Raodah.M.Nuh

Seoarang guru TK di TKN Pembina di Lombok Tengah, berkenalan dengan Media Guru bulan April 2017 lalu, perkenalan yang menghadirkan sejuta rasa, rasa semanis mad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Birrul Waalidain di Langit-langit Jiwa (Part Of Inaq)

Birrul Waalidain di Langit-langit Jiwa (Part Of Inaq)

“Assalamualaykum.” Tak perlu menunggu jawaban salam, aku langsung mencari tempat duduk mengingat aku datang setelah pengajian dimulai.

“Duduk di sebelah sini saja Mila, ini masih kosong didepan.” Ustaz Salman menyilakan untuk duduk agak depan berdekatan dengan tempat duduknya. Terpaksa aku duduk disana karena hanya tempat itu yang belum ditempati. Ah … tatapan aneh teman-temanku. Kebanyakan mereka memang tidak pernah suka dengan keberadaanku, entah mengapa, mungkin karena Ustaz Salman sering memberikan perhatian lebih padaku, dengan hadiah-hadiah kecil, tapi sebenarnya siapa saja punya kesempatan yang sama untuk mendapat hadiah dari ustaz. Ustaz bilang siapa yang bisa jawab pertanyaan ustaz bisa dapat hadiah dan kebetulan jawaban yang kuberikan selalu betul, makanya hadiah dari ustaz menjadi milikku. Lalu kenapa masih saja mereka memandangku dengan tatapan tidak suka begitu, dengan tatapan sinis sesinis tatapan ibu-ibu mereka walaupun selalu kusapa santun ketika bertemu dijalan atau di warung.

“Semua bawa kitab Hadits Ar-bain An-Nawawiyah kan, silahkan buka karena kita akan lanjutkan pembahasan kehadits yang ketiga.” Mendengar perkataan Ustaz Salman, spontan mulutku mengucap hamdalah, bersyukur karena ternyata pengajian baru saja mau dimulai bahkan belum masuk ke pembahasan inti.

Kami membaca hadits ketiga secara serempak, seperti yang kami lakukan setiap mengkaji hadits, kami dipandu oleh Ustaz untuk membacanya berulang-ulang sebelum kami mendengarkan penjelasan mengenai makna dan isi kandungan dari hadits tersebut.

Dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti, ustaz Salman menjelaskan bahwa hadits ketiga yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim itu berasal dari Abdullah bin Umar bin Khattab radhiallahu anhuma. Dengan rinci beliau menjelaskan tentang Islam yang didirikan atas lima fundamen, kami khusyuk menyimaknya satu persatu, mulai dari fondamen pertama yakni bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya. Berlanjut ke fondamen-fondamen berikutnya yaitu mendirirkan sholat, mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji kebaitullah dan berpuasa di bulan ramadhan. Alhamdulillah, serempak kami bergumam sambil menutup kitab masing-masing.

Seru, itulah yang terjadi setiap momen diskusi setelah selesai mendengar kajian dari ustaz. Kali ini yang paling menarik didiskusikan adalah fondamen yang kedua.

Abi mengacungkan tangan, “Ustaz, boleh ndak kita meninggalkan sholat karena uzur?”,

“Uzurnya seperti apa Bi?” ustaz kembali bertanya.

“Misalnya tidak sempat sholat karena pergi ikut menonton kecimol ustaz”, geeerrrr…pertanyaan Abi membuat semua temannya tertawa. Ustaz Salman segera menenangkan, memang Abi adalah salah satu santri yang paling sering bertingkah yang mengundang keributan.

“Abi, sholat itu adalah amal yang pertama kali akan diperhitungkan kelak di yaumil mizan, Rasulullah pernah menjelaskan tentang hal itu dalam sebuah haditsnya”, Ustaz Salman membacakan hadits yang menjelaskan tentang itu,

“Kewajiban sholat itu harus dilakukan walaupun dalam kondisi apapun, bahkan untuk orang yang sedang sakit parah sekalipun, kalau dia tidak mampu dengan cara berdiri dibolehkan dengan cara duduk, tidak mampu dengan cara duduk, dibolehkan dengan berbaring, bahkan kalau dengan cara berbaring saja tidak mampu, cukup dengan mengedipkan mata, jadi kalau cuma sedang sibuk dengan kecimol tidak boleh meninggalkan sholat Abi”, geerrrr…jawaban ustaz kembali mengundang tertawa. Sambil garuk-garuk kepala karena salah tingkah, Abi mengaku paham dengan penjelasan ustaz.

Sebelum pengajian ditutup, ustaz mengajak kami untuk mengakhiri dengan membaca do’a untuk kedua orang tua. Semua khusyuk menunduk dan mengangkat kedua tangan.

“Ustaz, kenapa setiap selesai pengajian kita selalu membaca do’a untuk ibu bapak, apakah ibu bapak kita banyak dosa ya Ustaz?”, Wire mengajukan pertanyaan sebelum sempat meminta ijin dulu.

“Bukan begitu Wire”, dengan sabar Ustaz Salman menjelaskan tentang kewajiban Birrul walidain seorang anak kepada kedua orang tuanya, terutama kewajiban berbakti kepada Ibu yang tiga kali lebih utama dibandingkan kepada Bapak. Salah satu cara berbakti adalah dengan mendo’akan keselaman dan ampunan kepada Allah untuk keduanya,

Ustaz juga menjelaskan tentang murka Allah bagi orang yang durhaka kepada orang tua. Panjang lebar Ustaz menjelaskan itu dengan mensitir beberapa ayat Alqur’an dan hadits Nabi. Kami semua manggut-manggut menyimak penjelasan panjang itu.

“Ustaz, bagaimana kalau anak yang tidak punya orang tua lengkap misalnya?”, kembali Wire mengajukan pertanyaan,

“Tidak punya orang tua lengkap itu maksudnya gimana Wire?”, Ustaz Salman mengernyitkan dahi.

“Begini Ustaz, tadi ustaz jelaskan bahwa Rasulullah mengatakan bahwa berbakti kepada Ibu itu lebih utama dari bapak dengan keutamaan tiga tingkat diatasnya, nah kalau misalnya anak yang hanya punya Ibu dan Nenek bagaimana, apakah harus Ibumu Ibumu Ibumu lalu Nenekmu?”, Haaahhh…semua melongo mendengar pertanyaan panjang Wire, ah Wire memang memiliki perkembangan yang cukup bagus menyampaikan bahasa yang baik.

“Sebentar dulu teman-teman, jangan heran begitu, karena banyak kok teman-teman kita yang tidak memiliki orang tua lengkap, seperti anak awon-awon yang itu tu,” sambil mengerlingkan mata dan telunjuknya menunjuk kearahku. Spontan saja tingkahnya itu mengundang gemuruh tawa di masjid ini. Ya Allah, Inaq … aku malu di olok-olok begini sama teman-temanku.

“Sudah-sudah, tidak baik mengolok-olok sesama saudara muslim seperti itu. Ustaz sudah pernah jelaskan tentang hubungan sesama muslim. Kita ini laksana satu tubuh, satu yang sakit semua harus ikut merasakannya, kekurangan saudara yang lain menjadi beban yang harus ditanggung bersama, bukan justru dibuat jadi bahan olok-olokan begini. Ingat tidak serpurna iman seorang mukmin itu sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri. Ingat itu, jangan sampai kalian mempunyai iman yang tidak sempurna!”

Ustaz Salman berbicara tegas dan kelihatan agak marah, hal itu membuat semuanya terdiam dan menunduk, termasuk Wire yang memang sering usil menggangguku.

Dengan tertib akhirnya kami menyalami Ustaz Salman untuk berpamitan pulang, aku mendapat giliran terakhir ketika Ustaz Salman memegang tanganku dan menghibur.

“Sabar ya Mila, teman-temanmu memang ada saja yang usil, tapi Ustaz tau kamu anak yang kuat. Oh ya, bagaimana kabar ibumu, sudah sehat ?”

Inaq Cuma batuk-batuk aja Ustaz, tadi beliau pergi kedokter ditemani Papuq.”

“Syukurlah kalau begitu, semoga beliau cepat sembuh ya, Ibumu orang baik.” Entah sudah keberapa kali Ustaz Salman mengucapkan itu, setiap aku hendak pamitan selesai mengaji, selalu beliau ucapkan bahwa Inaq orang baik. Tapi ada yang tak kumengerti ketika melihat raut mukanya yang berbeda ketika menanyakan kabar Inaq, aku melihat ada kesedihan dimata Ustaz Salman, ah…itu wajar bukan, Ustaz adalah muslim yang baik, yang ikut merasakan kesusahan saudaranya sesama muslim.

“Ada apa Mila?”, Ustaz Salman memanggil ketika tahu aku hanya terpaku berdiri didepan masjid ketika melihat tempat alas kaki yang sudah kosong, yang tersisa hanya sandal Ustaz Salman, sedangkan sandalku…entah ini ulah siapa lagi.

“Sudah…pakai sandal Ustaz aja ya, ukuran kaki kita tak jauh beda kan”,

“Tapi…!”,

“Sudah … pakai aja. Ustaz sudah terbiasa jalan tanpa alas kaki, kan ustaz sering jalan pagi-pagi tanpa alas kaki, itu baik untuk kesehatan orang seusia Ustaz.” Akhirnya aku pulang memakai sandal Ustaz Salman dengan diiringi senyum yang meneduhkan dari guru ngaji yang baik hati itu.

“ingat salam sama Ibu dan Nenekmu ya!”, Ustaz Salman hampir berteriak mengingatkan.

PoV: Ustaz Salman

Milatri Nurkamila, anak itu selalu membuatku begini. Mengembalikan semua rasa yang telah susah payah kukubur tiga belas tahun yang lalu. Kefasihan lisannya saat mengaji, kesopanan tutur dan lakunya, benar-benar mengingatkanku pada ibunya. Ah … seandainya saja saat itu aku lebih peka dan lebih cepat mengambil keputusan, tentu saja saat ini aku tengah hidup bahagia bersama Aisya dan mungkin anak-anak kami.

Astagfirullah … ucapan istigfarku belum juga mampu mengusir pergi semua bayangan peristiwa lampau itu. Bantal ini sudah berkali-kali kubolak balik, berharap bisa memanggil kantuk, lalu aku akan terbebas dari kenangan lama itu. Namun aku harus bersabar saat hal itu belum berhasil kudapati. Akhirnya akupun pasrah, saat bayangan itu kembali mendominasi langit-langit kamar ini. Masih tergambar jelas, sampul surat berwarna violet itu. Tulisan tangan Aisya yang terakhir kuterima.

Maafkan Aisya kak, Aisya tidak bisa menunggu kak Salman. Aisya ingin menjunjung petuah Pengeran Inaq dan juga Amaq. Aisya berharap kakak bisa menerima keputusan Aisya ini dengan lapang dada. Aisya berharap hubungan silaturrahim kita tetap terjaga layaknya hubungan kakak beradik. Do’akan Aisya ya kak. Aisya juga akan selalu mendo’akan kakak agar segera dipertemukan oleh Allah dengan seorang wanita sholihah yang akan menjadi bidadari dunia akherat buat kakak. Sekali lagi Aisya minta maaf ya kak ….

Kudekap di dada lembaran itu, berharap gemuruh dan nyeri di dada ini akan berubah lapang. Tapi tak urung perih itu terasa, tak ubahnya seperti ada kereta lewat, lalu menyerepet dinding hatiku, perih sekali Aisya ….

Selembar kertas yang kini ada dalam genggamanku ini adalah jawaban dari pertanyaan dalam hatiku yang belum sempat terjawab. Saat itu, Aisya menunduk dalam-dalam di hadapanku. Senyum mengembang menyambutku saat bertamu ke rumahnya sehari setelah kepulanganku itu, lenyap seketika saat aku utarakan keinginanku untuk kembali ke pondok dalam waktu dekat ini.

“Kakak tidak akan lama di sini, dek. Mungkin lusa sudah kembali. Tahun depan insyaallah baru bisa menetap di sini dan melamarmu ….” Lirih dan hampir tak terdengar kuucapkan kalimat itu, terutama di kata terakhir. Kami memanfaatkan waktu beberapa menit untuk ngobrol berdua, sementara ibunya Aisya ke belakang. Mata indah itu menatapku lekat, lalu buru-buru menunduk saat mata kami beradu. Aku pastikan bahwa aku tidak salah lihat, matanya menyimpan sesuatu. Entah itu rindu, sedih ataukah kecewa. Bisa juga ketiga rasa itu ada di sana, tapi tentu dia takkan pernah tahu hingga kini atau mungkin selamanya, bahwa ketiga rasa itupun kurasakan sama, bahkan lebih dari yang kamu rasakan Aisya …. Aku rindu ingin segera melamarmu. Namun juga sedih karena aku belum merasa mampu untuk menjadi imam untukmu, mengingat aku hanya sebatang kara di sini, bagaimana jika ibumu meminta pisuke berupa harta yang aku tak miliki. Aku bisa menyelesaikan study hingga sarjana karena beasiswa khusus bagi para huffaz, begitu juga jika study pasca sarjana ini kuambil, adalah semua karena keberkahan Al-Qur’an. Aisya, aku juga kecewa pada diriku sendiri yang belum juga memiliki keberanian untuk berbicara terus terang kepada ibumu, siapa tahu ibumu berbelas kasih padaku yang tidak memiliki siapa-siapa, lalu tidak membebaniku dengan pisuke yang berat, meski hal itu akan menjadi bahan gunjingan orang-orang di kampung ini, yang berasumsi bahwa orang tua yang tidak meminta pisuke diartikan bahwa anak gadisnya murahan.

Aisya … bayanganmu memang masih menemani hari-hariku hingga kini. Sebenarnya aku sedikit risih jika ditanya kapan nikah oleh teman-teman di kampus, tapi sudahlah … tahu apa mereka jika tak jarang do’aku melangit untuk memohon yang terbaik pada Allah, termasuk urusan jodoh. Meski Si Ahmad sahabat karibku sejak di pondok dulu, menggodaku dengan menyebut nama Aisya, karena dia tahu tentang masa laluku. Lalu apakah itu juga menjadi alasanku kenapa aku memilih untuk tetap tinggal di kampung ini, meski jauh dari kampus tempat mengajarku. Tentu tidak sepenuhnya benar, aku mencintai kampung ini sebagai tempat yang menyimpan banyak kenangan bersama kedua orang tuaku, juga kenangan saat menghabiskan waktu sore hari di santren bersama anak-anak yang belajar iqro’ tentu bersama Aisya. Ah … kujambak kasar rambutku, berusaha menyadarkan diri sendiri bahwa masa telah berubah. Aisya bukan yang dulu. Aisya adalah ibu dari Mila, gadis kecil yang rajin mengaji itu. Lalu apa yang salah Salman, Aisya sudah tak bersuami lagi, artinya ia sudah boleh kau lamar. Ataukah hatimu sudah berubah? Karena dia kini berstatus janda, bukan gadis seperti dulu? Ataukah karena ia juga mantan tekawe yang kini pulang dalam keadaan sakit, meski sakitnya belum jelas kau ketahui? Aaahhhh … aku segera bangkit meraih air wudhu’ untuk menenangkan diri, membenamkan kepala penuh dosa ini di hadapan Sang Maha Pengampun.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

05 Sep
Balas

Terimakasih sudah mampir, salam

05 Sep

MasyaAllah bagus sekali akakk . . .

06 Sep
Balas

Terimaksih sudah mampir adek, salam dan bahagia.

09 Sep



search

New Post