Pundhi Raras Purbosari

The Author is Dead ~Roland Barthes ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Aku dan Bara Cinta (bagian 15)

Aku dan Bara Cinta (bagian 15)

***

“Kriiinngggg.....kriiiinnggg.....”

Alarmku berbunyi kencang. Entah berapa kali terdengar deringnya, yang kutahu begitu kudengar dari sayupnya hingga kencangnya, aku tak begitu saja bangun. Rasanya baru beberapa jam bertemu dengan kekasihku; kasur, seluruh ragaku enggan meninggalkannya. Benar, aku bisa seposesif itu jika sudah begitu cintanya. Apalagi jika kasur itu punya tekstur empuk dan wangi sprei baru dicuci. Jangan harap aku bisa beranjak dengan cepat.

Tapiii... “Wait! Aku kan harus pergi ke pameran buku hari ini!”, suara itu keluar begitu saja dari kepalaku. Aku harus pergi hari ini. Dan rencanaku, setelah dari sana aku akan memulai misi menenangkan diri dari “peristiwa Bara”. Bukan, aku bukannya ingin melupakan Bara, bukan ingin menghindar dari emosi apapun tentang dia. Aku hanya ingin jika aku bertemu dengannya lagi, detak jantungku bisa kukontrol dengan baik, dan tidak lagi grogi sekaligus tengsin seperti yang terakhir kali. Bagaimanapun Bara akan ada di mana-mana, dan aku harus bisa bersikap biasa saja. Iya, katakanlah itu misiku.

Akupun bersiap pergi, mandi, dan memilih untuk berpakaian cantik untuk hari pertama ini. Well, hari ini cukup cerah dan cenderung panas, akupun memilih maxi dress putih berlengan panjang dan bermotif bunga matahari. Cukup cantik dan nyaman. Pak Ahmad pernah bilang, “Nadya, kamu harus beri good first impression ya, siapa tahu nanti kamu bakal ketemu calon klien kan?!” dengan nadanya yang ringan tanpa tahu bahwa aku kaget setengah mati. Kukira perjalananku ke Kathmandu ini hanya pergi ke pameran buku saja, tanpa harus gimana-gimana. Maksudku tanpa harus dikenal dan bisa menikmati buku apapun yang kuinginkan. Ternyata, tujuan utamanya adalah sebaliknya. Aku harus dilihat, sebagai wakil dari penerbitan. Karena siapa tahu aku bisa menarik penulis luar untuk menerbitkan buku terjemahannya di penerbitan kami. “Berat juga kerjaan Mbak Sari ternyata”, kataku dalam hati.

***

Pria berwajah India yang kemarin menjemputku di bandara kini sudah menungguku di dalam mobilnya. Kamipun pergi ke Kathmandu Marriott Hotel untuk acara itu. Perjalanannya ternyata tidak lama, hanya menghabiskan sekitar 15 menit. Tapi dalam 15 menit itu aku berhasil mengetahui nama lelaki paruh baya yang bertugas mengantar dan menjemputku ini. Namanya Vikram Ujesh. Memang nama yang lucu, tapi tidak di sini. Di Nepal mungkin nama-nama seperti itu adalah nama yang sangat lumrah, seperti “Putra, Ayu, Agus.” Tidak, tidak pernah ada percakapan berarti di antara kami, apalagi saling bertukar jokes. Aku tahu namanya dari name tag yang ada di dasbor mobilnya. Tertulis dengan alfabet dan sangat jelas terbaca. Percayalah, selama bertemu dengan Pak Vikram yang kukatakan hanya: “yes, no, thank you.” Karena memang sehemat itu bicaraku dengan sopir.

Hotel tempat pameran buku terbesar ini ternyata memang sangat mewah. Saking takjubnya, hampir saja kulupakan rencanaku berikutnya untuk pergi ke Swayambhunath Stupa, dan menggantikannya dengan berwisata di dalam hotel saja. Mengelilingi hotel ini rasanya cukup kalau hanya untuk berjalan-jalan kan?! Tapi tidak, janji pada diri sendiri tetaplah janji, dan harus ditepati. “Kita sudah jauh-jauh ke sini, hati.. jangan berpaling lagi!”, batinku.

Sesuai instruksi Pak Ahmad, akupun mendekati orang-orang asing di acara ini. Berkenalan, saling bertukar kartu nama, dan saling berkomentar tentang karya-karya asing yang dipamerkan. Supaya terlihat smart dan meyakinkan, supaya tidak mengecewakan Pak Ahmad dan Mbak Sari. Bagaimanapun aku membawa nama mereka, meski ada niat lain di perjalanan ini, paling tidak peranku masih ada gunanya.

Selepas dari hotel, barulah kujalankan misiku untuk pergi ke Swayambhunath Stupa. Masih di Kathmandu, hanya terpaut sekitar 6 kilometer dari tempatku saat ini. Berniat untuk tidak lagi mengajak Pak Vikram, langsung saja kupanggil taksi untuk mengantarku ke sana. Hari masih siang, tapi langit tak begitu panas, cenderung sejuk, tapi masih terang. Sejujurnya selain senja aku juga menyukai cuaca seperti ini. Nyaman untuk berjalan di luar, namun juga wajar untuk menghabiskan waktunya di rumah saja, mengedit naskah sambil ditemani kopi. Perfect day, for the perfect life. Hmmm udara di Kathmandu juga tidak begitu buruk, kupikir akan seperti di India, di mana mobil saling membunyikan klakson dan asap kendaraannya yang selalu on. Kathmandu lebih tenang, mungkin karena di sini banyak sekali tempat peribadatan jadi penduduknya sudah terbiasa hidup damai. Entahlah, sejauh ini aku masih merasa nyaman dan mengagumi tempat-tempat di sini. Ornamen bangunannya sungguh kental budaya hindu dan buddha. Stupa, lilin aromatik, dan bunga-bunga berwarna-warni menghiasi kota ini. Rasanya dress bunga matahariku bisa berbaur juga di sepanjang jalan.

Ketenangan di tempat ini membuat jantungku berdetak beraturan, langkahku berjalan seirama dengan alunan nafasku yang berhembus perlahan, sambil sayup terdengar nyanyian benda aneh berbentuk mangkuk yang terbuat dari kuningan. Perhatianku tertuju pada sebuah mangkuk kuning yang sedang dibawa oleh seorang wanita Nepal di sana. Mangkuk itu tidak terlalu besar, mungkin berdiameter sekitar 15 – 20 cm, tapi bisa menggaungkan suara yang lumayan kencang namun menenangkan. Tak segan-segan lagi, langsung kutanyakan perihal benda itu pada sang empunya, “Excuse me, what’s this?”

“Kē?”, tanyanya menggunakan bahasa yang tak kumengerti.

“WHAT IS THIS??”, kuulangi lagi pertanyaanku dengan suara yang lebih keras, walau aku sebenarnya tahu bahwa orang ini tidak tuli, dia hanya tidak mengerti bahasaku. Ya Tuhan, aku lupa kalau pergi ke luar negeri mungkin bisa saja hanya aku yang berbicara bahasa Inggris, lawan bicaraku tidak.

“Gā’unē kacaurā”, jawabnya, lagi-lagi dengan bahasa yang tak kumengerti. Aku hanya tahu bahwa itu mangkuk, tapi mangkuk apa?

“I’m sorry, I don’t know what you mean. Can you please say it in English?”, tanyaku sambil mengisyaratkan tanganku membentuk mangkuk.

“Singing bowl”, ucap seseorang di sebelahku. Tapi bukannya aku mengenal suara ini ya?!

“Kamu lagi???”, tanyaku padanya.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Who is that?

04 Nov
Balas

Nantikan jawabannya di episode berikutnyaaa

04 Nov

Nantikan jawabannya di episode berikutnyaaa

04 Nov



search

New Post