Raodah.M.Nuh

Seoarang guru TK di TKN Pembina di Lombok Tengah, berkenalan dengan Media Guru bulan April 2017 lalu, perkenalan yang menghadirkan sejuta rasa, rasa semanis mad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Seayah

Seayah

Langit Juli menemani langkahku. Mendung, kadang tebal menghitam, tak jarang juga ia hujani bumi dengan titik-titik kecil nan ramai tanpa pekat mendahului. Perkiraan memang hujan hingga Maret, tapi tak tahu kenapa, Juli juga mendung bahkan hingga akhir bulan.

Kunikmati sinar mentari yang nekat menerobos celah-celah air yang jatuh ke tanah. Pemandangan tak biasa, indah di mataku hingga enggan kutinggalkan bangku kayu depan pondok Maryam, gurfah yang kudiami bersama Aida dan dua orang temanku lagi, Siti dan Malihah.

"Mila, masih betah di luar ya? Kami mau tutup pintu loh, lebih baik di dalam, kita marawisan sambil makan kuaci." Suara serak Siti memanggil dari dalam gurfah.

"Iya sebentar," sambil mengedipkan sebelah mata, aku kasih isyarat teman karibku itu untuk segera masuk dan meninggalkan aku sendiri, duduk menikmati suara rintik hujan di atas daun lebar bunga cempaka.

"Kak Mila kenapa?" Aida muncul dari pintu. Kulihat ada raut khawatir di wajahnya saat melihatku terpaku menantang dinginnya udara di luar. Dia memanggilku dengan panggilan kakak, panggilan yang entah kenapa selalu membuatku merasa ada ikatan dengannya. Sejak Inaq ikrar pada kami, bahwa beliau bersedia menjadi ibu angkatnya Aida, saat itu Aida masih terpuruk dalam kesedihan mendalam atas kepergian ibunya. Satu hal yang masih menjadi tanda tanya di benakku. Ayah Aida kemana? Pertanyaan yang pernah kulontarkan pada Inaq, namun tak kutemukan jawaban, entah mengapa, Inaq seperti tak ingin membicarakan hal itu.

Ah ... pikiranku melayang ke saat itu.

"Kok bisa nama ayah kita sama persis ya Aida?"

"Itu tandanya nama Abdul Ahad itu nama yang bagus, banyak yang suka." Sambil tersenyum Aida menjawab pertanyaanku dengan riang. Sungguh hal itu yang membuatku langsung merasa akrab dengannya sejak pertama kali bertemu di pondok ini. Keakraban kami yang tak berubah hingga lima tahun kini. Bahkan semakin akrab setelah kami menjadi saudara angkat.

"Aida juga boleh panggil Inaq ya, karena Aida juga bisa kok jadi adeknya Mila. Ya kan Mila?" Inaq meminta persetujuanku untuk mengangkat anak dari teman lamanya yang sudah wafat itu.

Pikiranku sepertinya masih belum mau beranjak dari sana.

"Inaq, Mila kan sudah besar sekarang, apa boleh menanyakan sesuatu sama Inaq?" Kuberanikan diri setelah beberapa kali mengucap bismillah.

"Mila mau tahu tentang hal apa?" Senyum khasnya selalu melekat di wajah teduhnya.

"Apakah tiang sama Aida itu saudara ... seayah?" Tak urung bibirku gemetar juga saat mengucapkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang sebenarnya sudah lama ingin kuutarakan, sejak pertamakali aku lihat biodata Aida saat murid baru. Cerita tentang ayahnya Aida yang pergi entah kemana sejak Aida masih bayi, sama persis seperti kisahku yang kudengar dari orang-orang di sekelilingku. Hingga tiba saatnya malam itu, saat aku pulang libur semester. Saat menjelang tidur adalah saat yang kurasa tepat untuk berbicara serius dengan Inaq. Kebetulan juga Aida sudah mendengkur di kamar sebelah.

"Mila, banyak hal dalam hidup ini yang menuntut kita untuk perbanyak sabar dan perluas syukur, tak semua harus kita pahami, namun semua wajib kita syukuri." Inaq membelai kepalaku. Menghentikan kalimat panjangnya untuk menyempurnakan senyum indah yang selalu mampu membuatku tenang. Aku terdiam dan menunggu kelanjutan kata-kata yang akan keluar dari mulut wanita terkasihku itu.

"Dina adalah sahabat Inaq sejak kelas satu Tsanawiyah dulu. Ia tak hanya cantik wajahnya, namun juga akhlaqnya. Dulu ada ustaz kami yang menaruh hati padanya, namun ia menolak dengan halus. Alasannya belum ingin menikah, mau mengabdi kepada orang tua angkatnya dulu setelah tamat Aliyah." Kupandangi lekat wajah Inaq yang beberapa kali menghembuskan napas saat menceritakan masa lalu sahabatnya itu.

"Kami tidak pernah bertemu sejak keluar dari pondok. Pertama kali bertemu saat mengantar kalian menjadi santri baru beberapa tahun yang lalu. Saat itu kami bertukar kisah perjalanan hidup setelah berpisah dulu hingga akhirnya bertemu kembali saat anak-anak kami sudah menjadi santri di pondok kami yang dulu. Kami bercerita tentang perjalanan hidup termasuk tentang rumah tangga kami yang sebenarnya serupa bahkan hampir sama persis likunya. Yang paling mengejutkanku, adalah saat kami tahu bahwa ayahmu yang dulu pergi meninggalkan kita saat kamu masih bayi ... ternyata pergi untuk menikah dengan Dina, teman Inaq sendiri yang adalah ibunya Aida." Ya Allah, Inaq menunduk dalam-dalam saat menuntaskan kalimatnya di hadapanku. Entah seperti apa warna hatinya saat itu. Aku tidak tahu persis. Yang aku tahu, ini adalah kali kedua kulihat mendung setebal itu di matanya. Pertama kali, saat ia baru pulang menjadi TKW saat aku masih berusia duabelas tahun. Saat itu inaq pulang ke kampung halamannya setelah merantau selama sepuluh tahun ke negeri Jiran untuk mencari nafkah. Sampai di rumah, tidak ada tetangga yang berlaku baik padanya. Ia dikucilkan karena menganggap Inaq pulang membawa penyakit kotor dari luar negeri. Memang saat itu Inaq pulang dalam kondisi sakit. Namun setelah sebulan dirumah, barulah terkuak bahwa sebenarnya Inaq tidak menderita penyakit menakutkan seperti yang mereka sangkakan, hanya penyakit radang paru-paru yang merupakan penyakit yang ia derita karena kelelahan bekerja sebagai asisten rumah tangga selama puluhan tahun.

"Milatri Zatunnitaqaini anakku sayang," aku tersentak mendengarnya menyebut nama lengkapku. Tumben, mungkin karena ia ingin membicarakan hal yang sangat penting padaku.

"Sekarang giliran Inaq yang akan menanyakan satu hal penting padamu," aku memandang lekat wajah cantiknya, siap mendengar pertanyaan penting dari mulut wanita Sholehah panutanku itu. Akupun mengangguk memberikan isyarat bahwa aku siap mendengar kalimat apapun dari mulutnya.

"Setelah mendengar cerita Inaq tadi, apakah Mila benci sama Aida dan Ibunya, atau Mila benci sama ayah?" Pertanyaan itu cukup mengejutkanku. Sungguh lidahku kelu untuk berucap, padahal berbaris-baris kalimat jawaban ingin kuucapkan.

Inaq, apakah pantas aku membiarkan rasa benci bertunas di hatiku, saat kulihat betapa senyum ikhlasmu selalu mengembang saat menghadapi ujian demi ujian dalam hidupmu. Apakah elok kumenaruh benci pada Aida, adekku yang tak pernah kutahu sebelumnya. Sementara wajah teduhmu selalu terlihat bercahaya, saat kau bertemu Aida dan ibunya, saat Aida bertandang kerumah kita, kau perlakukan baik seperti tamu kita yang lain. Bahkan kau dengan penuh kasih membujuk Aida untuk tinggal di rumah ini, saat Aida kehilangan ibunya. Pun kemarin kulihat pemandangan yang membuat basah kelopak mataku, kau minta Aida untuk memanggilmu Inaq, karena kau ikrar dihadapannya untuk menjadi pengganti almarhum ibunya. Tak pantas rasanya, tak pantas aku menaruh dendam pada siapapun, termasuk ayah, karena aku adalah anakmu yang kau didik dengan cinta tanpa benci apalagi dendam.

Aku merebahkan kepala di pangkuannya. Aku tak mengucapkan dengan lisan jawaban dari pertanyaannya itu. Aku hanya menjawabnya dalam hati, karena ku yakin, Inaq sudah hafal setiap nyanyian hatiku yang berdendang dengan sangat pelan sekalipun.

Suara titik hujan itu masih menemani soreku. Ah ... aku semakin menyukainya. Bukan karena baiknya yang selalu mengirim wangi tanah basah ke hidungku. Bukan juga karena dinginnya yang selalu mampu meredam terik. Tapi lebih dari itu. Dia jujur, bahkan teramat jujur. Suaranya jujur saat ia jatuh di hamparan air kolam, tak kan ia samakan suaranya saat ia menimpa kaleng bekas dan saat ia hadir di atas atap genteng dari tanah liat dengan di atas atap kanopi. Ia sangat jujur dengan suaranya.

"Kak Mila masih diluar? Dingin loh kak," Aida nongol dari arah pintu.

"He he ... tidak apa-apa Da, dinginnya asyik kok." Kujawab riang meski kurasa hatiku sedang sedikit lembab.

"Kak Mila mikirin apa?, apa ada masalah? Aida boleh tau ya kak!" Aida memang selalu begitu, bersikeras agar pertanyaannya dijawab jujur. Tapi tentu tidak bisa selalu jujur jika aku menjawabnya. Seperti kali ini, bagaimana perasaannya jika aku jujur bahwa aku sedang memikirkan tentang hubungan kakak beradik antara aku dan dia. Hubungan yang awalnya membuat hatiku lebam bak luka jatuh di atas aspal. Aku adalah manusia biasa, jangan heran jika awalnya aku menolak Aida menjadi adekku. Bagaimana tidak, wasilah kelahirannya adalah serupa badai ganas yang menghantam rumah tangga Inaq. Memporak-porandakannya hingga puing-puing kehancuran itu sempat mengabadi di palung jiwaku hingga kini.

"Kak Mila mikirin Inaq ya?" Terkaan Aida bisa tak meleset begitu. Mau tak mau akhirnya aku mengukir senyum untuk menyenangkan hatinya.

"Aida pernah berjanji pada diri sendiri dan juga selalu memohon pada Allah untuk mengijinkan Aida tunaikan janji itu."

"Janji? Janji apa dek? Kak Mila boleh tahu?" Ia menghela napas, lalu menatap lekat ke mataku sebelum pandangannya benar-benar kabur oleh titik-titik bening yang menghampiri kelopak matanya. Ia membuang pandangan ke arah pohon jambu kristal yang kedinginan di atas pot semen cantik bercat merah saga. Ah ... apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya. Terasa jarum jam mendadak berhenti bergerak saat harus menunggunya menyeka sudut mata, lalu menghela napas beberapa kali hingga dada terasa kuat mendukung lisan yang hendak berucap.

"Aida akan berusaha kuat untuk khatam tigapuluh juz sebelum kenaikan kelas, Aida akan berusaha kuat agar hafalannya muthqin hingga bisa mengikuti wisuda tiga bulan lagi." Bibirku benar-benar kelu mendengarnya. Aku baru mengerti kenapa ia memilih keluar dari group marawis pondok putri dua bulan lalu. Rupanya ia sedang kejar setoran hafalannya. Kemarin juga ia memilih tak pulang saat libur semester gasal. Aida ... motivasi apa yang pecuti semangatmu dek ....

"Kak Mila tahu kenapa Aida sangat semangat untuk segera khatam tigapuluh juz?" Aku tak menjawabnya, hanya menatap binar di sela-sela kabut yang menutupi kelopak matanya.

"Kita tak pernah tahu jatah usia yang kita miliki ya kak. Aida ingin, sebelum jatah usia yang diberikan Allah berakhir, Aida ingin membalas jasa besar dua orang yang paling Aida sayangi. Jika kelak Allah perkenankan Aida untuk menerima penghargaan sebagai seorang hafizah, Aida akan mohon sama Allah, bahwa dua mahkota kebesaran huffaz yang Allah berikan itu, akan Aida pasangkan satu di kepala ibu dan satunya lagi di kepala Inaq." Ya Allah, aku tak kuat untuk tak menangis lagi.

Hujan semakin deras mengguyur bumi. Beruntung, jika tak teredam suara hujan, tentu teman-teman sekamar kami yang sedang istirahat itu akan mendengar suara serak tangis kami yang tak jua mampu mereda meski hujan turun menyaringkan suara. Kuaminkan keinginan indah Aida. Tepat di saat tepat yang pernah Sang Maha Rahim janjikan. Saat air langit tumpah kebumi, saat do'a-do'a tak terhijab.

Bersambung ...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post