Aku dan Bara Cinta (bagian 11)
Senyum itu cukup membuatku diam terpaku, menunduk memandang dasar gelas americanoku yang kosong.
Masih ada hening di antara kami. Belum satupun membuka bicara.
Kulirik Bara sesekali, berharap dialah yang mencari topik untuk kami. Dan benar saja, dia pun bersuara, “Aku nggak tahu, akan tepat atau enggak untuk ngucapin ini ke kamu, Nad. Waktu itu aku benar-benar ingin minta maaf. Maafin aku udah ngejadiin hubungan kita bahan taruhan konyol sama Reza, Eko, dan Jeki.”
“Bara, please, hari ini aku nggak menyangka kita bakal ketemu lagi. Setelah 10 tahun akhirnya kita dipertemukan, dan aku bener-bener nggak ingin inget cerita itu lagi,” aku berbohong, nyatanya tiap hariku dalam waktu 10 tahun ini selalu mengingat cerita itu. Traumaku parah, tapi rasanya sudah biasa saja. Luka lama yang terlalu lama hanya akan menjadi duri. Dan duri untuk mawar berfungsi sebagai perlindungan, berharap untukku juga begitu. Melindungi hati kalau-kalau memilih kesalahan lagi.
“Hmm, baiklah. Oh ya, kamu mau sekalian makan malam di sini aja? Di luar masih gerimis. Don’t worry, it’s on me.” ujar Bara, merayuku.
“Well, if it’s on you, then yes!” ucapku sambil tersenyum. bisa-bisanya keteguhanku dibeli dengan makan malam. huft.
Kamipun memesan makan malam di sana. Mengucap beberapa patah kata, lalu tertawa, lalu hening. Satu dekade akhirnya semesta mempertemukan kami. Meski kadang sebelumnya bimbang, ingin bertemu atau tidak, nyatanya batinku cukup kuat menerimanya. Menerima untuk menemui Bara, dengan damai. Damai bukan berarti lupa, damai berarti rela, rela yang dulu terjadi tetap terjadi, dan jiwaku saat ini nyatanya mendamba separuhnya lagi.
“Masih suka bersepeda?” Bara bertanya tiba-tiba saat makanan penutup kami datang.
“Masih. Kadang aku ke kantor bawa sepeda, kalo nggak musim hujan gini.” jawabku.
“Wow, jauh?” tanyanya lagi.
“No, simpang 5 itu ke arah flyover, nanti ada kantor penerbitan di kiri jalan. Aku kerja di situ.” jelasku.
“Starlight Media? Editor? Translator?” tanyanya memastikan.
“Editor.” Jawabku singkat.
Lalu hening. Sampai akhirnya...
“Mau sepedaan lagi? Berdua?” tawarnya tiba-tiba. Uhuk! Aku pun tersedak. Potongan blueberry cheesecake yang ada di mulutku tiba-tiba terasa panas, terhempas di epiglotis, antara tenggorokan dan kerongkongan. Tersedak tiba-tiba ternyata terasa sakitnya dari pangkal hidung ke dada.
“Are you ok, Nad?” tanyanya sambil menawariku air putih dari sebelah kananku.
“Iya, gapapa. Well, aku nggak ada antisipasi kamu bakal ngomong gitu sih. Buatku makan, ngobrol senormal ini sama kamu rasanya udah cukup membingungkan. So, No Bara. Mungkin lain kali aja.” aku menolaknya halus, sambil tersenyum. Mungkin lain kali, atau tidak sama sekali.
Hening lagi.
Makanan penutup itu perlahan habis. Pertanda kami berdua harus segera meninggalkan satu sama lain. Bara pergi meninggalkan pamit, akupun pergi membawa diam. Kupanggil taksi searah, gerimis berganti hujan, malam menarik gelap, hatiku mengundang gelisah.
***
Bersambung... . . .
nantikan lanjutannya...
Ponorogo, 29 Oktober 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Romansa masa lalu,,, cerita keren bikin penasaran,,, salam
terimakasih.. semoga berkenan membaca lanjutannya..
Keren nih cerpennya, bakalan berlembar lembar keponya ya....
semoga berkenan membaca lanjutannya.. :)))
Jadi sebuku cerbung ini mb... Chayo...
ndak sampe mbak.. wkwk sekuatku aja
Ya... akan kunanti dengan debar yang tidak ada di logika
hwehee sabar menunggu lanjutan yess