Raodah.M.Nuh

Seoarang guru TK di TKN Pembina di Lombok Tengah, berkenalan dengan Media Guru bulan April 2017 lalu, perkenalan yang menghadirkan sejuta rasa, rasa semanis mad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Do'a Syukur Alif

Do'a Syukur Alif

 

  Alif berlari menjauh dari teman-temannya. Ia memilih untuk bermain gasing sendiri. Gasing dari kayu mahoni di tangannya, ia pandangi sambil mengelusnya. Terngiang ucapan kawan-kawannya tadi. 

 "Kamu main gasing terus Lif, gak bosan ya? Seperti kita nih." Oby memamerkan gadgetnya.

 "Ha ha ... Alif Alif, kamu ini bagaimana sih. Gak keren banget, masak gak pernah main game di hape? Tiap lihat kami main, kamu bengong aja." Ihza juga mengolok-olok Alif yang masih memegang erat mainan kesukaannya itu.

 Alif berjalan pelan di pematang sawah yang ditumbuhi rumput subur menghijau. Dari jauh ia melihat sebuah caping berwarna coklat menutup kepala seorang perempuan. Kepala itu sebenarnya juga ditutupi kerudung, tapi tidak terlihat karena ada caping di atasnya. Alif terus berjalan mendekatinya, ia tak memanggil perempuan itu, tapi terus mendekatinya. Entah karena perasaan sedihnya masih membuatnya enggan untuk bersuara. 

 "Alif ... kok sudah di sini nak, ibu sebentar lagi juga pulang. Kenapa menyusul ibu ke sawah." Ibu heran melihat Alif. Tak biasanya Alif menyusul ibu ke sawah. Ia memang sering ikut ke sawah jika hari libur, menemani Ibu menyiangi padi atau menanam kacang panjang di pematang sawah. Namun hari ini Alif menolak ajakan ibu ke sawah, mau pergi main bersama teman adalah alasannya. 

 "Kenapa nak?" Ibu heran melihat Alif yang tidak menjawab pertanyaan ibu. Malah ia duduk di pematang tak jauh dari keranjang rumput ibunya. Kepalanya disembunyikan diantara lutut. Ia menangis. 

 "Loh, kok malah nangis?" Ibu menghentikan pekerjaannya. Perlahan telapak tangannya membelai rambut ikal Alif.  Tangan yang saban hari hanya bergelut dengan benda keras itu meraih tubuh Alif ke pangkuannya. Alif sesenggukan dan ibu membiarkannya menumpahkan tangisnya sampai akhirnya Alif berhenti menangis dan kelihatan sudah tenang dalam belaian ibunya.

 "Ibu ... kapan ibu punya cukup uang?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Alif yang sudah mulai tenang. Tentu saja ibunya terkejut. 

 "Hmmm ... ibu memang punya uang simpanan, tapi tidak banyak." Ibunya menjawab pertanyaan Alif meski sebenarnya ia tidak tahu apa maksud Alif menanyakan itu. 

 "Apakah sudah cukup untuk beli hape yang bagus seperti punyanya  Oby itu?" Ooohh... jadi itu masalahnya. Ibunya tersenyum  sendiri. Ia baru menyadari bahwa kekacauan Alif tadi adalah karena hape. Ibunya menerka-nerka dalam hati. Namun ternyata terkaannya benar. Alif menyusulnya ke sawah, lalu menangis adalah karena diejek teman-temannya karena tidak main hape.

 "Alif, ibu mau ngomong, dengarkan ibu baik-baik ya nak. Alif percaya sama Ibu kan? Besok kalau uangnya sudah cukup, ibu pasti belikan hape seperti punya teman-temanmu itu." Alif menyeka air matanya. Tatapan penuh luka itu sebenarnya membuat ibunya iba. Bagaimana tidak, ibunya sering melihat secara langsung bagaimana teman-temannya mengejek Alif saat memikul keranjang rumput. Saat itu hari libur sekolah, Alif ikut ibunya mencari rumput untuk tiga ekor sapinya. Ia membawa keranjang rumput itu melewati pos ronda ujung jalan dekat persawahan. Tempat itu biasa menjadi tempat nongkrong anak-anak seusianya di pagi hari libur dan menjadi ramai oleh remaja laki-laki saat sore hingga malam.  Anehnya, anak-anak yang nongkrong itu, kumpul disana bukannya ramai bersenda gurau atau bermain bersama, namun mereka sibuk dengan gadget mereka masing-masing, jarang saling menyapa satu sama lain. Hal itu yang membuat orang-orang tua mereka heran, mereka kumpul di suatu tempat tapi tak saling menyapa, beramah tamah cukup di dunia maya, begitu katanya. Ah ... Alif sebenarnya belum terlalu paham maksudnya. 

 "Lif ... sini gabung sama kita." Arif berpaling sejenak dari gadgetnya begitu melihat Alif lewat di hadapannya. 

 "Alif ... Alif ... kamu rupanya lebih suka bermain dengan gasing dan keranjang rumput itu ya, daripada sama kita yang keren-keren ini." Lagi-lagi Oby mengejek Alif dengan kata-kata yang tidak enak didengar. Ibunya menyadari itu dan segera menarik tangan Alif untuk menjauh dari sana.

 "Alif malu ya diejek sama teman-temannya tidak punya hape keren seperti mereka?" Alif tidak langsung menjawab pertanyaan ibunya sesaat setelah selesai murojaah malam itu. Ia hanya memandang ibunya dengan tatapan penuh arti. Namun ibu mengerti apa yang ada dalam hati anaknya. Tatapannya menjelaskan bahwa ia ingin sekali mempunyai gadget seperti punya teman-temannya, ia malu diejek terus. 

 "Nak ... ibu mau ingatkan Alif tentang kisah seorang sahabat Rasul. Alif pasti sering mendengar kisah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?”

 “Sahabat Rasul yang pintar dan pemberani itu kan bu?" Mata Alif tiba-tiba berbinar ceria menyebut nama sahabat Rasul itu. Sayyidina Ali adalah salah satu sahabat Rasul yang diidolakannya. 

 "Alif ingat kan, kalau Sayyidina Ali itu sangat cerdas dan kecerdasan serta keluasan ilmunya sering dipuji oleh Rasulullah?" 

 "Iya, Alif ingat bu. Babul Ilmi adalah gelar yang diberikan Rasul untuknya. Karena keluasan ilmu pengetahuannya, Rasul menyebut beliau sebagai pintu ilmu, barangsiapa yang hendak datang kepadaku untuk belajar suatu ilmu maka ia harus datang kepada Sayyidina Ali sebagai pintunya ilmu. Seperti itu yang pernah dikatakan Rasul kan bu ?" 

 "Iya, betul sekali sayang. Sabda Rasul begini, aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, barang siapa yang hendak ke kota ilmu maka datanglah melalui pintunya dulu. Ini menjelaskan bahwa keluasan ilmu Sayyidina Ali itu sedikit dibawah Rasulullah. Hebat bukan?" 

 "Iya bu, hebat sekali ya bu." Mata Alif semakin berbinar dan ibunya senang melihatnya. 

 "Oh ya bu, beliau juga sangat pemberani. Cerita ustaz di sekolah begini, Sayyidina Ali pernah menyamar menjadi Rasulullah dan tidur di tempat tidurnya Rasul. Padahal saat itu orang-orang kafir kuraisy mengepung rumah Rasul. Dengan pedang terhunus, puluhan orang itu hendak membunuh Rasul. Waahhh ... ngeri ya bu, bagaiman kalau orang-orang kafir itu menebaskan pedangnya ke arah tempat tidur Rasulullah, pasti Sayyidina Ali yang akan terbunuh." Alif semakin bersemangat membahas tentang kisah sahabat yang satu itu. "Benar nak, Sayyidina Ali seorang yang berilmu luas dan pemberani. Ehh ... ada lagi, walaupun beliau seorang pemberani dan berilmu, tapi beliau seorang yang sangat pemalu." "Loh ... kok pemalu bu?" Alif mengernyitkan dahi mendengarnya. 

 "Alif belum pernah dengar ya?" Alif menggeleng mendengar pertanyaan ibu. 

 "Begini sayang, Sayyidina Ali itu sangat malu kepada Allah jika ia melakukan perbuatan tidak baik. Selalu beliau menangis saat berdo'a, beliau memohon ampun kepada Allah jika ada kesalahan yang pernah ia lakukan. Beliau meminta kepada kawannya untuk selalu diingatkan jika berbuat buruk, karena beliau sangat malu kepada Allah yang telah memberikannya banyak nikmat." Alif mendengarkan dengan seksama hingga ibu melanjutkan kalimatnya. 

 "Jadi jika Alif ingin menjadi anak pintar dan pemberani seperti Sayyidina Ali, Alif juga harus contohi sifat pemalu beliau. Malu jika berbuat dosa. Ingat ya Lif, malunya saat melakukan perbuatan dosa. Bukan malu jika melakukan perbuatan yang baik, walaupun karena perbuatan itu Alif diejek oleh kawan-kawannya." Alif memandang Ibu dengan raut wajah kurang paham. 

 "Maksud ibu bagaimana?" 

 "Begini nak, sekarang ibu mau tanya. Alif jawab jujur ya! Menurut Alif apakah pergi ke sawah membantu ibu mengambil rumput itu perbuatan dosa?" Alif menggeleng keras. "Nah ... jadi Alif tidak perlu malu sama teman-temannya. Terus, apakah tidak main game di hape bagus itu adalah dosa?" Lagi-lagi Alif menggeleng keras. 

 "Kalau begitu, Alif juga tidak perlu malu saat teman-temannya mengatakan kalau Alif tidak keren karena tidak punya hape bagus tapi hanya punya gasing dan keranjang rumput." Alif tertegun mendengarnya. Ibunya mengusap kepalanya lembut. Teriring do'a dipanjatkannya. Kiranya Allah menjadikan Alif anak sholeh setangguh Imam Ali bin Abi Thalib. Alif tidak mengucapkan sepatah katapun. Namun dari senyum yang tersungging di bibirnya, menjelaskan bahwa ia sangat mengerti dengan apa yang barusan dijelaskan oleh ibunya. Sesungging senyum yang mewakili ketenangan hatinya setelah berhasil melewati rasa gundahnya karena ia tak memiliki hape keren seperti teman-temannya. Alif merbahkan kepalanya di pangkuan Ibunya. Ketenangan masih terlihat di raut wajahnya. Namun anehnya, justru gundah yang menyambangi hati ibunya. Ibunya Alif terlihat resah karena memikirkan sesuatu.

 

&&&&&&&&&

 

 Matahari baru naik sepenggalah. Sinar hangatnya mengintip dari celah jendela kelas yang dibuka setengah. Hari ini hari sabtu, jadwal kegiatan di sekolah Alif, Tahfiz penuh seharian pada hari ini. Kalau pada hari biasa, kegiatan tahfiznya dimulai dari siang sampai sore. 

 "Assalamualaikum," sapa ustaz Rahman dari arah pintu.

 "Waalaikumussalam," serentak anak-anak menjawab dan segera merapikan tempat duduk masing-masing yang tadi sempat berantakan.

 Ustaz Rahman yang ramah dan penyabar itu menyampaikan mukaddimah pelajaran seperti biasa. Anak-anak kadang tertawa riuh mendengar gurauan yang selalu terselip dari setiap pembicaraannya. Inilah yang membuatnya menjadi ustaz idola di sekolah ini. Lucu dan penyayang adalah juga ciri khas beliau dalam membimbing anak-anak muridnya.

 "Anak-anak, hari ini ustaz mau tes hafalan Qur'an satu-satu ya, tiga bulan lagi insyaallah akan ada uji publik hafalan Qur'an untuk tiga juz. Kalian semua boleh ikut asal lulus seleksi. Untuk itu hari ini ustaz mau tes kalian semua." Kabar gembira itu disambut dengan tepuk tangan oleh anak-anak kelas empat SD Islam Terpadu Sa'adatuddarain. Tak terkecuali Alif, Oby dan juga Arif. Mereka adalah kawan sekampung yang juga kawan sekelas. Walaupun di rumah mereka tak selalu main bersama, terutama Alif yang lebih sering main sendiri, namun di sekolah mereka tetap berkawan akur bersama teman-temannya yang lain juga. 

 "Kita mulai saja ya anak-anak, ustaz panggil satu persatu untuk dites. Bagi yang belum dapat giliran, silahkan murojaah dulu." Beragam respon dari anak-anak itu, ada yang terlihat senyum-senyum dan tak sabar ingin segera mendapat giliran dites, ada yang memegang dadanya karena deg-degan menanti namanya dipanggil oleh ustaz, ada juga yang kelihatan cemas karena khawatir tidak bisa menjawab soal-soal tes hafalan dan beberapa diantara mereka bahkan tidak bersedia untuk dites lalu menyatakan ketaksiapannya untuk mengikuti kegiatan uji publik.

 Alif adalah salah satu dari beberapa anak yang kelihatan santai bahkan tak sabar ingin segera dites. Alif memang tergolong anak yang terbanyak hafalannya di kelas ini. Kawan-kawannya rata-rata baru selesai menghafal tiga juz, sementara dia sudah hampir selesai lima juz, hal inilah yang membuat ustaz Rahman sering memujinya. Ketekunan dalam belajar dan juga menghafal Alquran serta tata Krama yang bagus juga menjadikannya anak kesayangan ustaznya.

 Sembilan puluh menit berlalu, tinggal satu orang anak yang belum mendapat giliran dites. Begitu selesai semua anak, ustaz memberikan isyarat agar anak-anak tenang dan mendengarkan semua wejangannya. 

 "Anak-anakku semua, dari hasil penilaian ustaz kali ini, ada limabelas anak yang berhak menjadi calon peserta uji publik. Lima belas anak ini nantinya akan bergabung dengan anak-anak dari kelas lain untuk selanjutnya mengikuti beberapa tahap seleksi yang akan dilaksanakan. Dalam beberapa tahap seleksi nantinya, anak-anak bisa lulus dan juga bisa tidak lulus. Tergantung dari kalian, apakah benar-benar memanfaatkan waktu untuk murojaah atau tidak. Jika kalian memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk murojaah Alquran, maka insnyaallah kalian akan lulus seleksi. Namun jika waktunya lebih banyak digunakan untuk main game di hape, maka kalian tidak bisa mengikuti uji publik tahun ini."

Untaz tidak mau membuang-buang waktu lagi. Selesai mentausiyah murid-muridnya, ustaz Rahman mulai membacakan nama-nama yang limabelas itu.

 Kelimabelas nama-nama yang lulus tes hari itu sudah dibacakan oleh ustaz Rahman. Berbagai macam ekspresi anak-anak itu. Ada yang berulang-ulang berucap kalimat hamdalah sebagai ungkapan rasa syukur karena lulus tes awal. Ada yang ekspresinya biasa saja walaupun lulus.

 "Ini kan baru tes awal saja, beberapa tahap seleksi lagi, belum tentu kita lulus disana." 

 "Aku sih tidak masalah tidak lulus tes sekarang, itu artinya masih diberikan kesempatan murojaah dulu sampai bisa ikut tahun depan."

 "Aahhh ... ngapain juga harus lulus tes, repot tau. Selama dua bulan ke depan harus ikut bimbingan khusus dan seleksi beberapa kali lagi. Jadi syukur aja kalau tidak lulus. Kan yang penting tetap lanjutkan hafalan. Iya kan ustaz?"

 Ustaz Rahman hanya tersenyum mendengar obrolan murid-muridnya. Tak menanggapi dengan kata-kata, hanya sesekali mata ustaz yang teduh itu mencuri pandang ke arah Alif, memperhatikannya yang duduk tenang setelah menunduk sebentar. Alif teringat kata-kata ibunya.

 "Jika mendapatkan suatu nikmat atau keberuntungan, jangan lupa membaca do'a Syukur, supaya Allah tambah lagi nikmat yang diberikannya untuk kita. Juga jangan lupa berdo'a untuk keberkahan nikmat yang diperoleh itu, karena tak sedikit orang yang menjadi celaka karena nikmat yang diperolehnya tidak mengandung berkah." Kalimat-kalimat itulah yang membuat Alif bersikap tenang sambil memanjatkan do'a Syukur, saat namanya disebut di urutan pertama dari limabelas anak yang lulus tes hari ini.

 "Anak-anak, coba dengarkan ustaz sebentar dulu. Ada hal penting yang mau ustaz sampaikan sebelum kita keluar istirahat." Suara ustaz Rahman menjadikan ruang kelas itu mendadak sepi. Semua mata kembali tertuju ke arahnya.

 "Begini, bagi teman-teman kalian yang lulus tes, ustaz ucapkan selamat atas keberhasilannya. Tes ini adalah awal dari seleksi-seleksi berikutnya. Mulai besok kalian sudah bisa bergabung dengan teman-teman kalian yang lulus tes dari kelas-kelas lain. Pesan ustaz, ikuti dengan sungguh-sungguh kegiatan bimbingan khusus yang akan diberikan oleh ustaz dan ustazah pembimbing khusus uji publik." Senyum khas ustaz menyapu semua wajah cilik calon hafiz yang ada di ruang kelas itu.

 "Sedangkan untuk anak-anakku yang belum lulus tes sekarang, kalian akan tetap ustaz bimbing untuk meningkatkan hafalan seperti biasa. Ustaz berharap kalian lebih semangat lagi, lebih giat lagi dalam murojaah, supaya tahun depan bisa mengikuti tahapan-tahapan dalam pelaksanaan uji publik seperti sekarang ini. Fahimtum?"

 "Fahimna Ustaz ...." Serentak anak-anak menjawab dengan sopan.

 "Oh ya, ada hal yang ingin ustaz sampaikan sama kalian. Begini, ustaz pernah ngobrol dengan orang tua kalian semua di saat acara parenting bulan lalu." Ustaz menjeda kalimatnya, anak-anak menunggu kelanjutannya dengan rasa penasaran. 

 "Sebentar dulu ustaz, parenting itu apa?” Oby bertanya lantang.

 "Oh itu, acara ngobrol-ngobrol antara ustaz dengan orang tua kalian mengenai pendidikan putra putra kami di rumah." Oby dan anak-anak yang lain manggut-manggut, karena sebenarnya pertanyaan Oby itu adalah pertanyaan perwakilan dari teman-temannnya yang lain.

 "Kemarin itu, ustaz menanyakan kepada orang tua kalian tentang aktifitas kalian dirumah." Anak-anak saling berpandangan, ada yang terlihat khawatir kalau orang tua mereka melaporkan tentang kebandelannya di rumah. 

 "Begini anak-anak, kebanyakan dari orang tua kalian mengeluhkan anak-anaknya yang susah diatur karena kecanduan bermain handphone." Anak-anak terlihat menunduk, mereka malu karena ustaz tahu kalau mereka bandel di rumah.

 "Ustaz ingatkan kalian, main hp itu boleh saja, asal jangan terlalu lama sampai-sampai gak murojaah, game di hp itu juga bikin ketagihan terus. Karena ketagihan, bisa saja kalian jadi tidak bersemangat mengerjakan pekerjaan lain. Maunya main terus." Panjang lebar ustaz menasehati anak didiknya. Semua mendengarkan dengan seksama, termasuk kawan-kawan Alif yang kemarin sering mengolok-oloknya karena tidak memiliki hp bagus untuk nge-game. Ustaz mengakhiri nasehat dengan memanjatkan doa kebaikan untuk semua murid-muridnya. Akhirnya mereka semua menikmati waktu bermain di luar kelas. 

Alif juga beranjak keluar kelas dengan riang. Ia tak menyadari kalau sejak tadi ada sepasang mata yang memandangnya dengan pandangan tak suka bahkan marah, lebih-lebih saat ustaz menyebutkan nama Alif di urutan pertama. Hal itu menjelaskan bahwa Alif memperoleh nilai terbaik dalam tes kali ini.

 

&&&&&&&&&&&&&&

 

 Matahari panas menyengat saat Alif pulang sekolah. Hari itu ia lebih awal pulang, gurunya mengumumkan ada acara yayasan yang semua gurunya harus hadir. Alif berjalan cepat menenteng tas hitamnya. Sekali waktu tasnya di jinjing, tak lama kemudian di dekap dengan kedua tangannya. Itu tas punggung hitam satu-satunya milik Alif. Tas punggung yang akhir-akhir ini jarang di punggung, bukannya Alif suka membawa tas dengan gaya yang berbeda, tapi ada sebab ia lakukan itu, tali tasnya sudah putus lagi sejak dijahit ulang sama ibunya beberapa hari yang lalu. Alif terus menyusuri jalan setapak menuju rumahnya yang hanya beberapa puluh meter lagi.

 "Alif ... pinjam tasmu ya." Alif terkejut saat tiba-tiba dari belakang Oby menarik tas di tangannya dan sebentar saja tas itu sudah berpindah ke tangan Oby. Belum hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba Oby melempar tas itu kesungai, sontak Alif berteriak keras. Namun teriakannya di sambut tawa oleh Oby. 

 Sedih tak tertahan, Alif berlari cepat mengejar arus sungai yang membawa tas hitamnya. Sambil menyeka air matanya ia terus berlari, terbayang buku-buku serta alat tulisnya yang lain akan basah tak terselamatkan. Ia menangis lagi, sampai-sampai hampir tak melihat kalau tasnya tak terbawa air lagi, tapi nyangkut di dahan pohon tumbang yang menghadap ke arus sungai. Ia berhenti sejenak mengucap syukur lalu segera meraih tasnya yang sudah basah itu.

 "Alhamdulillah, mudah-mudahan airnya tak sampai ke dalam. Alif berlari pulang saat ingat bahwa sepatu dan celananya juga basah saat turun mengambil tasnya tadi.

 "Loh ... Alif kenapa sayang? Jatuh di sungai? Ya Allah basah semua, ayo cepat ibu bantu sini." Alif semakin sedih saat ibu berusaha menyelamatkan buku-bukunya. Ibunya menjemur buku-buku itu di teras depan. Ibu juga membantu Alif mngganti baju dan mencuci baju seragamnya yang kotor dan basah tadi.

 "Mudah-mudahan buku-bukunya bisa kering nanti dan tidak rusak. Alif makan dulu ya, ibu mau jemur bajumu dulu, harus cepat dijemur, biar bisa dipakai lagi besok pagi." Alif mengangguk cepat, ia tahu kalau ia tak memiliki seragam lagi untuk besok pagi.

 "Tadi bagaimana ceritanya sampai Alif basah kuyup sama tasnya juga?" Ibu bertanya pelan saat Alif sudah selesai makan. Memang itu kebiasaan ibu, menanyakan sesuatu sama anaknya setelah kondisinya tenang demi menjaga perasaan anaknya.

 "Hmmm ... tadi tas Alif jatuh ke suangai bu, terus Alif berusaha ambil, pakaian Alif juga ikut basah saat buru-buru turun ke sungai ambil tas." Alif menyembunyikan kejadian sebenarnya. Ia tidak cerita kalau tasnya di buang sama Oby ke sungai. Sengaja ia tak mengatakan yang sebenarnya. Ia teringat pesan gurunya di sekolah.

 "Anak-anak, kalau ada masalah sama temannya, jangan buru-buru mengadu ke orang tua di rumah. Khawatir orang tua kalian salah paham, terus kelahi sesama orang tua. Lebih baik selesaikan sesama kawan dulu, atau lapor sama ustaz aja, biar ustaz bantu selesaikan masalahnya." Waktu itu memang ada kejadian, ibunya Iwan dan Ahmad datang ke sekolah, dua-duanya mengadu ke kepala sekolah atas kejadian perkelahian anak-anak mereka. Kepala sekolah sampai kewalahan menengahi, karena ibu-ibu itu bertengkar riuh di ruang kepala sekolah.

 

&&&&&&

 

 "Alhamdulillah," Alif mengucap syukur sambil memeluk ibunya. Ia sangat senang mengingat betapa perjuangan saat mengikuti beberapa kali seleksi itu tak mudah. Percakapan mereka seru membahas persiapan untuk mengikuti kegiatan itu bulan depan. 

 "Coba bapak masih ada, beliau juga pasti senang mendengar kabar ini." Raut muka Alif tiba-tiba sedih mengingat almarhum ayahnya. Ibu mengusap kepala Alif untuk menguatkannya.

 Hari yang dinanti itupun tiba. Bersama duapuluh temannya yang lain, Alif berkumpul untuk melaksanakan persiapan di aula sekolah. Jubah putih yang dipakainya membuat wajahnya kian benderang karena dihiasi senyum bahagia. Alif adalah peserta uji publik termuda di tahun ini. Sembilan belas kawannya adalah siswa kelas lima dan enam, sementara ia masih kelas empat. Alif memang satu-satunya siswa kelas empat yang lulus seleksi hingga akhir dan berhak mengikuti uji publik di masjid besar di pusat kota.

Shalawat badar bergema di depan pintu masjid. Suasana yang mengharukan, dilantunkan oleh semua anak-anak SD Islam Sa'adatuddarain untuk menyambut kawan-kawannya yang menjadi peserta uji publik kali ini. Alif terharu saat melihat teman-teman sekelasnya meneriaki namanya sesaat setelah shalawat selesai dan peserta dipersilahkan menempati tempat yang sudah di sediakan. Panggung besar nan megah itu akan menjadi saksi hingga di yaumil akhir kelak, akan perjuangan hamba Allah yang berusaha menjadi hafiz sejak belia.

 Acarapun berlangsung khidmat sekaligus menegangkan. Yah ... cukup menegangkan, saat para hafiz belia itu mendapat tantangan untuk diuji hafalannya oleh para hadirin saat itu. Tak terkecuali Alif juga mendapat bagian untuk menjawab beberapa buah tes dari para hadirin. Gemuruh tepuk tangan mengiringi, saat mereka mampu menjawab dengan tepat soal-soal yang diajukan.

 Salah satu mata acara yang tak kalah menarik adalah acara tausiyah dari Syaikh Abdul Hadi Muhammad bin Ibrahim Asy-Syuyuti Al-Azhari Asy-Syarif. Beliau yang lulusan Universitas Al-Azhar Mesir itu, memaparkan beberapa hal kaitannya dengan peran orang tua dalam keberhasilan anaknya.

 Dalam mukaddimahnya beliau menjelaskan tentang kecintaan dan kerinduan Rasulullah kepada kekasihnya. Para sahabat tentu bertanya. 

 "Siapakah yang menjadi kekasih Baginda Rasul itu." Beliau menjawab bahwa yang menjadi kekasih Rasulullah itu adalah orang-orang yang hidup setelah beliau wafat. Maksudnya yaitu orang-orang yang beriman yang sama sekali tidak pernah bertemu Rasulullah namun tunduk dan patuh pada ajaran rasulullah serta tak bosan-bosannya membacakan sholawat untuk beliau. 

 Pada inti pidatonya, Syaikh yang saat ini menjadi tenaga pengajar di SD Islam Saadatuddarain ini memaparkan beberapa hal. Salah satunya beliau menjelaskan bahwa ibu adalah madrasah ula untuk anak-anaknya.

 "Orang tua yang mendukung dan mengupayakan anaknya untuk menghafal Qur'an, berhak mendapat hadiah mahkota kebesaran para huffaz kelak di Yaumil akhir." Begitu tausiyah beliau yang membuat para orang tua yang hadir terharu hingga meneteskan air mata.

 Dalam kesempatan itu, beliau juga menjelaskan tentang adab seorang hafiz yakni tawadhu', konsisten murojaah dan berusaha berakhlaq sesuai tuntunan Al-Qur'an.

Sebagai penutup tausiyahnya, beliau berpesan kepada anak-anak untuk terus semangat menghafal Alquran, 

 "Niscaya kelak kau akan mendapat dunia, akherat dan kedua-duanya." Begitu kata motivasi dari Syaikh yang belum mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia itu.

 

&&&&&

 

 "Alif, dicari Oby tuh." Iwan menghampiri Alif yang sedang membereskan kotak kue yang diberikan panitia tadi. Sayang kalau harus dibuang, begitu pikirnya. Alif hendak membawanya pulang walaupun isinya tinggal setengah.

 "Hmmm ... ada apa ya, tumben Oby cari aku." Alif agak heran. Dia tak langsung menemui Oby, ia teringat akan kejailannya beberapa hari yang lalu. Alif khawatir Oby akan berbuat jahat lagi padanya. 

 "Gak tau tuh, yang jelas dari tadi dia nunggu kamu di pintu sana, tapi kamu masih belum juga keluar." Iwan mendesak Alif untuk menemui Oby. Alif masih saja ragu, tapi akhirnya iapun mengikuti langkah Iwan menemui Oby. Kalau dia macam-macam lagi, aku akan lawan dia. Begitu pikir Alif.

 Dari jauh Alif melihat Oby duduk agak samping dari gerbang masuk. Senyum mengembang di wajahnya saat melihat Alif, hal itu meyakinkan Alif bahwa Oby bermaksud baik ingin menemuinya.

 "Alif ... maafkan aku ya." Begitu Alif mendekat, tiba-tiba saja Oby memeluknya erat. Alif terkejut, ia mencoba mencari tanda kebohongan di wajah Oby, tapi ia tak menemukannya. Oby kelihatan tulus meminta maaf sama Alif.

 "Selama ini aku jahat sama kamu Lif, kamu mau kan maafin aku?" Alif lega mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Oby. Ia belum sempat menjawab saat tiba-tiba Oby menyodorkan sebuah bungkusan besar ke arah Alif.

 "Sebagai permintaan maafku, tolong terima hadiah ini ya Lif." 

 "Ya Allah Oby, apa ini? Ini tidak perlu, aku sudah maafin kamu kok. Walaupun tanpa hadiah apapun." Alif menjadi terharu, begitu juga Iwan yang ada di antara mereka.

 "Buka Lif, mudah-mudahan kamu suka."

Alif membuka bungkusan itu, dan ...

 "Alhamdulillah, terimaksih ya Oby. Jazakallah kawan." Alif memeluk erat Oby, dia benar-benar tak menyangka, Oby memberinya hadiah tas yang cukup bagus. Tas yang harganya pasti tak terbeli oleh kantong ibunya.

 "Oby ... kenapa harus sebagus ini, kamu minta sama ibumu ya? Aku jadi tidak enak ..."

 "Bukan ... itu aku beli pakai uang sendiri, aku buka celengan dan alhamdulillah uangnya cukup." Alif tak dapat berkata apa-apa lagi, ia kembali memeluk kawannya itu. Dalam hatinya tak henti mengucapkan syukur.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ceritanya Bu Raodah, sukses selalu

15 Apr
Balas



search

New Post