Ada Aneh dalam "narasi maya" yang dilontarkan angin kepada sunyi. Seakan tanpa "nila" narasi maya itu diserentakan dalam bagian bagian "diksi" yang terus terang saat membacanya cukup menguras akal sehat serta logika kesadaran. Angin menunjukan "gundah" sementara sunyi telah merelakan angin berlabuh di belantara "ramai".

Sunyi, dalam perjalanan kebersamaan satu semester, selalu disuguhkan oleh keakraban angin bersama ramai. Seakan tak peduli dengan perasaan sunyi, ia menunjukan ruang ruang waktu diisi oleh hadirnya ramai, padahal sunyi pernah mengadu bahkan dengan sedikit protest mempertanyakan itu.

Hingga pada satu titik sunyi sudah menjadi hening, dirapatkanlah mulutnya itu agar hening menjadi ihlas. Dari ihlas munculah damai dengan diri sendiri. Karena sejatinya sunyi tidak pernah ingin sunyi, tapi saat angin inginnya ramai, mau apalagi, ihlas saja.

Mungkin cerita ini tak relevan, karena jangan jangan narasi maya itu bukan untuk sunyi, justru untuk ramai atau untuk canda yang lain, entahlah. Sunyi dalam cerita ini adalah aku dan kamu adalah angin, sementara ramai adalah sahabatku. Pada Situasi yang demikian, maka bagi sunyi diam adalah hening, dan pada titik itu damai dengan diri sendiri diharapkan mnjadi perekat kebersamaan.