Raodah.M.Nuh

Seoarang guru TK di TKN Pembina di Lombok Tengah, berkenalan dengan Media Guru bulan April 2017 lalu, perkenalan yang menghadirkan sejuta rasa, rasa semanis mad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Demi Mahkota itu (Inaq Part 9)

Demi Mahkota itu (Inaq Part 9)

"Aida, sini cepat."

"Ada apa Mila, kelihatan ada yang penting sekali."

"Itu, Ustazah Malihah cari kamu dari tadi."

Aida bergegas menuju gurfah mudabbirah menemui Ustazah Malihah. Tidak biasanya Ustazah kelihatan tegang begitu saat menemui kami. Apakah ada hal yang sangat penting yang kaitannya dengan Aida. Rasa penasaranku membawa langkahku menyusul Aida. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi dan aku harus menemani Aida.

"Kamu harus kuat Aida, sudah kehendak Allah dan harus terjadi. Kita juga pasti akan kembali pada Allah. Cuma ada yang lebih dulu dan ada yang belakangan. Kamu tidak sendiri menghadapi ujian ini nak, ada ustazah di sini, ada teman-temanmu juga. Kamu harus kuat nak. Ikhlas ... agar ibumu juga tenang menghadap Allah."

Bagai mendengar suara petir tanpa hujan. Aku benar-benar terkejut. Ibunya Aida telah wafat. Aida kini sendiri, iya ... dia sendiri. Karena selama ini aku tahu dia hanya tinggal berdua dengan ibunya. Kalau kini ibunya sudah pergi, berarti ia akan hidup sebatang kara.

Tanpa minta ijin sama ustazah Malihah, aku masuk ke gurfahnya dan memeluk Aida yang kelihatan masih belum percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Aku memeluknya dengan rasa yang susah payah kutata. Aku tak ingin ikut menangis di depannya, itu hanya akan menambah dukanya. Seperti aku juga, aku tak suka melihat air mata tumpah di depanku saat aku sedang teepuruk, tapi aku akan sangat berterimakasih, jika orang lain menguatkanku dengan tidak terlihat lemah.

Aku membantu sebisaku saat Aida mengurus jenazah ibunya. Aku adalah satu-satunya santri yang ikut menemani Aida pulang. Tiga orang ustazah menemani Aida pulang. Aku bersikeras mohon ijin untuk ikut sama ustazah Malihah. Aida adalah sahabat terbaikku sejak baru pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini hingga hampir empat tahun berjalan ini.

______ &&& _______

Rasa syukur kadang menipis hingga sekulit ari, manakala kita tidak mampu memupuknya. Itulah sebab kepala tak layak selalu melihat ke atas. Sering merunduk memupuk subur rasa syukur.

Aida tidak bisa langsung kembali ke pondok begitu ibunya sudah dimakamkan. Aku juga minta ijin pada mudabbirah pondok untuk menemani Aida di rumahnya beberapa hari.

Hidup sebatang kara. Ya ... Aida kini hidup sebatang kara. Akupun baru tahu, Aida selama ini hanya tinggal dengan ibunya. Ibunya bukan orang Sasak. Ia adalah alumni pondok pesantren Al-Ishlahuddiny, sebuah pondok pesantren tertua yang ada di kota santri Kediri Lombok Barat. Keberadaannya di Lombok karena ikut kerabat dekat dari Almarhum ibunya yang tinggal di Selong Lombok Timur. Lepas dari pondok ibunya tidak juga kembali ke daerah asalnya di Makasar Sulawesi Selatan. Jodoh mengikatnya untuk tetap berdiam di Gumi Sasak. Ia menikah dengan ayahnya Aida. Namun anehnya, Aida tidak pernah tahu keberadaan ayahnya hingga kini. Menurut cerita orang, terakhir kali ayahnya menjenguk Aida, saat Aida masih belum sekolah.

Allah menunjukkan ibrah kepadaku tentang syukur dan sabar melalui Aida. Ternyata secuil dukaku tak sebanding gunungan duka Aida. Ah ... tiba-tiba aku rindu Inaq, ingin bercerita banyak padanya tentang semua ini. Ingin minta maaf padanya atas rasa cinta dan hormat yang kemarin sempat menipis.

"Kenapa Inaq tidak berusaha hubungi Amaq saja, biar pada saat seperti ini kita tidak kesulitan. Inaq bisa berbagi dalam hal mengurus Mila. Kalau Inaq tidak bisa datang besok ke pondok, ada Amaq yang gantikan. Inaq seharusnya jangan egois begitu, pikirkan juga kepentingan Mila. Inaq akan kewalahan mengurus Mila sendiri, lebih-lebih dalam kondisi sakit seperti ini."

Hanya diam, itulah jawaban yang kutemui saat itu. Waktu itu Inaq mengabarkan lewat telfon, ia tidak bisa datang ke pondok menemani aku untuk sima'an sebelum acara wisuda Tahfiz. Yang aku tahu, teman-temanku semua didampingi oleh salah satu orang tuanya. Sedangkan aku tidak bisa didampingi oleh Inaq. Artinya aku harus melewati saat yang menegangkan itu sendiri.

Ah ... aku benar-benar berdosa, aku termakan omongan orang-orang di kampungku saat aku pulang libur akhir tahun kemarin.

"Sampai sebesar ini Mila itu belum juga diijinkan ibunya untuk pergi menemui ayahnya. Kok egois gitu ya si Aisya, seharusnya ia suruh anaknya untuk cari ayahnya, bagaimanapun anak perempuan itu pasti butuh ayahnya untuk wali nikahnya besok." Cericit mulut orang-orang di warung itu, mau tak mau menggoyahkan kokohnya tiang cinta dan hormatku pada perempuan mulia pemilik surgaku itu.

Allah ... ampuni dosaku, aku yang pernah melukai hati Inaq. Terbayang wajah sedih dengan luka batin yang jelas tampak di tetes demi tetes air mata yang akhirnya menderas. Inaq sungguh kelihatan terluka saat itu. Namun tak sepatah katapun ia ucapkan sebagai pembelaan.

"Kelak kau akan mengerti nak, semoga Allah selalu meneguhkan hatimu untuk selalu bersyukur." Hanya itu, ya ... hanya kalimat itu yang ia ucapkan. Itupun setelah berhari-hari aku melakukan aksi diam.

&&&&&&&&&&_________

PoV: Aida

Kupandangi batu nisan di depanku.

"Ibu, seandainya aku boleh memilih ... jika Allah tawarkan pilihan untukku, tinggal di sini sendiri tanpa siapapun, atau ikut Ibu kembali menghadap Allah, aku ingin memilih yang kedua saja, ikut denganmu. Hingga tak ada perih yang kurasakan, saat aku harus hidup sendiri tanpa Ibu. Dulu aku protes pada Allah, kenapa hidup kita tak seperti orang lain. Kekurangan materi dan status sosial yang kerap membuatku merasa terpuruk. Tapi semua berubah seiring waktu. Aku semakin menyadari bahwa kita harus bersyukur terhadap apapun pemberian Allah. Aku juga semakin yakin, bahwa Allah mengirimkan ujian kepadaku, satu paket dengan kekuatanku untuk menghadapinya juga. Ibu, itu kemarin ... saat Ibu masih di sampingku. Lalu kini, apalagi yang akan bisa membuatku bertahan. Aku tak kuat lagi, aku terpuruk lagi." Hanya lambaian daun kamboja yang membalas rintihan panjangku.

"Aida ... sudah kuduga, kalau tidak ada di rumah, kamu pasti ada di sini." Kedatangan Milatri dan Ustazah Malihah mengangetkanku. Aku belum tahu tujuan kedatangan mereka. Mungkin saja mereka datang untuk menjengukku karena tidak pernah kembali ke pondok sejak Ibu meninggal empat puluh hari yang lalu.

"Sebaiknya kamu pikirkan lagi masak-masak Aida. Ustazah benar juga, sebaiknya kamu kembali ke pondok, urungkan saja niatmu untuk pergi ke tanah kelahiran Ibumu. Belum tentu di sana kamu dapatkan apa yang kamu cari. Kita akan bersama-sama lagi Aida. Kalau waktu liburan tiba, kamu bisa pulang ke rumahku. Aku sudah ngomong dengan Inaq, beliau juga menyayangimu Aida." Panjang lebar kata-kata Milatri untuk mengajakku kembali ke pondok. Semua itu menambah deras air mataku. Namun akhirnya aku menyanggupi ajakannya.

Kembali ke pondok artinya siap menjadi penonton saat hari Jum'at semua teman-temanku bersuka ria bersama ayah ibu dan anggota keluarganya yang lain datang menjenguk. Siap membunuh rindu dengan berdiam di pondok saat semua teman-temanku pulang untuk menikmati hari libur. Yah ... walaupun Milatri sudah menawarkan untuk ikut pulang ke rumahnya, aku belum terbiasa untuk tinggal di rumah orang lain, walalupun hanya beberapa hari saja.

___________ &&& ___________

"Pulang ke rumahku saja Aida, tak enak tinggal di pondok sepi begini. Mending kamu mau tidur di rumah Ummi." Untuk ketiga kalinya aku mencoba meyakinkan Aida agar mau pulang liburan ke rumahku. Dari kemarin ia bersikeras untuk tinggal di pondok sama ustazah Firda yang menghabiskan waktu libur di pondok karena ada beberapa tugas yang harus beliau selesaikan.

"Aku sebenarnya tidak enak merepotkan kamu sama ibumu Mila."

"Yang bilang kamu merepotkan kami siapa?, justru Inaq senang jika kamu ikut kerumahku, ayolah Aida." Kulihat ada mendung di wajah Aida. Ah ... aku juga seperti merasakan apa yang kamu rasakan Aida, aku mengerti perasaanmu saat ini. Saat semua penghuni pondok ini bersuka ria menanti hari ini, saat hari libur telah tiba dan semua dijinkan pulang setelah menyelesaikan beberapa tugas, salah satunya adalah mencukupkan duapuluh lima hafalan hadits bagi kelas rendah seperti kami.

"Baiklah ... aku ikut pulang kerumahmu. Terimakasih ya Mila." Aku memeluk Aida lalu mengajaknya berdendang marawisan dengan menepuk dinding dipan sebagai alat musiknya. Lalu kami tertawa saat sama-sama lupa lirik lagunya. Begitulah cara kami membunuh rasa gundah yang kadang-kadang menghinggapi jiwa labil kami.

Bersambung ...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillaah, keren ceritanya, semoga sehat semuanya, sukses bu Raodah

08 Apr
Balas

alhamdulillah, amiin ... terimakasih Bu Zuyyinah, semoga sehat dan bahagia selalu untuk ibu dan seluruh keluarga.

12 Apr



search

New Post