Aku dan Bara Cinta (bagian 12)
***
Sesampainya di rumah, pikirku melayang ke langit-langit apartemenku yang berwangi lavender. Kunyalakan air panas di bak mandi, menaburnya dengan beberapa tetes minyak esensial, dan menenggelamkan diri, berendam di dalamnya. Sehari itu rasanya sangat melelahkan, memeras energiku sampai titik penghabisan. Memang 5 naskah novel dengan deadline yang hampir berbarengan biasanya membuat energiku terkuras, apalagi ditambah pertemuan pertamaku dengan Bara Cakra Dwiwangga setelah satu dekade lamanya. Dulu hatiku memendam amarah, namun ternyata marah tak membuat dirinya menghilang begitu saja. Malah akan semakin datang, datang, dan menghantui. Sampai kini, Bara adalah hantu yang dari dulu selalu tinggal di dalam hati.
Besok bulan baru akan lahir, bulan November. Mungkin karena itulah dia hadir, tak disangka dan tak dinyana, di cafe kenangan kami berdua, akhirnya kami bertemu. Walaupun aku dan Bara ke sana hanya di saat perpisahan kami, nyatanya tetap membekas di memori. Aku hanya tak lagi mengenali langkah dan tubuh tegapnya. Bahu itu dulunya tak sekuat itu, lengan itu dulu juga tak sebesar itu, apalagi dadanya, dulu tak sebidang itu. Anganku seketika membayang, tubuh atletisnya yang mungkin mirip dengan tubuh-tubuh patung dewa Yunani, penuh lekuk dan kokoh. “Ya Tuhan... pikiranku kotor sekali.” batinku sambil menenggelamkan kepala di dalam bak mandi. Memang sampai kini, Bara adalah hantu yang selalu tinggal di dalam hati.
Tinngg! Gawaiku terdengar berbunyi, tanda sebuah pesan singkat telah ditinggalkan pengirimnya untukku. Akupun beranjak dari tempat tenggelamku menuju meja kecil di sudut kamar. Membuka gawai itu, dan memang benar ada pesan muncul di banner tampilan utama gawai ini. Kugeser layar ke atas, memasukkan sandinya dan mulai membaca.
“Nadya, sepertinya saya harus mendelegasikan kamu untuk pergi ke Kathmandu, gantikan EA kita. Mbak Sari anaknya masuk rumah sakit. Mau ya! E-ticket sudah dikirim ke email kamu. Cek sekarang!” tertulis di sana nama Ahmad Boskita. Direktur penerbitan tempatku bekerja. Sebagai direktur Pak Ahmad memang seorang yang to the point. Inginnya selalu diiyakan saat itu juga. Terbukti, di pesannya tertulis “Mau ya!”, bukan menggunakan tanda tanya tetapi tanda seru. Sesudahnya juga tanpa menunggu jawaban mauku, dia langsung mengirimkan tiketnya melalui surel. Direktur memang beda.
Well, di kantor ini posisiku hanya editor, yang tiap harinya hanya duduk di meja dan tenggelam dalam manuskrip. Tidak seperti Mbak Sari yang tadi disebutkan Pak Ahmad, Mbak Sari editor akuisisi, yang kerjanya tidak melulu ada di kantor. Cenderung ke luar kota dan ke luar negeri. Dan posisi di bawah Mbak Sari ada aku, sebagai editor senior yang yaa.. hobi rebahan dan tidak pernah kemana-mana kecuali tempat-tempat yang disebutkan penulis naskah yang kukerjakan.
“Hmm Kathmandu,” batinku sambil membuka layar laptopku dan mengetikkan nama kota itu di mesin pencarian internet. Setelah sekilas melihat-lihat, sepertinya kota ini menarik. Walau bukan Eropa atau mungkin di Asia bagian Korea, Kathmandu tetap luar negeri. Berada di Nepal, tempat puncak Everest melambai dari ujung dunia.
“Baik, Pak. Tapi 5 naskah saya gimana Pak?” ketikku di kolom jawaban pesan singkat Pak Ahmad.
“Berikan ke Fatma, besok kita kedatangan editor baru.” balasnya.
Kukirimkan naskah-naskah itu pada Fatma, sekretaris Pak Ahmad. Kubuka satu persatu email yang datang, dan kulihat tiket yang dikirimkan oleh email kantor. Perjalanan pulang – pergi untuk 5 hari 4 malam sekaligus hotelnya. “Enak sekali jadi Mbak Sari ya..bisa jalan-jalan gratis ke luar negeri”, pikirku. Baiklah, mungkin semesta merasa bersalah, sudah mempertemukanku dengan Bara di situasi yang terlalu mendadak. Walaupun hatiku rasanya siap, tapi tetap saja, aku tidak sedang dalam kondisi yang membanggakan. Kalau kuingat-ingat lagi, hari ini aku memang asal saja memilih blazer coklat kesayangan, kaos oblong bergaris hitam putih, dan celana jins cutbray berwarna biru. Pilihan yang sangat ceroboh dan asal-asalan. Begitulah semesta, kalau aku sedang dandan rapi dan cantik pasti seharian aku tidak akan bertemu siapa-siapa, tapi ketika penampilanku lusuh dan terkesan acak-acakan, dia akan mempertemukanku pada manusia penting, contohnya Bara. Dan Bara, hari ini sungguh menawan. Tubuhnya yang proporsional dibalut dengan pakaiannya yang memikat. “Sial! Bara lagi.” umpatku dalam hati.
Well, terimakasih semesta. Akhirnya kamu berikan aku gantinya. Semoga perjalanan ini bisa menghibur hati gelisahku selama seminggu.
***
Sang pemilik hati,
Rela menanti sejak terbit mentari,
Tak sabar tuk berbagi,
Segala isi di hati,
Jayakan sanubari,
Dan bercumbu di ujung hari. -HiVi, Remaja
Bersambung... . . .
Ponorogo, 30 Oktober 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Superrrr..selalu ta tunggu next nya
aduhh.. terimakasih.. :)))
Kalau ke Kathmandu aku ikut ya...
hari ini berangkat, siapkan cemilan dan selimut tebal karena akan hujan..