Ranny Ristianingsih

Ranny Ristianingsih. Lahir di Cianjur, pada tanggal 3 Agustus 1992. Ranny lulus program Sarjana di Universitas Suryakancana Cianjur program studi Pendidikan Bah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cinta Tanpa Logika Episode 2

Cinta Tanpa Logika Episode 2

Cinta Tanpa Logika

Oleh: Ranny Ristianingsih

Episode 2/4

Pukul 00.35, aku terbangun oleh dering ponselku. Mataku mengerjap-ngerjap melihat cahaya ponsel. Kurasa baru beberapa menit aku terlelap setelah pertengkaranku dengan Radit tadi. Nomor yang tertera di layar ponsel adalah nomor tidak kukenal. Aku ragu untuk menjawabnya. Tapi, kujawab juga.

“Selamat malam, apakah ini dengan Saudara Saskia?” tanya suara di seberang sana.

“Ya, benar. Ini dengan siapa?”

“Ini dari kepolisian sektor Cimanggis,” sampai di situ rasanya jantungku hampir copot. Prasangkaku terbang kemana-mana sampai suara itu melanjutkan kalimatnya. “Kami ingin memberitahukan bahwa terjadi kecelakaan di area pintu tol Cimanggis dan salah satu korbannya bernama Raditya Darmawan. Apakah Anda mengenal saudara Raditya?”

Degg. Jantungku seakan berhenti berdetak. Ribuan paku beton serasa dihujamkan ke jantungku.

“Halo, Nona.” Terdengar suara itu lagi, menyadarkanku.

“I..iya..iya, Pak. Dia adik saya.” Suaraku hampir tak terdengar, karena aku menahan tangis yang ingin keluar.

“Mohon segera datang ke Rumah Sakit Meilia saat ini juga. Karena kondisi korban kritis dan membutuhkan persetujuan walinya untuk segera dilakukan operasi.”

“Ba.. baik.. terima kasih. Saya segera ke rumah sakit.” Jawabku. Aku merasa terpuruk.

***

Aku berakhir di ruang tunggu ini. Berteman lorong yang dingin dan membisu. Hanya aku, petugas keamanan, dan seorang perawat pria yang berada di sini. Petugas keamanan dan perawat pria yang berdiri tak jauh dariku sedang mengobrol sambil sesekali melihat ke arahku. Mungkin mereka membicarakanku. Aku tak peduli.

Aku kembali dalam lamunanku. Empat tahun lalu Mama dan Papa meninggal dalam kecelakaan pesawat saat pulang dari Papua, tempat Papa bekerja. Rasanya, hidupku hancur seketika. Kehilangan orang-orang yang sangat berharga membuat aku dan Radit terpuruk sangat lama. Walau begitu berat, tapi Radit yang lebih dulu bangkit dari keterpurukan itu. Ya, Radit yang hanya selisih satu tahun lebih muda dariku, mengajakku bangkit dan melanjutkan hidup.

Setahun kemudian, hari-hariku baru bisa berjalan ‘normal’. Aku malu melihat Radit malah sudah mulai membuka bisnis otomotif dari uang duka cita dari kantor Papa dan warisan yang tak seberapa. Kuliahnya cuti. Penelitiannya ditunda. Sedangkan aku yang sudah lulus dan menjadi sarjana, hanya diam dan larut dalam kesedihan.

Akhirnya aku mulai mencari pekerjaan. Sebuah kantor notaris mau menerimaku menjadi pegawainya. Aku mulai merintis karier dan melanjutkan hidupku. Di sana, setahun yang lalu, aku mengenal Hendrik. Dia klienku yang mengajukan perizinan tempat usahanya. Aku mengenalnya sebagai pengusaha muda yang ulet dan humoris. Kami semakin dekat. Beberapa bulan yang lalu ia menyatakan cintanya padaku. Aku lantas menerimanya karena aku juga tertarik padanya.

Segala hal yang kualami selalu kuceritakan pada Radit. Begitu juga tentang Hendrik. Awalnya Radit tak pernah berkomentar apapun tentang Hendrik. Dia hanya mendengarkan, sesekali menanggapi hal kecil. Tapi, beberapa minggu terakhir Radit bersikap lebih protektif, bahkan over protective. Ia tiba-tiba menentang hubunganku dengan Hendrik. Entah apa alasannya. Jika aku bertanya jawabannya selalu ke sana ke mari. Hingga terjadilah pertengkaran hebat yang secara tidak langsung menyebabkan Radit mengalami kecelakaan. Oh, aku sungguh menyesal. Aku takut kehilangan satu-satunya adikku.

Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku menyeka air mata yang tak henti mengalir. Kukira telepon dari Hendrik. Tapi, bukan. Nomor telepon ini asing, tapi aku mengenalna. Nomor yang beberapa waktu lalu mengabarkanku kecelakaan Radit.

“Halo,” jawabku.

“Halo, Nona. Maaf mengganggu. Kami dari pihak kepolisian. Kami ingin meminta keterangan Anda sebagai saksi atas kasus percobaan pembunuhan Saudara Radit. Apa Anda bisa datang ke kantor?” jelas petugas kepolisian.

“Apa? Percobaan pembunuhan?” tanyaku kaget. “Bukannya adik saya kecelakaan?”

“Nanti akan kami jelaskan di kantor.” Terangnya.

“Baik, saya akan segera ke sana.”

Aku menutup telepon. Lalu bergegas pergi ke kantor polisi. Udara subuh yang dingin tak terasa karena jantungku kini memompa darah dengan cepat hingga tubuhku terasa begitu panas.

#Bagaimana, nih, ceritanya menarik tidak? Jangan lupa beri kritik dan saran di kolom komentar, ya, agar penulis makin semangat nulisnya! Kira-kira apa yang terjadi pada Radit, ya? Hihi.. yang penasaran, tunggu kisah lanjutannya besok. Oke? ;-)#

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post