FIRASAT
Laki-laki beraut pasi berpacu dengan waktu menyusuri lorong rumah sakit beraroma karbol menyengat. Sesekali tersuruk meminta maaf tatkala tanpa sengaja hampir bertabrakan dengan lalu lalang pengunjung maupun tenaga kesehatan berseragam biru telur asin. Bibir tak henti berkomat-kamit, melangitkan doa agar kata ‘temu’ masih menjadi miliknya dengan seseorang yang tengah terbaring lemah di atas ranjang sebuah kamar ujung koridor.
“Eyang semakin kritis. Ia terus menceracau ingin bertemu semua cucunya. Pulanglah, Mas. Cuma Mas Ergi cucunya yang belum ada disini.”
Pesan dari Ihsan membuatnya linglung sesaat. Jika jarak antara Jakarta dan Jogja bisa ditempuh dalam satu kedipan mata, mudah saja baginya untuk memeluk perempuan renta berwajah teduh yang Ergi dan sepupu-sepupunya biasa panggil eyang. Saat itu juga semua pekerjaan dibatalkan, pertemuan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. Bergegas dari kantor dengan pakaian melekat di badan menuju stasiun. Karena tiket pesawat ke Jogja baru tersedia besok pagi, maka kereta api adalah pilihan terbaik.
Semua orang menoleh ketika pintu ruang rawat terbuka. Tanpa sempat mengatur napas, Ergi segera menghampiri Eyang Sri, menyurukkan kepala pada lengan tinggal tulang berbalut kulit. Binar di kedua bola mata tua itu kembali menyala menyambutnya. Tangan kanan meraih kepala cucu yang sudah tiga tahun ini tak bertatap muka.
Bagi kelima cucunya, Eyang Sri merupakan Nenek terhebat. Terlebih bagi Ergi dan Ihsan, mereka berada dalam pengasuhan langsung oleh tangan Eyang sejak kecil. Kedua orang tua mereka sama-sama sudah meninggal sejak mereka balita.
“Ihsan, Eyang boleh minta tolong? Belilah kain kafan, kapur barus dan kendi di pasar yo, Le. Semua putu Eyang sudah berkumpul, kita siap-siap dulu. Waktunya sudah semakin dekat”
“Eyang! Jangan bicara seperti itu. Eyang akan sehat lagi. Ingat, Eyang! Dua bulan lagi Lusi melahirkan. Ini cicit pertama, Eyang harus lihat.” Lusi yang sedari tadi diam akhirnya buka suara.
“Sssst! Semua yang bernyawa akan mati, Nduk. Setiap pertemuan ada perpisahan. Hidup dan mati itu pasti. Wes, Ihsan! Berangkatlah, Le. Keburu sore. Turuti sebagai permintaan terakhir Eyang.”
Ihsan mengangguk pelan. Usianya masih terbilang muda, sembilas tahun. Baru menamatkan SMA enam bulan lalu. Alih-alih kuliah, dia lebih suka meneruskan usaha batik milik Eyang. Diciumnya dengan takzim kening dan tangan Eyang Sri. Setitik air mata terbit dikedua ujung mata, namun segera dihapusnya. Entahlah, detik-detik perpisahan itu terasa semakin menguar. Ada sebersit perasaan bahwa ia tak akan lagi bisa bertemu wanita yang telah membesarkannya selama ini. Ingin terus berada disampingnya, tapi beliau terus mendesak harus pergi. Hanya Ihsan yang harus membelinya, tak boleh yang lain.
###############
Aroma tanah basah menguar menusuk hidung. Langit turut berduka, membasahi dengan rinai rintik lembut sedari berita duka tiba. Kamboja merekah menyambut di sepanjang jalan menuju liang lahat si empunya. Sementara duka masih menggelayut jelas terbayang dari setiap pasang mata keluarga besar Eyang Sri. Isak tangis kembali terdengar jelas ketika perlahan jenazah diturunkan. Bukan tak ikhlas, hanya saja kehilangan orang tercinta bukanlah perkara mudah. Memeluk luka tak ubahnya seperti menghujamkan duri ke dalam hati.
Siapa sangka akan begini akhirnya?
Ergi mengepalkan tangan. Gemuruh dalam dada sebisa mungkin diredam sendiri. Harus ada yang tetap terlihat tegar setidaknya di hadapan Eyang Sri. Dari atas kursi roda, perempuan tua itu kini semakin terlihat layu, menatap kosong pada gundukan tanah merah baru. Tak henti meratap dan menyesali sesuatu.
“Kenapa bukan Eyang yang mati? Eyang sudah tua, sudah gak punya keinginan apapun. Ya Allah Ihsan masih muda. Kalau saja Eyang gak nyuruh dia pergi, dia gak akan kecelakaan. Ya Allah….!!!!”
LOVELY SCHOOL_MSS
8/10/2021
8:30
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Salam literasi
Sedih ceritanya....menahan nafas saat membacanya.Sukses ya Bunda
Salam literasi ibuuu. Terimakasih sudah mampir