Ramlan Maulana

Nama. : Ramlan Maulana Ttl. &...

Selengkapnya
Navigasi Web

Lockdown dan Panic buying

*Lockdown dan Panic buying*

Oleh:

*Ramlan Maulana*

Kejadian luar biasa (KLB) -bencana corona- yang sedang terjadi di jagat raya belakangan ini, memunculkan ragam dampak sampingan yang kompleks. Munculnya kebijakan _lock down, sosial distancing, individual distancing, work from home, e-learning from home_ bagi pelajar dan mahasiswa, pola menjaga hidup sehat, dan sebagainya adalah contoh kompleksitas dampak sampingan tersebut. Namun rupanya dibalik situasi yang serius seperti sekarang ini selalu ada "kejenakaan" di dalamnya. Bukan Indonesia namanya kalau tidak demikian.

"Selalu ada Jenaka di antara kita", begitulah kira kira ungkapannya. Saya bisa dengan sukarela tersenyum bahkan tertawa sesaat setelah membaca meme meme kocak yang diposting orang -orang di medsos: FB, Wattshap, twiter, Instagram, dsb. Tetapi juga terpaksa harus senyum geli memperhatikan perilaku "menyimpang" sebagian kalangan.

Salah satu perilaku yang menjadikan saya terpaksa harus tersenyum geli adalah fenomena "Panic buying". Dalam istilah sederhana panic buying adalah tindakan berbelanja atau membeli barang secara besar-besaran yang dilakukan untuk mencukupi persediaan barang-barang. Bahkan dengan alasan untuk stok barang, tidak jarang mereka melakukan penimbunan. Beberapa benda yang banyak dibeli adalah masker, hand sanitizer, hingga bahan makanan. Oleh karena tindakan panic buying ini, akhirnya beberapa barang tadi sudah sulit ditemukan atau langka di pasaran. Akibatnya berdampak kepada melonjaknya harga harga barang tersebut di pasaran.

*Apa penyebab "Panic Buying"?.*

Steven Taylor, dosen dan psikolog klinis di University of British Columbia, dan penulis buku The Psychology of Pandemics mengatakan bahwa panic buying didorong oleh ketakutan, dan keinginan untuk berusaha keras memadamkan ketakutan itu, seperti antrian berjam-jam atau membeli jauh lebih banyak dari yang Anda butuhkan.

Panic buying menolong orang-orang merasa dapat mengontrol situasi, kata para ahli. Dalam keadaan seperti ini, orang-orang merasa perlu melakukan sesuatu yang sebanding dengan apa yang mereka anggap sebagai tingkat krisis".

Panic buying juga dapat dikatakan sebagai mekanisme alami yang dilakukan oleh manusia untuk merespon keadaan darurat disekitarnya. Ketika manusia merasa tidak memiliki kontrol atas apa yang terjadi di sekelilingnya, mereka akan berupaya untuk memiliki kendali.

Hal ini sejalan dengan apa yang tengah terjadi sekarang. Merebaknya virus corona di beberapa tempat membuat banyak orang tidak memiliki kendali untuk menghentikan infeksi virus. Oleh karena itu usaha untuk mencegah dengan menggunakan masker dan handsanitizer dirasa lebih dapat mereka kontrol. Hal ini kemudian menjelaskan kenapa jumlah permintaan dua barang tersebut begitu melonjak dan mengalami kelangkaan stok serta kenaikan harga

Dalam sebuah penelitian di tahun 2010, Owen Kulemeka dari University of Illinois menulis bahwa panik dan perilaku anti sosial bukanlah karakteristik pembelanjaan pra bencana. Helene Joffe, seorang dosen psikologi di University College London mengatakan, "Untuk menghadapi ancaman yang tidak diketahui, orang-orang menggunakan apa yang sudah mereka ketahui tentang ancaman yang tampaknya serupa."

Jadi *panic buying* apapun alasannya tidak diperkenankan, termasuk karena alasan sekedar menyiapkan stok untuk masa pandemi berlangsung, bukanlah langkah bijaksana.

*Lock Down, perlukah kita panik?*

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dicermati dari menjawab pertanyaan tentang status lock down itu sebenarnya apa?.

Belakangan ini muncul pemahaman sebagian masyarakat tentang status lock down nya sebuah kota/kabupaten dipahami akan mengakibatkan akses akses publik terhenti total, seperti warung warung dan bahkan pasar pasar sembako akan tutup, karena demikian, diperlukan memborong dan menyetok barang barang kebutuhan untuk waktu yang lama, akhirnya kesan menimbun barang dalam jumlah yang banyak tidak terhindarkan lagi. Sebenarnya, perlukah langkah seperti itu?

Belakangan saya pun bertanya kepada kawan saya pemerhati kesehatan, tentang apa sebetulnya lock down ini, dan separah apa ketika sebuah kota/ kabupaten berstatus lock down.

Menurut kawan saya, "lockdown itu kalau pake istilah orang luar. Kalau menurut istilah lokal, lock down dapat dipahami sebagai *karantina wilayah*, demikian kawan saya menjelaskan. Menurutnya, pada saat karantina wilayah, memang jalur keluar/masuk ke suatu wilayah itu ditutup dan dijaga oleh aparat TNI/Polri, akses orang sangat dibatasi. Namun tetap logistik kebutuhan pokok masyarakat masih bisa masuk, jadi status lockdown tidak menutup kebebasan untuk membeli keperluan bahan makanan pokok, karena biasanyanya toko penyedia bahan keperluan makanan pokok masih diizinkan untuk beroprasi.

Dalam situasi "karantina wilayah", pemerintah harus bisa menjamin jalur logistik agar aman terkendali, termasuk juga antisipasi akan munculnya orang orang yang penghasilannya terdampak, harus menjadi concern pemerintah. Wal hasil separah apa pun dampak "karantina wilayah" sebuah kota bukanlah kebijakan serampangan, melainkan kebijakan yang sudah terpikirkan dan dipertimbangkan secara matang dengan solusi solusi atas dampak sosialnya.

Jadi, panic buying, sebetulnya tidak harus dilakukan. Bukan menjadi solusi, justru malah memunculkan masalah sosial baru yang tidak perlu. Intinya, hindarilah sikap "panik" dalam situasi apa pun.

*Apa yang harus kita lakukan utk mnghindari "karantina Wilayah"?*

Sebetulnya, langkah prefentif untuk menghindari itu sudah ditetapkan oleh pemerintah kita. Stay at home (berdiam diri di rumah, (sunda) "cicing di imah"), social distancing (tidak berkerumun, (sunda) "ririungan", dalam jumlah banyak orang), work frome home (WFH), E-Learning, Self Isolasi, membatasi aktifitas di luar rumah, dan sebagainya, merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk menghindari cepatnya penularan virus corona. Sehingga dengan demikian, pemerintah tidak harus sampai menaikan status sebuah wilayah menjadi "lock down/ karantina wilayah". Jadi, pada hakikatnya, kita lah sebagai masyarakat, yang menentukan lockdown atau tidaknya sebuah wilayah.

Jangan sepelekan gerakan stay at home, social distancing, e-learning, self isolation, dan sebagainya. Jadilah kita menjadi penyembuh atas pandemi ini. Jangan ambil resiko, kita tertular atau kita menularkan. Jadilah kita sebagai pemberi solusi, bukan penambah masalah. Jihad sesungguhnya untuk situasi seperti sekarang ini adalah "mengikuti apa yang sudah menjadi keputusan pemerintah". _*Wallahu A'lam.*_

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post