Gurat Luka di Langit Senja (bagian 1)
(CERBUNG)
Tak pernah kuduga aku akan menjadi orang ketiga di hidup dua orang yang sudah jelas saling mencintai. Salah satu sisi dalam hatiku berkata bahwa aku bukanlah orang ketiga, akulah yang pertama duduk di atas singgasana hatinya. Aku yang pertama merasai hidup sebagai tumpuannya, sebagai sandaran di kala tidak ada lagi yang bisa menjaganya, akulah tempat untuknya selalu pulang. Aku, aku, dan aku. Dengankulah dulu dia pernah mengucap janji sehidup-semati. Dulu dia adalah hidupku, dan aku hidupnya. Apakah salah jika kubilang aku orang pertama yang pernah memilikinya?
“Sen, lo nggak apa-apa?” Sahut Nisa tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Enggak, nggak apa-apa. Kenapa?”, jawabku.
“Ih, mata lo tuh serem. Pake tatapan kosong lagi. Lo kenapa? Insom lo kambuh?”, tanyanya.
“Iya, insom”, jawabku.
Sengaja aku tak menjawabnya jujur. Nisa memang satu-satunya sahabatku di tempat kerja. Dia yang tahu semua tentangku. Tentang keluargaku, tentang hal-hal pribadiku. Paling tidak sebatas itu dia sangat memahamiku.
“Senja, gue tahu lo suka kopi. Tapi lo juga harus inget kalo lo tuh insomnia. Jadi jangan ngadi-ngadi deh ah. Nih minum vitamin ini aja deh sekarang.” Jelasnya asal sambil memberikan vitamin C sachet yang selalu dibawanya.
Agak susah menelan tablet asam itu saat suasana hati sedang kalut-kalutnya. Tak kusangka rasa asam itu mengingatkanku lagi kejadian semalam yang membuatku lemas setengah mati.
***
Malam sebelumnya....
Seperti biasa aku selalu mengecek e-mail sebelum tidur. Membaca satu-persatu pesan yang dikirimkan oleh calon klien perusahaan tempatku bekerja. Setelah kupastikan semuanya terbalas, akupun berpikir untuk membuka bagian pesan sampah, karena biasanya memang ada yang terkirim di sana. Ada satu pesan yang membuat bulu kudukku tiba-tiba merinding, jemariku bergetar, dan hawa dingin merasuk ke dalam dadaku, mengubah irama detak jantungku mengencang. Pandanganku mengabur, otakku berusaha mengelak tak percaya. Pesan itu sangat menyakitkan, membuatku takut tak berdaya. Tertulis dari seorang perempuan bernama Anastasia Ling.
From: [email protected]
Cc:
Bcc: Permohonan penjelasan
Hai, Senja. Saya minta maaf karena menghubungi kamu seperti ini. Kita belum kenal di mana-mana, dan saya rasa ini juga bukan termasuk perkenalan yang baik. Saya mendapat alamat e-mail kamu dari akun instagram kamu. Saya menghubungi kamu di sini juga karena saya yakin kamu nggak akan menjawab chat saya di sana. Langsung saja, Senja. Saya nggak akan berbasa-basi. Saya menghubungi kamu sebagai tunangannya Gerald. Nama saya Anastasia Ling. Saya sering membaca chat-chat kamu di dm instagram Gerald. Beberapa kali Gerald bilang kalian nggak ada apa-apa, sebatas teman, dan sebutan lainnya yang dia pikir akan membuat saya percaya dan diam saja. Well, saya percaya pada awalnya, karena teman perempuan Gerald bisa siapa saja. Tapi semakin ke sini saya lihat chat kalian sudah tidak sewajarnya teman ke teman. Saya sebagai perempuan pasti tahu chat kalian tentang apa, dan perlakuan kalian akan bagaimana jika hanya berdua. Senja, saya nggak akan menyalahkan kamu. Saya juga nggak akan menyudutkan kamu. Saya hanya ingin itikad baik kamu untuk menjelaskan kepada saya dari sisi kamu. Sekali lagi saya tekankan, saya dengan Gerald sudah bertunangan. Kami sebentar lagi akan menikah, dan saya nggak ingin gara-gara ini saya mempermalukan keluarga saya karena harus membatalkan semuanya. Senja, saya harap kamu mengerti. Tolong jawab pesan ini.
###
Membaca pesan itu rasanya duniaku runtuh seketika. Kakiku melemah, ujung jemariku terasa dingin dan rasa takut menjalar di sekujur tubuhku. Sekali dua kali aku memang pernah merasa bahwa hari ini akan terjadi. Tapi entah mengapa aku selalu hilang peduli. Bagiku Gerald sejak dulu adalah situasi normalku. Sebelum ada Tristan maupun setelahnya. Meski sudah menikah tiga tahun yang lalu, aku tetap tidak mampu menghilangkan Gerald begitu saja. Kami masih mesra, seperti pernikahanku dengan Tristan tak pernah ada. Ya Tuhan.. betapa banyak orang yang ku sakiti karena cinta terlarang ini. Pesan itu kutinggalkan begitu saja. Aku belum sanggup untuk membalasnya sekarang.
“Sayang, udah selesai balesin e-mailnya?” Ucap Tristan sambil wajahnya yang berkacamata menunduk di telepon genggamnya.
“Udah, tapi aku nggak mau tidur dulu. Aku mau minum teh di ruang tengah. Aku capek banget.” Jawabku sambil lalu. Aku tak peduli bagaimana reaksinya, yang kupikirkan saat itu hanyalah bagaimana cara menjawab e-mail menyakitkan dari Anastasia Ling.
Inginku menghubungi Gerald. Mengatakan bahwa tunangannya melabrakku hari ini. Mungkin dia tahu, hanya saja yang aku takutkan saat ini Anastasia juga sedang bersamanya. Tak terasa sudut mataku menghangat, ada bulir-bulir air mata yang terasa mengalir begitu hebat. Leherku tercekat, dadaku sakit, aku menangis tak bersuara. Rasa ini terlalu menghantui, hari seperti ini sudah pasti datang, hanya tentang waktu. Ada bagian dari hatiku yang merasa sangat kehilangan, dan ada satu bagian lain yang merasa bahwa hal yang paling tepat adalah merelakan.
***
Pagi ini kuputuskan untuk membalas e-mail itu tanpa menghubungi Gerald. Kupikir matang-matang, Tristan adalah hidupku saat ini dan masa depanku. Gerald bukan siapa-siapa untukku. Gerald hanyalah masa lalu yang terkubur sangat dangkal di cerebral kortex dalam otakku yang entah bagaimana muncul kapan saja. Sudah saatnya bagiku menghilang dari kehidupan Gerald dan tunangannya.
From: [email protected]
Reply to: [email protected]
Terimakasih sudah menghubungi saya, Anastasia. Terimakasih untuk tidak menyalahkan dan menyudutkan saya. Saya rasa untuk hal seperti ini kita harus bertemu. Temui saya di Dalgona Cafe jam 19.00 WIB. Saya akan jelaskan ke kamu.
Setelah mengirimkan e-mail itu, debar di dadaku malah semakin menggila. Nafsu makanku berkurang, dan aku tak punya keinginan untuk memasukkan apapun ke dalam perutku. Aku terdiam, pikiranku terbang ke mana-mana. Baru kurasakan sakitnya menunggu sesuatu yang tidak ingin kutemui. Sampai Nisa datang dan memberiku vitamin C-nya.
Hari ini kulalui begitu saja. Tanpa senyum, tanpa semangat. Hanya ada lemas, bingung, takut, yang bercampur dan berkecamuk di dalam dada dan kepala. Rasanya aku ingin ini semua berakhir, atau bahkan tidak pernah terjadi. Aku menyesal melakukannya dengan Gerald, aku menyesal pernah mengenalnya, aku menyesal karena telah menyakiti Tristan dan Anastasia.
Terasa begitu lamanya, akhirnya pukul 19.00 WIB tiba. Aku menunggu perempuan itu datang di cafe ini. Tanpa memesan apa-apa aku memilih tempat duduk dan menunggunya. Dada dan kepalaku terasa penuh, debar di jantungku seolah tak terkendali. Entah apa saja yang kami bicarakan nanti, dan kalimat-kalimat apa yang harus kukeluarkan dari mulutku, atau bahkan hujatan-hujatan apa yang akan dilemparkannya padaku. Aku harus siap.
Bel pintu cafe itu terdengar gemerincing, tanda seorang pelanggan sedang membuka pintunya. Terdengar pula langkah kaki yang mantap dan tegap dari belakangku.
“Senja?” pemilik langkah itu mengucapkan namaku. Suaranya yang lembut membuatku menoleh ke arahnya. Rambutnya hitam tergerai, wajahnya terlihat putih bersinar, matanya yang sipit menunjukkan bahwa perempuan ini adalah perempuan keturunan cina. Persis sekali dengan tipe pasangan ideal Gerald.
“Iya. Anastasia?” tanyaku memastikan.
“Benar. Boleh aku duduk?” tanyanya.
Perempuan ini cantik, juga tegas sekali. Usianya mungkin jauh di bawahku. Terlihat dari caranya menulis e-mail kepadaku terlihat bahwa dia adalah perempuan yang kuat. Tidak menghakimi, dan tahu pasti bahwa dia ingin memahami Gerald melalui penjelasanku.
“Mau pesan apa? Biar aku panggilkan waiters-nya.” Tawarku.
“Americano aja. Thanks.” Ujarnya.
“Anastasia, sesuai yang saya bilang bahwa saya akan jawab semua pertanyaan kamu di sini. Jadi silakan katakan apapun yang kamu ingin katakan, dan silakan tanyakan apapun yang kamu ingin tahu.” Ucapku membuka pembicaraan.
“Seperti yang saya katakan di e-mail saya, bahwa saya nggak akan berbasa-basi. Saya ingin tahu sejauh mana hubungan kamu sama Gerald, dan sudah berapa lama?” Ia pun mulai bertanya.
“Baik, kami dulu pernah punya hubungan serius. Kami pernah tidur setidaknya 2 kali dalam waktu 3 tahun terakhir. Kami sering chatting-an di dm instagram, dan mungkin dari situ kamu mulai tahu tentang kami.”
Bibirku mengucap begitu saja, berusaha tetap di nadanya yang datar dan tanpa emosi. Namun begitu dadaku terasa mencelos, ada sedikit rasa lega, namun banyak takutnya. Jemariku terasa bergetar, kakiku mulai melemas. Begini rasanya melakukan pengakuan dosa. Tapi memang sebanyak itu kan yang dia ingin tahu?
Kulihat perempuan ini menangis. Kedua tangannya menutupi wajah cantiknya yang menunduk dalam di dadanya. Aku betul-betul bingung harus berbuat apa, maka aku hanya diam, menunggu gadis itu membuka lagi ucapannya. Posisiku hanya sebagai penjawab pertanyaan, dan kuserahkan tugas yang lain pada lawan bicaraku ini.
“Gerald, apakah masih mencintai kamu, Senja?” tanyanya setelah beberapa saat.
“Untuk pertanyaan itu saya tidak bisa menjawabnya, Anastasia. Yang saya tahu kami bisa saling mengisi kekosongan satu sama lain. Saya mendapatkan sesuatu yang nggak saya dapatkan dari suami saya, dan saya kira diapun begitu. Sejak kami memutuskan berpisah, semua rasa itu sudah bisa saya pastikan hilang. Gerald sudah bukan siapa-siapa lagi untuk saya. Saya mencintai suami saya, begitupun sebaliknya. Hanya saja seperti ada celah yang belum usai di antara saya dan Gerald yang akhirnya terbawa sampai saat ini.” Jelasku.
“Kamu sudah menikah kan?! Apa pantas bagi seorang perempuan yang sudah menikah menggoda calon suami orang lain untuk tidur bersama?! Kalian sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi, tolong saya, Senja. Please, saya sudah sejauh ini dengan Gerald. Kami sebentar lagi akan menikah, dan kamu ujian terbesar saya saat ini. Saya nggak tahu apakah hubungan saya dengan Gerald akan baik-baik saja setelah menikah atau enggak. Dan jika pernikahan ini batal, atau hidup rumah tangga kami tidak bahagia, saya akan menyalahkan kamu di hadapan Tuhan. Kamu penyebabnya, kamu merusak saya dan hubungan saya.”
Tangisnya membuncah. Air matanya bercucuran, suaranya yang lembut terdengar rapuh dan bergetar. Gadis itu tampak marah, tapi masih saja terlihat rupawan.
Mendengar kata-kata itu aku hanya terdiam. Aku tak mampu mengucap apa-apa lagi. Emosinya menamparku terlalu keras, menyadarkan jiwaku bahwa perbuatanku memang sangat tercela. Bukan hanya menyakiti hati 2 orang, tapi juga menyakiti Tuhan. Kesaksianku sudah tidak berarti lagi, pembelaanku telah sirna bahkan sebelum dinyatakan. Dadaku mencelos, sakit, menusuk sampai ulu hati. Tapi aku bahkan tak berhak menangis, aku tak berhak bersedih. Aku tak berhak mengeluhkan rasa sakit di dadaku. Bulir-bulir air mataku hanya berhenti di sudut keluarnya, tertahan dilema.
“Kenapa kamu diam saja, Senja?! Jawab!! Pantaskah kamu seorang perempuan bersuami menggoda calon suami orang lain untuk tidur bersama?!!” gadis itu masih menanyakan hal yang sama. Masih menangis, namun isak di suaranya lebih bergetar.
“Anastasia, saya—“
“Kenapa kamu tega melakukan itu kepada saya?! Apa yang sudah saya lakukan di hidup kamu sampai kamu tega-teganya merusak hidup saya seperti ini, Senja?” Kalimatnya memotong bicaraku. Tangisnya semakin menjadi, dan bahunya terlihat naik-turun tak terkendali. Saat itu aku pun hanya terdiam. Tak sanggup mengucap kata terpenting yang harus kusampaikan saat itu juga.
Tiba-tiba suaranya yang gemetar perlahan mulai tenang. Isak tangisnya sudah berubah menjadi irama nafasnya yang teratur. Bahunya sudah kembali tegap dan tangannya mengusap lembut wajahnya yang sembab.
“Lebih baik saya pergi. Tidak ada gunanya menemui kamu begini. Saya pikir saya akan tenang setelah melihat kamu, tapi ternyata itu sebuah keputusan yang salah besar. Saya salah telah memilih untuk mendengar kamu, Senja. Terimakasih undangannya, dan saya harap kita tidak pernah berurusan lagi.” Ucapnya sambil berdiri lalu melenggang pergi menjauhi cafe itu.
Akupun terdiam. Mulutku seolah terkunci rapat, tubuhku membeku, degup di jantungku seolah satu-satunya organ tubuhku yang menandakan bahwa aku masih hidup. Perlahan aku menghela nafas dalam, lalu beranjak pergi dari tempat terkutuk itu.
***Bersambung***
Jember, 3 Januari 2021
pic source: Pinterest
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terus? Mantap...sukses selalu ya
kalo terusnya kelamaan nabrak bunda.. wkwk
Mantap pokoknya,,, kalau sdh njenengan yg buat.
makasih dukungannya mbak...
Ow ... dede peri... selalu keren tulisannya. ini pertama kali aku baca novel setelah sebulan ambruk, dan sangat menghibur. Meski sebenarnya aku tetap menunggu bara. Iya... bara-ku