LUPA
🌸🌸LUPA🌸🌸
“Eh, kok sayurnya hambar ya?”
Kasih mengernyit ketika suapan pertama masuk ke mulut. Perlahan mengunyah nasi dengan lauk ikan kembung goreng dan bening bayam. Dalam hati mulai cemas jangan-jangan ia terpapar virus yang kini sedang mewabah. Menurut rekan-rekan yang pernah terjangkit, gejala pertama yang adalah hilangnya indra perasa.
Namun kekhawatiran tak beralasan itu hilang dengan sendirinya saat ia mencoba sambal seujung sendok, pedas. Hembusan napas lega terdengar kencang, ‘bukan COVID 19’. Hanya lupa menambahkan garam dan bumbu penyedap saja. Cukup menaburkan sedikit garam beserta kaldu sapi ke dalam panci berisi sayur. Selesai.
“Lupa memberi bumbu lagi, ya?”
Di lawang pintu, Anton tersenyum geli melihat wajah panik istrinya. Rupanya sedari tadi laki-laki itu memperhatikan gerak-gerik Kasih. Bukan sekali dua kali si pujaan hati melupakan hal-hal kecil seperti tadi. Tahun-tahun pertama menikah, sering terbersit rasa kesal setiap Kasih lupa. Entah lupa menyimpan handuk, kunci motor, sendok, gunting dan banyak lagi. Ia tak mengizinkan perempuan berlesung pipit itu menyiapkan perlengkapan kerjanya, karena sudah pasti ada saja yang tertinggal. Bertolak belakang dengannya yang serba perfeksionis, teliti, rapi dan penuh perhitungan. Namun, begitulah cara Tuhan mengatur jodoh. Saling melengkapi. Saling memahami.
Mereka menikmati santapan siang dalam hening, hanya sesekali terdengar denting sendok dan garpu beradu dengan piring. Lekat-lekat dipandang wajah teduh itu, wanitanya tak banyak berubah. Masih tetap cantik meski gurat-gurat penanda usia mulai terlihat jelas. Wanitanya, selalu menunjukkan wajah ceria tapi mudah panik dan tersentuh hatinya. Melihat kucing terlantar di pinggir jalan saja ia bisa menangis tersedu-sedu. Satu Hal yang ditakutkan saat ini, bagaimana kalau seandainya Tuhan memanggilnya terlebih dahulu?
“Pak! Nanti tidak usah dibereskan, ya! Ibu Solat Dhuhur dulu.”
Anton mengangguk lalu melirik ke arah jam dinding, sudah jam setengah dua. Kemudian terhenyak ketika mengingat sesuatu, “Kita kan tadi sudah Solat Dhuhur di masjid pas pulang dari pasar, Bu.”
“Ngelantur. Wong dari tadi Ibu masak di dapur kok.” Kasih mengerucutkan bibir sembari memperbaiki kacamatanya yang melorot. Tak ingin berdebat, Anton membiarkan istrinya berlalu. Kali ini sudah tidak biasa dibiarkan. Ia harus membawa Kasih berkonsultasi, segera.
“TOLONG! TOLONG! PAAAK!! CEPAT KESINI.’
Belum sempat menghabiskan makanan, terdengar suara Kasih berteriak. Takut terjadi apa-apa, Anton bergegas menghampiri ke ruang tamu. Tampak Kasih gemetar di depan kamar sembari menggenggam sapu dengan posisi terarah pada seorang pria berumur tiga puluh tahunan dan seorang balita perempuan mengikuti di belakangnya.
“Pak, orang ini masuk rumah kita sembarangan. Mau masuk ke kamar Nada, Pak. Pasti dia maling.”
Anton dan pria muda saling berpandangan. Bibir Anton mengisyaratkan dengan bisikan tak bersuara agar ia dan si gadis kecil pergi keluar. Perlahan dibimbing Kasih duduk di sofa depan TV lalu memberikan segelas air hangat agar tenang. Beberapa saat lama, Kasih tak lagi gemetar. Napasnya muai teratur. Sengaja ia membiarkan sang istri menetralkan perasaannya hingga kemudian tangisnya luruh disusul isakan demi isakan. Dibiarkan ia untuk bersandar di dadanya agar tumpah segala resah yang berkecamuk.
“Ibu takut, Pak. Ibu Takut. Ibu lupa lagi, ya? Bagaimana kalau……”
“SSSSTTTTT.” Anton tak ingin mendengar kelanjutan ucapannya.
Direngkuhnya perlahan bahu yang masih berguncang itu. Istri dan sifat pelupanya adalah satu paket. Dua hal yang sudah ia terima, ikhlas lahir batin saat mengucap ikrar ‘Qobiltu Nikaha’ tiga puluh lima tahun yang lalu.
Namun menjelang usia senja menyapa, hatinya mulai berontak. Kasih tak boleh lupa. Dulu ia lupa menaruh barang-barang, pekerjaan rumah dan kantor, list belanjaan. Perlahan melupakan kegiatan-kegiatan rutin yang setiap hari dilakukan. Kemudian satu persatu tidak ingat pada rekan-rekan, saudara-saudara, dan puncaknya siang ini ketika menantu mereka pulang menjemput cucu dari playgroup, ia sungguh tidak mengenali.
Laki-laki juga bisa dan boleh menangis, ia sudah tak tahan lagi. Dibenamkan wajah pada rambut Kasih yang sebagian besar sudah memutih. Ia juga takut. Sama dengan Kasih. Sangat takut. Takut kalau suatu hari nanti Kasih melupakannya.
LOVELY SCHOOL_MSS
9/12/2021
9:12
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar