Aku dan Bara Cinta (bagian 13)
Berapapun kutawar rindu, Kekasih..
Temu tetaplah penawarnya..
***
Perjalanan yang kutunggu pun datang. Setelah mengurus paspor dan persyaratan lainnya, aku berangkat membawa 1 koper besar dan 1 tas jinjing kesayanganku yang berisi laptop sekaligus beberapa hal yang penting kubawa untuk perjalanan selama kurang/lebih 18 jam. Aku tahu ini melelahkan, tapi aku juga tahu bahwa aku memang membutuhkannya. Untuk menghibur diri, untuk mengobati hati gelisahku akhir-akhir ini. Pertemuanku dengan Bara 2 minggu lalu masih menyisakan rasa, entah rasa apa. Yang bisa kudeskripsikan hanya seperti ada kupu-kupu yang sengaja beterbangan di dalam perutku. Geli, tapi bukan geli seperti ada yang menggelitik. Aku tak ingat pernah memiliki rasa seperti ini sebelumnya. Yang jelas itu gambarannya.
Bara memang yang pertama, dan belum pernah ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya yang seintens itu. Memang aku pernah mencoba, tapi, see? Nothing works on me, at all. Semua hanya berakhir palsu, bukan dari mereka, tapi dariku.
Di dalam taksi menuju bandara, anganku membayang. Ada setitik rindu di dalam hatiku yang berbicara, “Kalau ada Eqi aku nggak mungkin diizinkan pergi sendiri.” Tapi lagi-lagi, aku yang pergi meninggalkannya. Harusnya dari dulu, tapi aku selalu menunda. Penundaan itu ternyata malah membawa luka untuknya, aku salah besar. Bukan cinta yang jahat karena memisahkan kami, tapi aku yang jahat, karena meninggalkan Eqi sendiri. Harusnya aku bisa menolaknya halus, seperti menolak ajakan Bara malam itu. Untuk Bara aku bisa, kenapa untuk Eqi tidak? Pikiranku ternyata malah tambah semrawut, aku jadi tak yakin, apakah perjalanan ini akan membantuku atau tidak.
“Haaahhh!!”, desahku tiba-tiba. “Ada apa mbak?”, sopir taksi yang membawaku terdengar terkejut oleh desauku yang tampak tak beralasan. “Aduh, gapapa Pak. Saya keinget sesuatu yang bikin saya marah. Maaf Pak”, jawabku. “Alhamdulillah mbak, saya kira mbaknya tiba-tiba kerasukan kan saya repot mau panggil dukun di mana”, ujarnya. “Enggak pak. Hehe.. saya emang kadang penuh kejutan.” jawabku asal-asalan.
“Ngomong-ngomong mbaknya mau ke mana?”, tanyanya. Sebenarnya aku lebih suka dan nyaman saat naik taksi yang sopirnya pendiam dan lebih memerhatikan jalanan daripada memerhatikan hidup penumpangnya. Tapi memang karena salahku yang lebih dulu bersuara, akhirnya sopir ini terpancing untuk membuka bicara.
“Kathmandu, Pak.” jawabku singkat.
“Wah, mana itu mbak? Saya baru denger nama daerah yang mirip nama buah.” tanyanya lagi.
“Buah?”, akupun balik bertanya.
“Iya, itu mbak, mengkudu. Hehehehe”, katanya. Mencoba berkelakar.
“Oh, iya Pak.” jawabku disertai dengan senyum sedikit yang terkesan dipaksakan.
Pembicaraan itu kemudian berakhir saat taksi yang kunaiki ini mulai berhenti di depan lobby keberangkatan. Sopir taksi itu turun dan membantuku untuk menurunkan koper yang masih berada di dalam bagasinya.
Sambil membawakan koperku, sopir itu berkata, “Maaf mbak, tadi saya nggak bermaksud apa-apa. Tapi mbaknya kelihatan bingung dan capek. Makanya saya coba bantu ngobrol, siapa tahu mbaknya lupa. Jangan dikurangi bintangnya ya mbak, tolong tetap bintang 5-nya untuk saya.”
Sungguh aku sama sekali tidak berpikir sejauh itu. Aku hanya memikirkan masalah yang ada di dalam kepalaku sekarang. Ternyata dampaknya tidak hanya padaku lagi, tapi mungkin pada orang lain yang kebetulan ada di dekatku. “Wah, sudah harus diakhiri nih, pikiran-pikiran toxic kaya gini,” batinku.
“Waduh, enggak lah Pak. Maaf, tadi saya banyak pikiran. Terimakasih mau membantu. Bintang 5-nya nggak akan saya kurangi.” kataku.
***
Masuk ke lobby bandara, melakukan check in, lalu menunggu keberangkatan di gate yang sudah tertera.
“Good Morning, passengers. This is the announcement of pre-boarding for flight SA167 to Dubai. Please have your own boarding pass and your ID ready. For the regular boarding will begin in fifteen minutes approximately. Thank You.”
Terdengar pengumuman dari bandara untuk penumpang agar mempersiapkan boarding pass dan kartu identitasnya. Kusiapkan boarding pass yang ada di gawaiku, dan kartu identitas yang sudah dari tadi berada di kantong depan tas jinjing kesayanganku. Tapi, tunggu! Apa barusan aku salah dengar?! Aku mendengar penerbangan ini untuk ke Dubai. Kulihat nomor penerbangan yang tertera di boarding pass milikku dan nomor penerbangan yang ada di flight schedule di depanku ini. Nomor penerbangannya sesuai, tapi kenapa ke Dubai? Bukankah seharusnya ke Kathmandu?! Waktu kurang 15 menit. Sungguh ceroboh jika aku sampai gagal pergi gara-gara salah mengamati. Dalam waktu sesingkat itu aku memutuskan untuk menuju ke customer service yang jauh berada di dekat pintu lobby. Akupun berlari, melewati lautan manusia yang berlalu-lalang di tempat umum ini.
Sesampainya di bilik kecil tempat penumpang yang kebingungan, sambil tergopoh-gopoh akupun berkata, “Mbak ... permisi ... saya mau bertanya.”
“Baik, Ibu. Dengan saya Amira, ada yang bisa saya bantu?”, jawabnya lembut.
Sambil kulihat pin nama yang menggantung di hijabnya, akupun menjawab, “Mbak, saya pesan tiket ke Kathmandu, tapi kenapa munculnya untuk ke Dubai?”
“Bisa disebutkan flight number-nya, Ibu?”, tanyanya.
“SA167, gate 2J. Saya sudah ada di depan gate ini, Mbak. Tapi saya bingung, kenapa ke Dubai ya?”, tanyaku sambil menahan air mata supaya tidak jatuh begitu saja.
“Flight SA167 akan boarding sebentar lagi, Ibu. Dan memang benar untuk menuju Dubai.” jawabnya kemudian.
OH MY! Betapa bingungnya aku sekarang. Lututku rasanya lemas, dan mulutku kehabisan kata. Yang kulakukan hanya, “Mbak, please, saya harus ke Kathmandu, bukan ke Dubai.” merengek pada petugas customer service itu.
Saat ini rasanya aku ingin menangis, gagal liburan dan gagal memenuhi tugas perusahaan. Yang kupikirkan hanya biaya penalti untuk penerbangan ini, dan diriku yang malang terlantar di Dubai. Sampai tiba-tiba kudengar suara, “Nadya? Ngapain kamu di sini?”
Suara itu serasa oase di padang sahara yang baru saja kubayangkan. Aku yang baru saja terdampar di bayangan padang pasir yang panas, segera mendapat segarnya oase dari suara yang kukenal.
“Bara?”, oh no! Lagi-lagi semesta mempertemukanku dengan manusia ini dengan keadaan yang lebih menyebalkan lagi.
“Please, stop. Jangan nangis. Kenapa ini mbak?”, didekatkannya lengannya padaku – yang kemudian kujauhkan lagi – sambil bertanya ke petugas berhijab dibalik bilik kecil itu.
Belum sempat petugas itu menjawab, akupun menyela, “Nggak apa-apa. Aku cuman mau bertanya nomor flight ku.”
“Tapi kenapa sambil nangis?”, Bara ternyata curiga.
“Ibu ini menanyakan tentang tujuan flight-nya, Pak. Belum sempat saya jelaskan, ibu ini sudah panik.” jelas petugas itu.
“Boleh aku lihat boarding pass-nya? Please, Nadya. Let me help.” Bara pun meminta gawaiku. Kata-katanya itu sebenarnya seperti memohon, tapi bagiku intonasinya masih tegas, dan terkesan menuntut. Dan anehnya, aku sedikit menyukai caranya itu.
Kuberikan gawai itu padanya, dilihatnya data itu sekilas, lalu memutar matanya seolah mengingat-ingat.
“Flight kamu spend berapa jam?”, Bara pun bertanya.
“18 jam.” jawabku
“Kira-kira di waktu selama itu kamu butuh istirahat dan nge-charge HP nggak?”, Bara bertanya lagi, mungkin sengaja mengetes? Entahlah.
“Butuh.” masih saja aku menjawabnya.
“Ini memang tiket ke Kathmandu. Tapi flight ke Kathmandu itu nggak ada yang directly nyampe sana. Kamu harus transit dulu di Dubai untuk istirahat. So, don’t worry. Kamu akan tetep sampai ke Kathmandu, kok.” jelasnya.
“Ok, thank’s then.” ucapku berterimakasih, lalu berbalik badan dan mulai melangkahkan kaki ingin cepat-cepat meninggalkannya.
“Wait, Nadya! Your phone..” ucapnya menahanku. Sungguh aku sama sekali lupa bahwa benda terpentingku masih dibawanya.
Oh, dammit! Harus berapa kali lagi kutampakkan kebodohanku di hadapan lelaki ini. Mataku sungguh enggan meliriknya, kubalikkan badanku, lalu kuambil alat canggih itu darinya, dan berkata seadanya, “Thank’s, again.”
***
Bersambung.. . . .
Terimakasih sudah setia membaca sampai episode ini... :)))
Ponorogo, 31 Oktober 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ceritanya, Bunda. Salam literasi
terimakasih bapak.. salam literasi
Keren ceritanya..sukses sll n salam literasi
terimakasih ibu.. salam literasi