Raodah.M.Nuh

Seoarang guru TK di TKN Pembina di Lombok Tengah, berkenalan dengan Media Guru bulan April 2017 lalu, perkenalan yang menghadirkan sejuta rasa, rasa semanis mad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Bi Husnil Khotimah (Part. Of Inaq)

Bi Husnil Khotimah (Part. Of Inaq)

Tagur 365, hari ke 3

~~~~~~~````~~~~~~

Berakhir … yah, Inaq sudah mengakhiri semuanya dengan indah. Perjalanan panjang skenario hidup dengan puluhan episode, ia lewati tanpa keluh, itu yang aku tahu tentang Inaq.

Selamat jalan, apakah itu kalimat yang tepat untuk kuucapkan kali ini? Entahlah, dihadapanku hanya hampa, gelap dan sungguh menyiksa. Sejam, dua jam, bahkan hingga rumah ini penuh sesak oleh para pelayat, aku berkeming di samping tubuh yang sebenarnya sudah kaku, namun bagiku raganya masih tetap disini tak berubah.

$$$$$$$$

Wangi gundukan tanah, tempat dimana raga Inaq bersemayam, masih tak lepas dari hidungku, meski kemana kaki ini melangkah. Ini adalah hari kelima tanpa Inaq. Aku tak ingat kapan terakhir aku makan, napsu makanku seakan terbawa bersama keranda menuju pemakaman pada hari itu.

Buku diary ini?, ternyata Inaq dulu suka menulis. Perlahan kubuka sampul hitam usang, tulisan tangan rapi membuatku sempat terkagum.

Mari Nak, Kita Lanjutkan Perjalanan

Ibu: "Mari nak, kita lanjutkan perjalanan ini. Cepatlah sayang, jalan ini masih panjang, tapi jangan lupa tengok kiri kanan, siapa tahu ada teman seperjalanan kita yang butuh bantuan."

Anak: "Tunggu Ibu, jalanan ini licin sekali."

Ibu: "Begitulah nak, kita butuh kesabaran dan kekuatan dalam melaluinya, agar kita tidak terjatuh."

Anak: "Tapi orang-orang itu Bu, mereka kelihatan enteng sekali jalannya, walaupun sambil memikul beban yang banyak."

Ibu: "Seperti itulah nak, orang-orang yang tidak pernah lupa hakekat perjalanan ini."

Anak: "Apakah mereka itu pintar Ibu?"

Ibu: "Tentu nak, mereka itu tahu dan sadar akan keberadaannya di jalan ini."

Anak: "Ibu, sebenarnya kita mau kemana?"

Ibu: "Kita mau pulang nak!"

Anak: "Pulang ... bukankah rumah kita di sini?"

Ibu: "Bukan nak, di sini hanya sebuah persinggahan di tengah perjalanan."

Anak: "Jadi, rumah kita dimana Ibu?"

Ibu: "Rumah kita adalah rumah keabadian. Untuk mencapainya kita harus menaiki beberapa tangga lagi nak. Dimana tangga yang pertama ditakuti semua orang, dengan takut yang teramat sangat. Kecuali orang-orang yang tahu hakekat tangga pertama ini."

Anak: "Takut sekali yang Bu? Memangnya tangga pertama itu seperti apa Ibu?"

Ibu: "Di tangga pertama itu, kita akan bertemu teman lama, yang awal perjumpaan akan memeluk kita dengan pelukan yang teramat erat hingga tulang rusuk kita bertukar tempat, yang kiri pindah ke kanan dan yang kanan pindah ke kiri."

Anak: "Apakah semua orang mesti melewati tangga pertama itu Ibu?"

Ibu: "Pasti nak, karena seperti yang Ibu pernah baca, dari sebuah karya sastra Maha Indah, gubahan Pujangga Maha Handal. Minha kholaqnaakum wa fiiha nu'iidukum waminha nukhrijukum taarotan ukhro."

Anak: "Apa selanjutnya kita akan naik ke tangga yang kedua ya Bu?"

Ibu: "Iya sayang. Tangga kedua akan kita lewati, dimana semua orang akan keluar dari rumah transit di bawah nisan, lalu berbondong-bondong menuju Padang Maha Luas. Saat itu semua orang hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak melirik kiri kanan karena percuma, tak ada orang yang mampu memberikan pertolongan kepada orang lain. Akhirnya kepedulian pun tak ada lagi."

A: "Apakah ketakpedulian itu sama seperti tak pedulinya dunia pada bocah-bocah Suriah yang hanya menginginkan udara sejuk untuk menemaninya bermain, tanah bersih yang akan menemani kaki telanjangnya berlari, sesuatu yang sangat mereka rindukan. Kerinduan yang mengalun dalam nada menghiba yang merasuk ke relung dada, lewat nyanyian rindu Atuna tufuli."

Ibu: "Rasa ketidakpeduliannya lebih dari sekedar itu sayang. Karena disana seorang ibu tidak sempat memikirkan anak-anaknya. Seorang anak lupa menanyakan di mana ibunya. Seorang suami tak tahu dimana istrinya, pun seorang istri tak mencari tahu keberadaan suaminya. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Sibuk mengumpulkan bahan mentah bekalnya, untuk ditimbang di atas Mizan Maha Adil sebelum mengantarnya melewati jembatan panjang yang di bawahnya ada api bergejolak serta kehidupan yang serba menyiksa. Sedangkan di ujungnya tersedia kenikmatan abadi yang dijanjikan dalam rumah Jannah, itulah akhir dari penjalanan yang sedang kita lalui ini nak!"

Anak: "Apakah semua orang akan sampai di sana Ibu?"

Ibu: "Tergantung sayang, tergantung banyaknya air yang diraupnya di lautan kehidupan dunia ini, karena itu yang akan menjadi bekal perjalanannya melewati jembatan panjang itu. Ketahuilah nak, kelak ada orang yang melewati jembatan itu dengan merangkak, dengan kelelahan yang sangat, berusaha untuk menggapai ujung yang menjanjikan kenikmatan abadi itu."

Anak: "Merangkaknya seperti apa Ibu?"

Ibu: "Sulit dijelaskan nak. Yang jelas bukan seoerti merangkaknya perekonomian kita dalam upaya terbebas dari utang besar yang entah sampai kapan melilit Ibu Pertiwi."

Anak: "Ibu, apakah ada orang yang melewati jembatan itu dengan santai tanpa lelah?"

Ibu: "Tentu ada sayang, yaitu orang-orang yang Istiqomah di jalan Allah. Yang jelas bukan saudara-saudara kita yang santai tanpa beban, walaupun sudah menzalimi sesama dengan kezaliman yang sungguh memudaratkan. Namun ia tetap tenang menghabiskan sisa usia yang tak disadari terus berkurang."

Anak: "Ibu, aku capek!"

Ibu: "Bersabarlah nak, karena sepanjang perjalanan ini, hanya orang yang banyak bersabar yang akan jadi pemenang pada akhirnya."

Anak: "Ibu coba lihat itu, ada apa dengan sekelompok orang itu Bu?"

Ibu: "Itu adalah sekelompok orang yang lupa akan hakekat perjalanan ini. Mereka tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga menghambat perjalanan orang lain. Menyebar fitnah dimana-mana, menebarkan kebencian di tengah saudara-saudaranya. Untuk itulah kau harus terus Istiqomah sayang. Seandainya kelak Ibu lebih dahulu menaiki tangga menuju rumah keabadian itu, lanjutkan perjalanan dengan tegar, jangan lupa hulurkan selalu tanganmu untuk siapa saja yang memerlukannya."

Anak: "Apakah rumah kita berbeda Ibu, hingga kemungkinan Ibu akan lebih dahulu berangkat menuju kesana?"

Ibu: "Bukan begitu sayang, rumah yang kita tuju sama. Namun itulah sebuah rahasia. Jalan kita semua pasti berbeda, ada yang panjang, ada yang pendek, juga tak sama liku dan rupanya. Mari sayang, buka hatimu lebar-lebar. Raup semua yang ada di hadapanmu, lalu serahkan kepada imanmu untuk memilah dan memilih mana yang pastas untuk kau bawa menjadi bekal perjalananmu.

Mari sayang ... kita lanjutkan perjalanan ini ...

Kuala Lumpur, 17/06/2013

Aku menangis dan benar-benar ingin menumpahkan air mata ini. Tulisan-tulisan dalam buku diary ini begitu mengoyak perasaanku. Ada rindu yang takkan pernah usai pada pemiliknya. Ada rasa bangga yang memenuhi bilik-bilik kecil di hatiku, memang takkan habis kata untuk menceritakan kekagumanku pada Inaq.

Lembab di sudut mata, kini menjadi gerimis yang turun melebat hingga basah di ujung jilbab. Video call hingga kemenit tiga puluh, Aida belum juga bisa mengendalikan emosi. Rasa sedihnya ia tumpahkan dari jauh.

“Aida jahat ya kak Mila, Aida tidak ada di sisi Inaq saat Inaq pergi. Aida menurutkan emosi sesaat, Aida hanya memikirkan diri sendiri.” Tangisnya kembali terdengar lebih keras, kulihat ia sangat sedih. Aku hanya bisa menatapnya di layar ponsel. Tapi entah mengapa, tiba-tiba kalimat Aida barusan terdengar janggal di telingaku.

“Tak baik bicara begitu dek. Kenapa adek mengatakan bahwa adek hanya menurutkan emosi sesaat dan hanya mementingkan diri sendiri? Bukankah adek pergi meninggalkan kami demi sebuah cita-cita besar, cita-cita yang juga merupakan impian kakak dan juga Inaq? Adek tidak boleh bicara begitu.” Aku juga sebenarnya tak mengerti warna rasaku saat ini. Aku sakit harus kehilangan Inaq, aku juga sempat kecewa karena saudara-saudaraku tidak menemani Inaq di saat-saat terakhir. Namun rasa itu sedikit demi sedikit mampu ku atasi. Rasa syukur akan semangat adek-adekku untuk menuntut ilmu, menjadi obat bagi kecewaku. Tapi apa yang dimaksud Aida dengan kalimat-kalimat janggalnya barusan? Belum sempat tanyaku berlanjut, kudengar Aida kembali berhasil meredakan tangisnya sendiri dan menatap layar ponsel lagi.

“Kak, Aida mau cerita jujur sama kakak, tapi kakak jangan marah ya.” Tentu saja aku terkejut mendengar Aida tiba-tiba bicara seperti itu. namun rasa terkejutku kuabaikan dan segera menanggapi perkataannya barusan.

“Silahkan dek, insyaallah kakak akan selalu menjadi kakak seperti yang Aida inginkan dari dulu.” Kuyakinkan diriku dengan berusaha tenang. Kuyakin, aku siap dengan kejujuran Aida, entah itu apa, tapi yang jelas aku merasa ada hal besar yang Aida sembunyikan dari aku dan Inaq. Dalam kebingunganku, tiba-tiba komunikasi kami terputus, entah jaringan internet yang tidak mendukung, maklum saja komunikasi antar negara. Mungkin ini sudah waktunya istirahat di tempat Aida, perbedaan waktu empat jam antara Madinah dan Indonesia, membuat kami harus pilih-pilih waktu untuk saling menghubungi lewat telepon. Saat aku yang sedang istirahat, Aida masih berjibaku dengan kesibukannya sebagai mahasiswa baru di sana.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post