Raodah.M.Nuh

Seoarang guru TK di TKN Pembina di Lombok Tengah, berkenalan dengan Media Guru bulan April 2017 lalu, perkenalan yang menghadirkan sejuta rasa, rasa semanis mad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Inaq Seorang TKW (Inaq Bagian 2)

Inaq Seorang TKW (Inaq Bagian 2)

Awan hitam itu bergerak menjauh, ketika aku duduk mematung, mengamati punggung gunung sasak yang sudah tampak jelas. Menurut Papuq, kalau gunung sasak sudah tampak jelas dari sini, itu pertanda musim hujan sudah hampir usai.

Mataku memang sedang menatap gunung indah itu, namun sebenarnya hatiku sedang mereka-reka, alangkah bahagianya kalau Inaq sudah pulang. Kami akan kumpul bersama, ada Papuq yang merawatku selama ini dan ada Inaq yang selama ini mengasihiku dari jauh.

Yah … di usiaku yang menginjak duabelas tahun ini aku hanya melihat wajah Inaq lewat video call saja. Inaq yang sangat menyayangiku itu, meninggalkanku sehari setelah menyapihku, pergi merantau ke negeri Jiran adalah pilihan satu-satunya. Mencari nafkah demi kelangsungan hidup kami, setelah Amaq tidak mau peduli dengan kami lagi.

“Mila,,,!, ayo pulang, hari sudah sore, ayo bantu Papuq membawa rantang makanan dan sabit ini!” Panggilan Papuq mengagetkanku. Aku segera berkemas-kemas, mengakhiri aktivitas menjelang maghrib. Setiap hari aku sudah terbiasa membantu Papuq di sawah, merawat tanaman sayur, menyianginya sampai siap dipetik dan besok pagi-pagi sekali Papuq menjualnya ke pasar yang letaknya tidak jauh dari rumah.

Aku berjalan dibelakang Papuq, mengikuti gesit langkah kakinya. Sebenarnya aku sering merasa kasihan padanya, di usia senja, dia masih harus bekerja di sawah dan mengurus kebutuhanku.

“Mila, besok Inaq sampai di bandara agak sore, biar Papuq sama owak saja yang pergi menjemputnya, kamu dirumah saja, bereskan rumah dan siapkan kamar untuk Inaq tempati,” Papuq menghentikan langkahnya dan menoleh kearahku.

Inaq itu dipulangkan oleh bosnya karena sakit, kamu sudah besar Mila, belajarlah untuk merawat Inaq nanti,” sambil menoleh ke belakang, Papuq menatapku dengan penuh kasih, namun aku melihat ada mendung gelap menggelantung di mata lelahnya.

Sejak berita kepulangan Inaq, Papuq menjadi pendiam, kemarin malam juga aku sempat melihatnya meneteskan air mata, mungkin beliau sangat terpukul ketika mendengar berita bahwa Inaq yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah pulang, namun kini berita kepulangannya tidak mengembirakan karena Inaq pulang dalam keadaan yang tidak kami harapkan.

Ah … bagiku, berita kepulangan Inaq adalah berita yang sangat menyenangkan. Bukan aku tidak perduli dengan sakitnya, tapi aku memang sangat rindu pada wanita yang wajahnya selama ini hanya aku lihat di layar ponsel. Wanita yang hampir setiap hari menanyakan kabar aku dan Papuq lewat telepon. Yah … wanita yang menurut cerita Papuq, adalah wanita sasak yang tangguh dan solehah, yang selama ini berjuang untuk kelangsungan hidup aku dan Papuq. Memberikan tempat tinggal yang layak, bahkan rumah kami tergolong bagus untuk ukuran rumah di kampung ini. Juga membelikan sebidang sawah yang dimanfaatkan oleh Papuq untuk menanam sayur, yang hasilnya bisa menambah uang jajanku. Ah … betapa rindu ini semakin menggunung.

Malam itu, seperti biasanya Papuq mendongeng setelah selesai menyimak murojaahku, tapi ada yang berbeda malam ini. Kemarin biasanya Papuq mendongeng tentang berbagai macam cerita, mulai dari cerita fabel, sampai ke cerita tentang kerajaan-kerajaan jaman dahulu kala yang pernah ada di gumi sasak. Kisah-kisah para Nabi Rasul serta sahabat-sahabat Nabi juga sering menjadi cerita pengantar tidurku. Namun kali ini yang menjadi dongeng nina boboku adalah kisah tentang orang terkasih yang saat ini tengah berjuang di negeri orang demi masa depanku.

“Waktu itu kamu masih berusia delapan bulan dalam kandungan Ibumu,” Papuq memulai ceritanya. Inaq berlari pulang kerumah Papuq dengan muka memar dan air mata membasahi wajahnya. Cerita pahit dalam rumah tangganya tak juga merubah keputusan Papuq. Papuq bersikeras bahwa seorang muslimah tidak boleh meninggalkan rumah tanpa restu suami. Papuq bukan seorang wanita yang tidak mudah luluh, tetapi ia adalah seorang muslimah taat. Namun tidak ada yang tahu dibalik ketegasannya itu, ada hati yang remuk redam ketika menyaksikan derita yang dialami putri bungsunya, mendapat siksaan batin dan juga kekerasan fisik dari suaminya sejak awal usia pernikahannya. Bahkan ketika perutnya membuncitpun, suaminya yang suka main perempuan itu tak segan-segan melayangkan tangan kearah tubuh dan muka isterinya.

Tak perlu ditanyakan lagi, Papuq segera mengantar Inaq kembali kerumah suaminya dengan satu pesan,

“Bersabarlah dengan ujian ini dan jangan meninggalkan rumah kecuali dia sudah menjatuhkan talaq padamu,” Tidak ada pilihan lain, Inaq hanya terdiam menyeka air matanya.

Bulanpun berganti, Inaq hanya pasrah menghadapi ujiannya. Sampai tiba hari persalinan, Inaq di antar oleh tetangga ke puskesmas terdekat. Dengan Izin Allah iapun melahirkan dengan normal setelah mengalami kontraksi sekitar enam jam.

Ya … Aisyah melahirkan putrinya tanpa suami disampingnya. Beberapa menit setelah melahirkan, Papuq datang dan mendapati Inaq sedang dalam perawatan bidan yang memberikan bimbingan untuk memberikan ASI yang pertama. Tak perlu ditanyakan lagi kesedihan Papuq melihat pemandangan itu, Aisyah putri bungsunya yang selama ini sering dia marahi karena selalu kabur ketika menerima kekerasan suaminya, baru saja berjuang saat menjadi wasilah pemberi kehidupan bagi bayinya. Dia berjuang seorang diri tanpa suami yang sebenarnya adalah pilihan orang tuanya itu, suami pilihan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Laki-laki berpendidikan dan berilmu agama cukup itu ternyata tidak bertanggung jawab, buktinya dia entah ada dimana ketika istrinya berjuang antara hidup dan mati waktu melahirkan. Ah … desas desus tetangga mungkin saja benar, bahwa dia sudah punya isteri yang lain di luar sana.

Papuq menghela napas panjang, aku hanya terdiam tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Sebenarnya cerita ini sudah pernah kudengar dari Owak Nur kakaknya Inaq, tapi baru kali ini aku mendengar dengan jelas dari mulut Papuq,

“Kamu harus tau semua Mila, karena sekarang kamu sudah besar, kamu harus jadi obat untuk Inaq, jangan sampai kamu marah kepada Inaq karena kecewa dengan kondisi ini, jadilah pelita bagi hidup Inaq, karena hanya kamu harapannya, kepergiannya ke Malaysia juga demi masa depan kamu”. Kulihat Papuq menyeka sudut matanya yang mulai basah. Ah ,,, Papuq salah, aku tidak mungkin kecewa pada Inaq, justru aku semakin tahu siapa sebenarnya Inaq, aku semakin yakin akan cinta Inaq padaku walaupun tidak merawatku sejak kecil, aku semakin iba pada perempuan yang pernah kudiami rahimnya selama sembilan bulan itu. Baru saja kutahu bahwa ketika aku membebaninya dengan keberadaanku di perutnya, pada saat itu juga dia harus menanggung penderitaan karena ujian berat dalam rumah tangganya.

“Kamu tahu Mila?” Papuq menambahkan setelah menyeka sudut matanya.

“Bekerja di luar negeri adalah satu-satunya pilihan Inaq”. Kusimak dengan seksama kalimat demi kalimat yang kembali meluncur dari mulut wanita tua yang kusayangi itu. Katanya waktu itu aku baru berusia satu tahun, ada seorang teman Inaq yang merasa iba dengan kondisi kami, Inaq yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, dengan ijazah diploma keguruan, terlebih lagi punya anak bayi yang sangat butuh uang untuk biaya hidup, sedangkan Papuq Mame baru saja wafat yang sebelumnya menghabiskan banyak biaya untuk berobat sehingga Papuq terpaksa harus menjual sebidang tanah yang merupakan satu-satunya sumber mata pencaharian.

Waktu itu Inaq menyanggupi untuk ikut temannya mengadu nasib ke negeri Jiran Malaysia tapi setelah menyapihku. Ah … Inaq memang selalu mengutamakan kebaikan anaknya, beliau yakin bahwa menyapih anak setelah genap dua tahun adalah yang terbaik menurut kesehatan dan juga merupakan tuntunan Rasulullah.

Jadilah Inaq sebagai TKW di Malaysia setelah genap umurku dua tahun. Masa-masa perkembangan yang oleh pakar ahli perkembangan anak di sebutnya sebagai usia emas, kuhabiskan bersama wanita tua di hadapanku ini. Berangsur-angsur kondisi ekonomi kami membaik, uang kiriman Inaq lebih dari cukup untuk biaya hidup kami berdua. Papuq berinisiatif untuk memperbaiki rumah yang sebenarnya memang sudah tidak layak kami tempati, karena kalau musim hujan, kami kehujanan walaupun sedang berada didalam rumah.

Rumah yang cukup bagus untuk ukuran dikampung ini akhirnya kami tempati, sebidang tanah juga bisa kami miliki dengan kiriman uang dari Inaq. Ah … tapi semua itu belumlah membahagiakan, bukan berarti kami tidak mensyukuri nikmat, tetapi bisa kumpul bersama Inaq lagi adalah hal yang paling kami inginkan.

“Mumpung saya masih sehat dan mampu, biarlah Mila untuk sementara sama Papuknya aja”, selalu begitu jawaban dari seberang sana, ketika Papuq menanyakan tentang kapan Inaq akan pulang dan kembali mengasuh anaknya yang sudah bertaun-tahun merindukan kepulangan ibunya.

Sampailah berita tiga hari yang lalu, seorang teman Inaq menelepon. Inaq berada dirumah sakit, dan kepulangannya akan segera diurus oleh bosnya. Mendengar itu, pantaskah aku gembira mendengarnya? Ya … aku gembira bahwa Inaq akhirnya pulang, tapi aku juga sangat terpukul ketika mengetahui kepulangan Inaq karena sakit dan dipulangkan oleh bosnya. Aku tidak begitu mengerti dengan rasa ini, yang kulihat hanya Papuq yang sering murung dan kutahu jarang menyentuh makanan sejak berita itu kami terima.

Dari jendela kulihat mobil taksi berwarna biru berhenti di halaman rumah. Aku berlari keluar, kulihat papuq dan Owak memapah seorang wanita yang wajahnya tidak asing di mataku. Inaq ,,, yah Inaq pulang dalam kondisi sakit, tubuhnya kurus, wajahnya pucat.

Aku memeluk dan mencium kakinya. Petuah ustaz Salman, guru ngajiku yang kutelan mentah-mentah. Bahwa surga anak itu di bawah kaki ibunya, membuatku tak ragu untuk menunduk dan segera mencium kaki Inaq. Inaq menangis, memelukku dan menatap mataku dalam-dalam, seakan-akan tak percaya melihatku, putrinya yang ditinggalkan sejak sepuluh tahun lalu, ketika baru saja usiaku genap dua tahun.

Kubawa masuk ke dalam rumah koper kecil yang dibawa Inaq. Ada yang mengherankan dengan kepulangan Inaq. Dua minggu yang lalu, Owak Sani yang bekerja sebagai TKW di Arab Saudi itu pulang membawa dua buah koper besar, isinya macam-macam, lalu oleh-oleh itu dibagikan kepada semua tetangga dekat dan aku juga kebagian selembar sajadah berwarna coklat.

Begitu juga aku agak heran melihat tetangga-tetangga yang hanya melihat dari jauh kepulangan Inaq. Hanya Owak Nur dan Owak Siti, saudara kandung Inaq, yang mendekat dan ikut memapah tubuh lemah Inaq, sedangkan yang lain hanya memandang dengan tatapan aneh kepada Inaq yang turun dari taksi berwarna biru itu. Berbeda lagi dengan Owak Sani yang tangannya di perebutkan oleh ibu-ibu itu ketika baru pulang. Ah…tapi aku tidak peduli, yang penting sekarang Inaq sudah pulang dan malam ini aku tidur disamping Inaq, walaupun kondisinya sedang sakit, aku yakin tidak lama lagi Inaq akan sembuh.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpenmya, Bunda. Salam literasi

17 Feb
Balas

Terimakasih sudah mampir pak

17 Feb



search

New Post