Raodah.M.Nuh

Seoarang guru TK di TKN Pembina di Lombok Tengah, berkenalan dengan Media Guru bulan April 2017 lalu, perkenalan yang menghadirkan sejuta rasa, rasa semanis mad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Saat menjadi Raja, Tentara dan Sahabat (Inaq, Part 7)

Saat menjadi Raja, Tentara dan Sahabat (Inaq, Part 7)

Ibu, kaulah wanita yang mulia

Derajatmu tiga tingkat dibanding ayah

Kau mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, mengasuh serta membesarkan putra putrimu Ibu.

Do'anya terkabulkan

Keramat di dunia

Kutuknya kenyataan

Wahai anak jangan coba durhaka

Jelas terdengar lagu kasidah itu, membuat langkahku terhenti sejenak.

"Sudah pulang sekolah ya," suara Wa' Itan yang menengok dari jendela di depanku cukup mengagetkan.

"Eehh ... Iya Wa'. Kasidahnya bagus Wa', aku suka dengarnya."

"He ... he ..., ayo mampir dulu. Kenapa pulang sekolah sendiri? Wa' liat teman-teman kamu sudah pulang duluan dari tadi."

Wa' Itan salah satu dari beberapa tetanggaku yang selalu bersikap ramah padaku. Rumahnya berada di pinggir jalan besar yang kulalui setiap hari, saat aku berangkat ke sekolah ataupun ke tempat ngaji.

Yah ... siang ini memang aku pulang sekolah agak telat. Teman-temanku sudah pulang duluan sejak tadi. Itu karena kertas biodata siswa belum kukembalikan setelah tiga hari yang lalu diberikan dan harus diisi.

Suatu malam menjelang tidur, pernah aku berniat membicarakan itu dengan Inaq. Aku harus tahu identitas ayahku dengan lengkap. Ada beberapa administrasi menjelang pelaksanaan ujian nasional yang harus kuisi. Namun suara batuk yang berat dan terdengar menyiksa, mengurungkan niatku. Aku tidak mau membebani Inaq dengan pertanyaan-pertanyaan sensitif itu disaat ia sedang sakit.

"Kok bengong, ayo sini mampir dulu."

"Eh ... terimakasih Wa', aku pulang dulu, takut Inaq khawatir."

"Ya sudah, hati-hati ya Mila. Oh ya bagaimana dengan Inaq kamu, masih sakit ya?" Kulihat wajah Wa' Itan sangat khawatir. Aku menjadi semakin heran. Kenapa semua orang yang peduli dengan kami sangat mengkhawatirkan penyakit Inaq, bukankah Inaq hanya sakit ringan? Batuk kan biasa di alami oleh siapa saja dan bagiku itu penyakit ringan. Apakah mereka mengira kalau Inaq positif terserang virus yang kini isu santernya merebak dimana-mana? Kenapa Papuk sama Inaq tidak berusaha menjelaskan kepada tetangga-tetangga kalau Inaq tidak terinveksi virus itu? Lagian tidak masuk akal, jika Inaq positif terkena virus itu, tentu perjalanan pulangnya tidak akan selancar ini. Seperti yang pernah kudengar, jangankan untuk keluar masuk ke Negara lain, untuk keluar rumah saja tidak dibolehkan. Ah … akupun mempercepat langkah saat jarak rumah semakin dekat.

____&&&&_____

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."Rupanya Inaq sedang ada tamu. Wa' Nilem tersenyum hangat padaku yang mencium tangannya.

"Anakmu sudah besar ya Mila. Tidak terasa begitu cepat waktu berlalu." Inaq tertawa mendengar kata-kata Wa' Nilem yang diucapkan seperti orang sedang membaca puisi. Entah mengapa, Wa' Nilem mengucapkan kalimat itu dengan memandangku lekat. Ada riak di matanya.

"Kalau kamu beruntung Asiyah. Anakmu tumbuh menjadi anak sholehah, tidak seperti Syamsuddin putraku."

"Tidak boleh putus asa begitu Nilem." Inaq tidak melarangku mendengar pembicaraan mereka. Malahan memberikan kesempatan padaku untuk berbaring berbantal pahanya. Jelas kudengar helaan napas Wa' Nilem sebelum melanjutkan cerita tentang putra semata wayangnya.

Putranya yang memiliki jalan hidup mirip denganku. Ditinggalkan oleh ibunya ke luar negeri untuk mencari nafkah. Sejak usia tiga tahun ia hanya dirawat dan dibesarkan oleh bapaknya. Ibunya hanya pulang lima kali dalam dua belas tahun ini.

"Dia sama sekali tidak mau menghiraukan aku dan juga bapaknya. Hampir semua perintah kami tidak pernah ia laksanakan. Begitu juga apapun kami larang selalu ia kerjakan." Wa' Nilem memperbaiki letak duduknya dan bersandar di dinding. Mungkin dalam pikirannya, dengan duduk bersandar pada dinding, beban batinnya akan sedikit berkurang.

Suara azan dari masjid yang tak jauh dari rumah mengagetkan kami. Dengan ramah Inaq mengajak tamunya untuk menunaikan shalat Zuhur dulu.

Sholat zuhur bejamaah berempat, wa’ nilem, papuq dan aku mengikut di belakang Inaq yang menjadi imam menunaikan empat rakaat shalat zuhur. Setelah itu aku membantu Inaq menyiapkan makanan sederhana di ruang tengah. Wa' Nilem tersenyum dan untuk kesekian kali memujiku.

"Persis seperti kamu waktu gadis ya Ais, rajin dan sopan."

"Alhamdulillah, Papuq mendidiknya dengan baik. Itu yang sekarang kadang mengganggu pikiranku. Anakku tumbuh dan berkembang dengan baik, tapi bukan tanganku yang menjadi wasilahnya. Sering menjadi hayalanku saat kita masih sama-sama di rantauan, aku sebagai Ibunya yang mengajari anakku mengaji pertama kali. Namun ternyata itu hanya ada dalam hayalan kita ya."

"Oh ya ... mari kita makan dulu, nanti kita sambung curhatnya ya." Inaq cepat menyuguhkan makan siang yang sempat tertunda karena acara berbagi kisah dari dua orang sahabat itu tak juga berjeda. Akhirnya kamipun menikmati makan siang bersama.

"Kita belum terlambat Nilem. Cobalah lebih banyak bersabar dan tak lupa perbanyak do'a."

"Usianya sekarang hampir lima belas tahun Ais. Aku tidak pernah melihatnya shalat kecuali setelah kumarahi."

"Aduh .... Kurasa kelirunya di situ Nilem. Anak usia lima belas tahun dimarahi?"

"Nil ..., kamu mungkin lupa. Sayyidina Ali Karramallahu wajhah, pernah mengajarkan kita tentang fase mendidik anak. Pada usia tujuh tahun pertama, perlakukan ia bak tuan raja. Kapanpun ia inginkan kita, kita harus ada untuknya. Usia tujuh tahun kedua, terapkan disiplin yang ketat, bak melatih seorang prajurit. Namun di usia tujuh tahun ketiga, tempatkan mereka sebagai sahabat kita, apapun masalahnya, ajak berdiskusi dengan baik."

Panjang lebar diskusi mereka tentang pendidikan anak. Namun aku menjadi ikut terharu, saat perbincangan mereka berakhir dengan keharuan yang mendalam.

"Aku juga tidak bisa mendampingi anak semata wayangku di tujuh tahun pertama dan setelahnya. Ia tumbuh dalam pendampingan neneknya dan aku merasa tidak beruntung dalam hal ini." Kulihat ada mendung tebal di mata Inaq.

"Semua sudah lewat Ais. Walau bagaimanapun, kamu tetap lebih beruntung daripada aku."

"Mari kita sama-sama saling menguatkan Nil, mudah-mudahan kita dianugerahi kekuatan oleh Allah untuk melalui semua ujian ini."

_________________________________________________

PoV: Aisya (Inaq)

Praaaakkk ..., pigura jatuh tak terelakkan. Alhamdulillah tidak sampai pecah. Kupungut segera foto itu.

Anakku kelihatan cantik dengan gamis putih serta selempang bertulis namanya itu. Waktu itu aku minta ijin seharian untuk cuti. Bos orangnya baik. Begitu aku cerita kalau hari ini adalah hari bahagianya anakku, mengikuti wisuda hafalan Qur'an lima juz, bos memberiku ijin untuk free sehari.

Bu Indah isterinya Salman, berbaik hati membantuku untuk menyaksikan acara itu lewat WhatsApp video.

"Peserta kelima atas nama Milatri Nur Maliha binti Abdul Ahad. Suara merdu pembawa acara itu memancing luruhnya titik-titik bening yang menggantung di sudut netra. Nama ayah yang tak pernah kau ketahui keberadaannya itu, akhirnya tersemat di belakang namamu sebagai peserta wisuda Penghafal Qur'an. Rasa syukurku tak mampu terucap, kelas empat Sekolah Dasar, kemampuan hafalan lima juz bisa di uji.

Kulihat senyummu mengembang, berjalan ke depan panggung. Di depan penguji kau jawab tanpa ragu beberapa soal yang diajukan oleh dewan penguji ataupun hadirin yang juga diberikan kesempatan menguji hafalanmu. Ucapan hamdalah dari guru ngajimu mengiringi langkah kakimu menuruni panggung.

"Assalamualiakum." Suara salam membuyarkan lamunanku.

Cepat kuhapus mataku yang basah, buru-buru merapikan barang-barang yang berserakan lalu beranjak keluar kamar menemui si empunya salam.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi."

"Eh ... ternyata kamu Tin. Ayo masuk, aku sendirian di rumah, papuq ke tempat Wa' Nur dan Mila belum pulang sekolah."

"Mila pasti sangat bahagia sekarang ya kak, sudah bisa bersama lagi dengan Inaq." Martini saudara sepupuku menyeruput teh hangat yang ku suguhkan.

"Iya dek, mengasuh dan menemani anaknya hingga dewasa adalah impian semua Ibu."

"Oh ya kak, kemarin Mila mampir ke tempatku waktu pulang ngaji. Ia cerita tentang biodata lengkap siswa yang belum ia isi. Mila anak yang sangat pengertian kak, ia tidak mau membebani pikiranmu. Sebenarnya ia ingin bertanya padamu tentang identitas ayahnya untuk melengkapi pengisian biodata siswa itu. Namun menurutnya hal itu akan membebani pikiranmu saat kondisimu sedang kurang sehat."

Aku tersentak mendengarnya. Pantas saja dari kemarin ia terlihat bingung. Seperti ada yang mau ia bicarakan padaku, tapi saat kutanya ia hanya menggeleng.

Kegundahanku kutumpahkan di depan adek sepupuku yang sangat peduli pada kehidupan kami itu. Bagaimana caranya mendapatkan foto copy KTP ayahnya Mila?. Sejak dulu aku tidak berniat menyimpan barang apapun miliknya. Aku hanya menyimpan Akta Nikah kami yang kutahu itu akan sangat dibutuhkan oleh Mila kelak. Surat cerai ? Kami tak memiliki itu, perceraian kami sah dengan ucapan talak raj'i yang disampaikan ayahnya Mila melalui perantaraan seorang kerabatnya. Itupun ia sampaikan setelah sebelas bulan menggantung statusku. Menghilang tanpa pernah menengok kami tapi dengan tidak menjatuhkan talak padaku.

"Sebaiknya kak Ais temui kepala sekolahnya Mila, minta waktu untuk melengkapi berkas-berkas itu. Mudah-mudahan saja beliau bisa menunjukkan solusinya."

Akupun menyanggupi usul Martini itu.

Ah ... kenapa rasa bersalahku pada Mila semakin menjadi. Rasa bersalah yang mengundang rasa aneh yang lain. Dulu teman-temanku memberikan saran untuk mempertahankan rumah tangga bak neraka itu, demi kebahagiaan buah hatiku. Tapi apa mungkin anakku akan bahagia jika setiap hari melihat penyiksaan lahir batin yang dilakukan ayahnya padaku. Namun jika seorang wanita nekat bertahan dalam kondisi itu, tetap saja ia tidak bisa berbuat apapun jika talak sudah di jatuhkan oleh seorang suami.

Hatiku kembali bertanya-tanya. Sebenarnya ayah Mila sekarang ada dimana, kabarnya menghilang begitu saja sejak kepergianku ke negeri Jiran sepuluh tahun lalu. Kabar terkahir yang kudengar ia menikah dengan seorang gadis belia, tapi pernikahannya itu juga tidak bertahan lama. Itu artinya ada perempuan lain yang juga mendapat ujian serupa denganku. Kemungkinan juga ada anak lain saudara seayah dari Mila yang senasib.

Ah ... aku tidak ingin lama-lama memikirkan hal itu. Lebih baik aku segera menemui kepala sekolahnya Mila untuk mengurus kelengkapan administrasi siswa yang akan lulus. Mudah-mudahan aku bisa membahagiakan anak semata wayangku, titipan Tuhanku yang Maha Agung, walaupun dengan kondisi yang berat ini.

Bersambung ...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

02 Apr
Balas

Terimakasih sudah mampir pak Dede

03 Apr

Cerita yang menarik

02 Apr
Balas

Alhamdulillah, salam literasi Bu Risma

03 Apr



search

New Post