ini lah yang terparah ke “sakitan” nya kalau tidak ingin dikatakan ke “gilaan” nya. Sehingga saya tergerak hati untuk mengilustrasikan kondisi tersebut dengan satu kalimat “semakin pokemon saja”. Menggelikan memang, tapi, ya fakta ini lah yang sedang terjadi.

Saya tidak tertarik dengan adanya analisis bahwa game “Pokemon Go” sebagai startegi meyahudikan masyarakat Indonesia, karena bagi saya analisis tersebut terlalu membabi buta, terlebih terhadap analisis bahwa ia sebagai cara Barat untuk menjajah bangsa kita dengan gaya baru, menurut saya hal tersebut malah terlalu menunjukan “Baratphobia”. Apalagi kalau ada yang mengkaitkan dengan bahasa agama man tasyabbaha bi qoumin fa huwa minhum, maka analisis tersebut terlalu dahsyat ketakutannya. Dalam beberapa hal analisis tersebut memang bisa ada benarnya, namun tetap saja bagi saya hal itu terlalu apologetic.

“Geli” sekaligus “gila”. Barangkali Kata inilah yang kiranya cocok untuk merefresentasikan analisis saya terhadap kepokemonan bangsa kita belakangan ini. Geli melihat tingkah orang-orang yang kesehariannya disibukan untuk mencari monster dalam game “pokemon” seolah tidak ada pekerjaan yang lebih penting dari itu. Gila, mengingat kesan yang timbul seolah-olah orang tersebut sudah kehilangan alam sadar nya, yang dalam bahasa psikologi social hal demikian itu disebut dengan subconscious. Terlebih kalau menyaksikan berita-berita di media massa terkait prilaku para pecinta game ini, maka semakin ingin tertawa jungkir balik saja saya dibuatnya. Tidak salah memang, karena itu hak setiap orang, hanya saja saya sebagai orang yang masih mempunyai rasionalitas melihat fenomena tersebut merasa geli.

Layaknya ketika saya geli melihat orang yang berpenyakit “latah”, hal yang sama juga ketika saya melihat orang-orang yang terkena syndrome “pokemon go”. Bagi saya fenomena pokemon go merupakan penyakit “latah” itu sendiri. Dari sekian banyak kelatahan bangsa ini yang menggelikan, sindrom pokemon go inilah yang sangat sangat sangat menggelikan. Ya, begitulah, karena Indonesia ini semakin “pokemon” saja. 

Dalam study psikologi, orang  latah diartikan sebagai orang yang menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain secara tidak sadar; meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain. Dilihat dari definisinya, latah, bukan saja perilaku meniru perbuatan orang lain, tapi bisa lebih fatal dari itu yaitu meniru bangsa lain.  Bangsa kita, Indonesia tercinta ini, sejak dahulu memang telah terkena penyakit ini. 

Coba kita tengok ke belakang. Kita ambil contoh dalam industri musik kita, dalam waktu yang tidak begitu lama demam boyband dan girlband begitu menggejala di tengah bangsa kita, sehingga semakin korea saja negri ini. Maksud hati hendak mengikuti gaya korea yang tinggi, putih, imut, dan menggemaskan, eeh jatohnya malah bukan imut tapi justru melambai.

Itu di dunia music dan hiburan. Coba tengok wilayah fashion. Lihat bagaimana style cewek-cewek saat ini. Begitu ada style fashion yang lagi populer banyak cewek berburu pakaian, sepatu, tas dan apalah yang sedang trend. Intinya, seiring kian akutnya penyakit “latah” dalam diri bangsa ini, maka kian kuat juga identitas “konsumen” dalam diri bangsa ini. Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan bagi produk-produk negara lain, mulai dari barang sepele seperti makanan sampai kendaraan. Bahkan, pertelevisian di negara ini juga didominasi oleh film kartun (anime) yang notabenenya berasal dari luar. Secara tidak sadar, tontonan yang kita konsumsi dari kecil sampai saat ini menimbulkan latah bagi sebagian besar orang Indonesia. Munculnya para otaku (sebutan bagi pecinta anime dan manga),  wota (sebutan bagi pecinta musik Jepang) serta gaya pakaian dan rambut harajuku merupakan contoh real dari kelatahan tersebut.. 

Valentine. Budaya barat satu ini juga menimbulkan kelatahan bagi bangsa Indonesia utamanya kaum remaja. Tahu tidak tahu, kenal tidak kenal dengan yang namanya budaya valentine, bagaimana sejarah dan filosofinya, lantas kaum muda memperingatinya begitu saja. Satu hal yang pasti, bangsa kita mengekor kebudayaan asing tanpa tahu apa dan bagaimana sementara kebudayaan sendiri saja ditinggalkan.

Lagi, budaya pesta kembang api di pesta malam tahun baru. Darimana mana sih kebiasaan ini bermula? Kenapa malam pergantian tahun dirayakan dengan membakar uang puluhan juta hanya untuk pemandangan gemerlap sekejap mata? Pentingkah pesta seboros itu dan kenapa jutaan orang di dunia melakukan kegiatan mubadzir satu ini.

Dari dunia teknologi, ketika baru-baru ini wabah android melanda dunia, masyarakat indonesia pun ikut latah. Berbondong-bondong banyak pengguna smartphone berganti ponsel android demi mengejar ''eksistensi dan gelar up to date''. Setelah sebelumnya Indonesia dijangkit demam blackberry dan fitur andalannya, BB messenger. Belum lagi dalam hal penggunaan jejaring sosial.

Ironis ketika mendapati banyaknya ke-latah-an di negara ini. Latah memang tak selalu buruk, tapi kebanyakan yang menjadikan latah justru hal-hal yang negatif. Seperti di atas, latah di bidang usaha, bukannya akan baik tapi justru mematikan usaha. Bagaimana orang akan sukses dengan hanya meniru tanpa kreatifitas dan inovasi dari diri sendiri? Merugikan bagi produsen asli, diri sendiri dan para plagiat lainnya.

Latah dalam hal fashion dan teknologi misal, mengikuti apa yang sedang in dan hanya merupakan fenomena sesaat, hal ini hanya akan memicu perilaku konsumtif. Kenapa? Karena kita dituntut untuk selalu up to date dan yang namanya trend pasti akan berlalu dan digantikan trend berikutnya, inilah yang mendorong kita untuk membeli dan membeli. Tak sadar, kita didorong menjadi kaum yang hedonis.

Dari sekian banyak kelatahan yang melanda negri ini, baru kali ini saya tergerak hati untuk ikut berkomentar, hal ini setelah saya melihat gejala “pokemon go” yang begitu menggemparkan. Pokemon adalah refresentatif kartun yang lucu, konyol, menggemaskan, menggelikan dan biasanya irasional. Wajar karena ia adalah kartun, lalu bagaimanakah dengan “pokemon go” yang hari ini menggejala sehingga menjadi prilaku manusia Indonesia. Yaa wajar juga, tapi bagi Indonesia yang “semakin pokemon saja”. (he..he..maaf tulisan ini hanya mengisi waktu luang saja, jangan dianggap terlalu serius)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post