Raodah.M.Nuh

Seoarang guru TK di TKN Pembina di Lombok Tengah, berkenalan dengan Media Guru bulan April 2017 lalu, perkenalan yang menghadirkan sejuta rasa, rasa semanis mad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Legenda Putri Nyale (Inaq Part10)

Legenda Putri Nyale (Inaq Part10)

Jalan macet, manusia tumpah ruah turun ke jalan. Terlihat arak-arakan muda mudi dengan dandanan bak raja dan ratu. Lengkap dengan dayang-dayang yang berhias dengan aneka aksesoris yang melengkapi baju adat Sasak yang mendominasi pakaian seluruh peserta karnaval budaya sore itu. Angkutan umum dengan warna biru yang mendominasi itu merayap dan kadang-kadang berhenti cukup lama. Aku dan Aida yang semula bersandar letih di dalamnya kini terjaga dengan penuh penasaran. Arak-arakan yang semarak dan menarik itu benar-benar menyita perhatian kami.

"Ini namanya karnaval budaya Bau Nyale, Aida." Aku menjawab keheranan Aida saat melihat spanduk-spanduk yang menjelaskan event tahunan di wilayah Lombok tengah ini.

"Oh ya ... aku baru lihat dari dekat acara ini. Ternyata menarik juga ya." Aida mengungkapkan kekagumannya. Tentu saja pemandangan ini menarik bagi siapa saja yang kebetulan berada di sana. Event tahunan yang menyedot perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara itu, adalah salah satu kebanggaan masyarakat Lombok tengah. Bagi Aida yang selama ini berdiam di pulau Lombok bagian timur, tentu juga merasa beruntung bisa melihat langsung perayaan budaya ini.

"Mila, benar gak sih kalau Putri Mandika itu bisa berubah jadi nyale?

"Entahlah Aida, aku juga tahu legenda itu sejak bangku sekolah dasar dulu. Nanti saja tanya Inaq ya, sepertinya beliau tahu banyak tentang kisah-kisah itu." Aku meyakinkan Aida untuk menanyakan hal itu sama Inaq saja nanti. Berbagai sumber di online juga sering kubaca tentang itu.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam." Berbarengan suara Inaq dan Papuq menjawab salam kami. Meski langsung menyembunyikannya dibalik senyum teduhnya, keterkejutan di wajah Inaq sempat tertangkap mataku. Bukankah kemarin sudah kukabarkan lewat telefon bahwa Aida akan menghabiskan waktu libur sekolah di rumahku dan Inaq menyetujui hal itu. Lalu kenapa kini Inaq terlihat terkejut saat melihat Aida pulang bersamaku? Ah ... mungkin aku salah lihat. Aku masih yakin kalau Inaq orang yang sangat baik pada siapapun, lebih-lebih terhadap anak yatim seperti Aida. Mungkin aku saja yang salah lihat. Inaq kan sedang kurang sehat, jadi wajar saja kalau raut mukanya kadang kurang enak dilihat.

Makan malam berempat terasa nikmat. Menu makan yang berbeda dengan yang biasa di pondok menjadikan makan malam kali ini istimewa.

Pes nyale, menu istimewa kami malam ini. Aida sedikit terkejut melihat di piring ada lauk yang mirip cacing itu. Tapi tak urung ia pun suka, walau sebelumnya sempat ragu untuk mencicipinya. Dari sanalah mulainya, legenda Putri Mandalika di kisahkan Inaq pada kami.

Pada zaman dahulu, di pantai selatan pulau Lombok, terdapat sebuah kerajaan yang bernama Tonjeng Beru. Kerajaan ini dipimpin oleh raja yang Arif dan bijaksana dan memiliki seorang putri bernama Putri Mandalika.

Kecantikan Putri Mandalika masyhur sampai ke pelosok kerajaan, bahkan ke kerajaan-kerajaan lainnya di pulau Lombok. Kecantikan Zahir sang putri yang dilengkapi dengan kecantikan budinya juga, membuat seluruh orang yang mengenalnya terkagum-kagum. Sang putri sangat mencintai rakyatnya. Sikap rendah hati dan ramah juga menjadikannya seorang putri yang tidak hanya di cintai rakyat tapi juga di kagumi pangeran-pangeran dari kerajaan lain.

Seiring waktu, sang putri beranjak dewasa. Kecantikan Zahir dan keluhuran budinyapun kian sempurna. Sejumlah pangeran dari kerajaan tetangga datang melamar Putri Mandalika untuk dijadikan istrinya. Sang Raja Tonjeng Beru sempat kebingungan untuk memilih calon suami untuk putrinya. Dengan bijak Sang Raja memanggil putrinya untuk mendiskusikan masalah ini. Tidak ada satu orangpun yang tahu siapa yang dipilih oleh Putri Mandalika untuk menjadi suaminya.

Seluruh rakyat diliputi rasa penasaran, lebih-lebih lagi pangeran-pangeran yang sudah mengirimkan lamaran. Demi menjawab rasa penasaran seluruh rakyat dan para pangeran, akhirnya sang putri memerintahkan seluruh rakyatnya untuk berkumpul di pantai Seger. Sebuah pantai di wilayah Lombok tengah bagian selatan.

Pada pagi buta yang dingin, bibir pantai tumpah ruah oleh seluruh rakyat Tonjeng beru. Semua sudah tak sabar menunggu kedatangan sang putri yang sudah berjanji untuk mengumumkan kepada seluruh rakyatnya, tentang keputusannya perihal lamaran para pangeran untuknya itu. Tanggal 20 bulan 10 penanggalan sasak, di pagi buta, saat matahari sebentar lagi akan keluar dari peraduannya. Muncullah sang putri dengan pakaian terindah yang selama ini tidak pernah dilihat oleh siapapun. Hal itu membuat kecantikannya semakin tampak. Rombongan sang putri dengan kereta yang dilengkapi pengawal dan dayang-dayang itu akhirnya mendekat ke bibir pantai.

Seluruh rakyat yang hadir pada saat itu terkesima saat mendengar suara merdu sang putri yang berpidato di hadapan seluruh rakyatnya.

"Wahai seluruh rakyatku yang sangat kucintai. Pagi ini dengarkanlah baik-baik, aku akan memberi tahu kalian bahwa aku menerima lamaran semua pemuda yang pernah datang kepada ayahanda untuk melamarku. Aku mencintai kalian semua dan aku tidak ingin terjadi pertumpahan darah di antara kalian. Aku ingin kalian tetap hidup damai dan sejahtera selamanya." Wajah sang putri terlihat murung saat mengucapkan kata-katanya itu.

Seluruh rakyat merasa heran dan tidak bisa memahami apa yang barusan disampaikan oleh sang putri. Perkiraan mereka, sang putri akan memberitahukan bahwa ia menerima salah satu dari sekian banyak lamaran yang telah datang kepadanya.

Saat seluruh rakyat yang hadir sedang kebingungan memikirkan maksud dari kata-kata sang putri barusan, mereka dikejutkan dengan sebuah kejadian yang sangat tak disangka itu. Sang putri terjun kelaut.

Serentak rakyatnya berenang dan menyelam untuk menyelamatkan sang putri, tapi anehnya, tubuh sang putri seperti tertelan air laut dengan ombak yang menggulung itu.

Kesedihan pun melanda seluruh rakyat. Putri kecintaan mereka hilang ditelan laut seger. Seluruh rakyat berduka, tak seorangpun yang beranjak dari bibir pantai meski matahari sudah menyembul dari balik bukit. Bahkan sebagian dari mereka terus menyisir pantai, tak sedikit juga yang menyelam hingga ke tengah, berharap mereka akan menemukan jasad Putri Mandalika.

Saat diliputi duka itulah, mereka dikejutkan oleh suara temannya yang sedang berenang menepi. Ada binatang sejenis cacing yang begitu banyak, bergumpal-gumpal seperti keluar dari dasar laut. Gerombolan cacing itu terus bergerak ke permukaan. Hal ini menarik perhatian mereka. Tangan-tangan mereka lalu bergerak cepat menangkap cacing-cacing laut itu.

Perasaan suka cita akhirnya menghinggapi hati mereka, hal itu karena mereka meyakini bahwa cacing laut yang kemudian mereka namai Nyale itu adalah jelmaan Putri Mandalika.

Nyale itu mereka bawa pulang lalu dimasaknya menjadi lauk. Itulah awal mulanya tradisi Bau Nyale yang terus dilestarikan menjadi budaya suku Sasak. Perayaan tradisi Bau Nyale itu lama kelamaan menjadi event kebanggan pemerintah daerah Lombok tengah. Berbagai macam acara digelar menjelang perayaannya. Konon, Nyale yang merupakan jelmaan Putri Mandalika atau sering juga disebut putri Nyale itu, digelar sekitar bulan februari atau Maret, disesuaikan dengan penanggalan sasak. Sebagian besar masyarakat suku Sasak mempercayai bahwa keluarnya Nyale di pantai bagian selatan Lombok ini, merupakan bukti kecintaan seorang putri kepada rakyatnya. Sang putri yang rela mengorbankan hidupnya demi kedamaian, menghindari pertumpahan darah dengan menceburkan dirinya ke laut tanpa menerima lamaran dari siapapun. Karena baginya, menerima lamaran dari salah satu pangeran hanya akan memicu peperangan di bumi Sasak ini.

Begitulah inaq mengisahkan kepada kami tentang Putri Mandalika atau Putri Nyale. Susana rumah yang tenang dan raga kami yang capek, akhirnya mengantarkan kami kedalam lelap yang mendamaikan. Istirahat yang cukup, sampai akhirnya aku terbangun dan mendapati Aida masih lelap disampingku, sedangkan inaq … mungkin sedang ada tamu di depan.

“Dalam hal ini tentu kamu lebih pandai dibanding aku dek, biarkan saja Nurul di sini barang beberapa minggu, mumpung Mila juga sedang ada di rumah, sambil aku memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa terbebas dari laki-laki si tukang kawin itu.”

Tanpa sengaja aku mendengar suara seorang wanita sebaya Inaq sedang berbicara serius dengan Inaq di ruang tengah. Aida yang juga ternyata sudah terbangun, memandangku dengan mengernyitkan dahi, akupun mengangkat bahu, sebagai pertanda bahwa kami sama-sama tidak mengenal wanita yang menjadi tamu Inaq itu. kulihat wanita itu tidak sendiri, ada anak perempuan seusiaku yang sedari tadi hanya menunduk mendengar orang tuanya berbicara serius. Jilbab hitam yang rapi memberi kesan ia anak madrasah. Selama ini yang kulihat hanya anak madrasah atau santri yang kerap memakai jilbab segi empat yang pakaikan kancing, yang memakai jilbab seperti itu.

“Mila, sini nak. Aida ayo sini.” Inaq melihat kearah kami yang sebenarnya akan beranjak ke dapur membereskan bekas masak tadi pagi. Aku juga tak terbiasa menguping pembicaraan orang tua, juga tak akan ikut nimbrung jika ada tamu, kecuali kalau Inaq mengajakku untuk ikut menemani tamunya.

“Ini Wa’ Minah, teman Inaq dari Penujak,” Inaq menyebut sebuah desa di bagian Lombok selatan yang merupakan tempat tinggal sahabatnya itu.

“Oh ya, ini Nurul anaknya Wa’ Minah. Ayo kenalan dulu kalian bertiga.” Inaq menjelaskan juga bahwa Nurul akan tinggal di rumah kami beberapa hari ini.

Tak butuh waktu lama, kami bertiga langsung akrab. Mungkin karena kami sama-sama anak santri, jadi kami dengan mudah menyesuaikan diri satu sama lain. Nurul nyantri di madrasah yang tidak jauh dari rumahnya. Karena madrasah dan rumahnya hanya jarak puluhan meter, Nurul tidak menginap di Pondok, ia diijinkan tetap tinggal di rumah dan hanya datang ke pondok mengikuti kegiatan siang. Lagi pula pengurus pondok sangat memaklumi kondisi perekonomian keluarganya. Nurul anak yatim yang hanya tinggal bersama ibunya. Ayahnya meninggal saat ia masih bayi. Banyak kudengar kisah sedih tentang keprihatinan hidup yang ia jalani dengan ibunya. Aku dan Aida mendengar penuturan Nurul dengan perasaan tercabik. Bagaimana tidak, kami yang selama ini sering mengeluh akan kenyataan hidup yang kadang tidak seperti yang kami mau, kini kisah Nurul menampar kami, mendongkrak rasa syukur yang kemarin sempat surut.

“Sebenarnya Nurul di titip di sini karena sedang dipilu kok Mila.” Inaq tiba-tiba membicarakan Nurul saat aku membantunya mengoleskan minyak kayu putih ke punggungnya. Inaq pagi ini memang sedang kurang enak badan. Aku beberapa kali mengurut punggungnya, batuknya kadang datang tanpa jeda. Hal itu yang paling membuatku ingin menangis, melihat Inaq menderita saat batuknya kambuh.

Aku biarkan Aida dan Nurul sibuk di dapur berdua. Papuq sedang istirahat di kamarnya dan aku menemani Inaq sejak selesai subuh tadi, memijit-mijit jari kakinya dan sesekali mengurut punggungnya.

“Mudah-mudahan dengan tinggal disini beberapa hari, masalah yang sedang ia hadapi segera selesai.” Aku masih belum mengerti maksud Inaq. Masalah apa yang sedang dihadapi Nurul dan keluarganya, kenapa sampai harus meninggalkan rumah dan dititip di sini oleh ibunya? Pertanyaan-pertanyaanku akhirnya menemukan jawaban setelah aku mendengar panjang lebar cerita Inaq tentang masalah yang sedang dihadapi Nurul dan keluarganya.

Nurul, gadis belia yang belum genap limabelas tahun. Kondisi ekonomi yang membawa hari-harinya harus bertemu dengan Ma’rif, seorang laki-laki limapuluhan tahun, pengusaha hasil bumi yang sukses sejak belasan tahun lalu.

Berawal dari hutang beras ibunya Nurul kepada Ma’rif yang tak bisa dilunasi tepat waktu. Ma’rif cukup baik menerima permohonan maaf Ibunya Nurul yang berjanji akan membayar utangnya dengan mengabdikan diri bekerja di sawah Ma’rif untuk mencicil utangnya. Rupanya nasib baik menghampiri Nurul dan Ibunya. Ma’rif dan keluarganya memperlakukannya dengan sangat baik. Utangnya dianggap lunas dan setiap hari ia diberikan upah bekerja yang sesuai. Tak hanya itu, isterinya Ma’rif juga berlaku baik pada Nurul, mungkin karena melihat Nurul yang yatim sejak bayi, ditambah karena tak memiliki anak perempuan, maka perlakuannya kepada Nurul seperti anak kandung sendiri. Nurul di biayai sekolah dan diberikan pakaian dan perhiasan serta ditanggung beras setiap minggu. Lama kelamaan Nurul dan ibunya mengantungkan hidup pada pemberian dari keluarga Ma’rif. Ibunya Nurul tak segan lagi meminta beras dan kebutuhan lainnya kepada Ma’rif yang tentu saja di berikan lebih dari yang dibutuhkan. Nurul dan Ibunya hidup cukup dari pemberian Ma’rif.

Hari berganti, perlakuan kelurga Ma’rif kepada Nurul dan ibunya mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Berawal dari keinginan Ma’rif untuk memperistri Nurul yang diutarakannya kepada Ibunya Nurul.

“Pak Ma’rif harus bicarakan hal ini kepada istri bapak, saya tidak mau terjadi masalah dikemudian hari. Saya juga tidak enak hati sama beliau, beliau sudah sangat baik pada kami, terutama Nurul yang sudah beliau anggap anak sendiri.” Itu adalah jawaban pamungkas dari Ibunya Nurul, ia sudah kewalahan menghadapi Ma’rif yang terus mendesaknya untuk merestuinya memperisti Nurul. Ibunya Nurul sengaja mengajukan syarat itu karena ia tahu pasti kalau isteri pertamanya tidak akan mau dimadu, lebih-lebih dengan Nurul.

Nurul terus menyeka air matanya yang sudah tak mau berhenti mengalir sejak dua hari yang lalu. Gadis belia itu sangat ketakutan, ia tidak pernah mau keluar rumah sejak peristiwa itu.

“Benar-benar tidak tahu diri, kurang apa saya sama kamu selama ini hah …, saya kira kamu gadis baik-baik. Jadi begini didikan ibumu selama ini, sengaja menghiba didepan keluargaku untuk menarik simpati, lalu di belakang menyusun rencana jahat untuk menghancurkan keluargaku. Ingat Nurul, kamu jangan mimpi untuk bisa menjadi isteri kedua dari suamiku, kalau sampai di belakangku kalian menikah diam-diam, saya bersumpah akan menghancurkan hidup kamu dan juga Ibumu.”

Kemarahan yang Nampak jelas di kedua mata Zulaeha, isteri Ma’rif yang ternyata baru mengetahui bahwa suaminya jatuh hati pada anak angkatnya itu. Nurul benar-benar terkejut menghadapi semua ini. Kebaikan demi kebaikan dari Zulaeha yang selama ini kadang ia rasa terlalu banyak ia terima, membuatnya hampir tak percaya. Saat Ibu angkatnya yang sangat baik itu tiba-tiba menyumpahinya dan tak menghentikan sumpah serapahnya walaupun tetangga sudah berdatangan karena penasaran mendengar suara ribut-ribut di rumah Nurul. Tak urung, sejak saat itulah Nurul dan ibunya menjadi bahan gunjingan para tetangga. Ibu yang tega menjual anaknya, Ibu yang matre, perempuan yang tak tahu balas budi dan berbagai macam label negatif yang disematkan pada nama Nurul dan Ibunya.

Nurul jatuh sakit karena tertekan dengan masalah ini. Ibunya membawanya ke tempat saudaranya yang berada di luar desa. Beberapa hari Nurul mendapat perawatan di sana. Nurul menjadi sedikit tenang karena gunjingan tetangga sudah tak ia dengar lagi. Namun ketenangannya tak berlangsung lama. Ma’rif menyusul kesana dan lagi-lagi mengutarakan isi hatinya. Nurul kembali tak tenang. Ia sering menjerit-jerit saat tengah malam. Ia benar-benar tersiksa karena merasa dihantui terus oleh Ma’rif dan isterinya. Ibunya hanya terduduk menangis memohon maaf pada anak semata wayangnya, rasa bersalah yang mendalam ia rasakan. Rasa bersalah karena ketakberdayaannya menghadapi kemiskinan yang membawa anaknya dalam kondisi seperti ini. Penyesalan yang sangat, menyesal karena pernah menggantungkan hidupnya pada manusia, menerima pemberian yang berlebihan dari keluarga Ma’rif yang akhirnya kini menuntut balasan.

Mengungsikan Nurul ke rumah kami adalah pilihan yang dianggap tepat untuk saat ini. Keberadaan Nurul di sini diharapkan tak akan di ketahui Ma’rif. Ibunya Nurul adalah teman lama Inaq yang jarang dikunjungi Nurul dan Ibunya, jadi kemungkinan besar tak akan di ketahui oleh Ma’rif.

Inaq mengusap kepalaku penuh kasih.

“Terlalu bergantung pada pemberian orang itu tak baik Mila, kerja keraslah untuk membiayai hidup sendiri. Allah tidak mungkin akan membiarkan kita kelaparan. Hiduplah sesuai keadaan, jangan berharap sesuatu melebihi kemampuan kita, jika tidak mau menjadi beban pada akhirnya.”

“Kasihan Nurul ya Inaq. Biarkan saja ia tinggal disini untuk sementara, Mila tak bisa bayangkan betapa gelisahnya ia berhadapan dengan Pak Ma’rif dan juga isterinya itu.” Inaq kembali mengusap kepalaku mendengarnya.

Aku merapikan selimut Inaq, memintanya untuk istirahat. Kucium wajahnya yang sudah hampir terlelap sambil bergumam, aku sangat beruntung menjadi anakmu Inaq, Inaq yang kuat menghadapi ujian hidup ini, begitu kuatnya side, hingga aku tak pernah merasakan adanya mudharat dari setiap keputusan dan langkah yang kau pilih. Perlahan kudengar dengkuran pelan dan akupun mengucap kalimat hamdalah.

Bersambung ...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ceritanya bunda ditunggu kelanjutannya, salam literasi dan sukses selalu

13 Apr
Balas



search

New Post