Rasmian

Penulis lahir di Lamongan. Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Lamongan. Saat ini menjadi guru DPK di SMA Wachid Hasjim Maduran. Moto " Tak...

Selengkapnya
Navigasi Web

BAHASA VULGAR DALAM NOVEL “CANTIK ITU LUKA” KARYA EKA KURNIAWAN: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

A. Pendahuluan

Sering kita mendengar himbauan guru bahasa Indonesia tentang penggunaan bahasa yang baik dan benar, sebagaimana himbauan pemerintah agar dalam berbagai kesempatan kita mengunakan bahasa yang baik dan benar. Maksud menggunakan bahasa yang benar adalah menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa yang benar. Sedangkan menggunakan bahasa yang baik adalah menggunakan bahasa sesuai dengan situasi dan konteks kebahasaannya.

Himbauan itu sebenarnya ditujukan kepada pemakai bahasa agar pemakai bahasa dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan ragam bahasa tertentu sesuai dengan konteks bahasa tersebut digunakan. Apabila kita berbicara atau menulis sebaiknya kita memperhatikan dengan siapa kita berbicara, apa yang sedang kita bicarakan dan di mana kita berbicara. Dengan demikian kita dapat menggunakan bahasa yang tepat sehingga kita tidak dikatakan orang sebagai pengguna bahasa yang kurang sopan.

Dalam penggunaan bahasa terdapat ragam atau variasi bahasa. Variasi bahasa dapat digolongkan menjadi variasi dari segi penutur,variasi dari segi pemakai, variasi dari segi keformalan, variasi dari sarana (Chaer dan Leona Agustina , 2004:61-72). Variasi berdasarkan pemakainya, terdapat variasi yang disebut sebagai bahasa vulgar.

Chaer dan Leonie Agustina (2004:66) menjelaskan bahasa vulgar sebagai variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar atau dari mereka yang kurang berpendidikan. Variasi bahasa vulgar oleh masyarakat awam dikenal dengan istilah bahasa yang kasar atau kurang sopan.

Pemakain bahasa vulgar sebenarnya jarang digunakan dalam komunikasi formal, tetapi akhir-akhir ini bahasa vulgar banyak ditemukan dalam berbagai komunikasi terutama komunikasi tulis di bidang sastra.

Temuan, para peneliti akhir-akhir ini banyak bermunculan penggunaan bahasa vulgar dalam karya sastra. Salah satu karya sastra yang banyak menggunakan bahasa vulgar adalah sebuah novel berjudul Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan.

Bagaimanakah sebenarnya bahasa vulgar dalam karya sastra, apa fungsi dan jenisnya, masih butuh kajian yang mendalam. Sehubungan dengan hal tersebut penulis tertarik untuk menulis dengan judul Bahasa Vulgar dalam Novel Cantik Itu Luka: Kajian Sosiolinguistik.

B. Bahasa Vulgar

Bahasa vulgar merupakan variasi bahasa dari segi penuturnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia offline versi V.1.1 vulgar dapat dimaknai sebagai kasar (tentang perilaku, perbuatan, dsb); tidak sopan. Menurut pendapat Nadel (1964) yang dikutip Wijana (2011:112) orang-orang Nupe di Afrika menggunakan ungkapan-ungkapan untuk pertuturan yang sopan dan tidak sopan. Bentuk penuturan yang sopan biasanya menggunakan jenis tuturan eufimisme atau penghalusan bahasa dan tuturan langsung yang hanya cocok digunakan dalam cerita-cerita porno, lelucon atau atau tuturan-tuturan akrab yang lazimnya digunakan oleh para pemuda. Ungkapan-ungkapan kasar seperti itu oleh Nadel digambarkan sebagai bahasa yang tidak mengenakkan, kasar, kurang pantas, salah satu fungsinya sebagai makian.

Chaer dan Leonie Agustina (2004:66) menjelaskan bahasa vulgar sebagai variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar atau dari mereka yang kurang berpendidikan. Senada dengan hal di atas, Aslinda (2010:18) berpendapat bahwa bahasa vulgar adalah variasi bahasa sosial yang ciri-cirinya terlihat dari tingkat intelektual penuturnya.

Studi tentang bahasa vulgar menurut hemat penulis erat kaitannya dengan studi bahasa makian. Hal tersebut disebabkan antara bahasa vulgar dan makian terdapat benang merah kesamaan fungsinya. Makian dan vulgar merupakan pemakain bahasa untuk menyatakan perasaan tidak senang dengan menggunakan bahasa yang kasar.

Sedangkan menurut ahli lain, bahasa kasar adalah bentuk ungkapan yang menistakan orang lain dengan menggunakan kata-kata yang tidak senonoh, misalnya, caci-maki, umpatan, penghinaan, dan sebagainya (Prastika, 2008:2)

Senada dengan hal di atas, Wijana (2011:110) makian erat kaitanya dengan masalah tabu. Kata tersebut memiliki makna yang luas, tetapi secara psikologis kata tabu muncul sekurang-kurangnya karena tiga hal, yaitu adanya sesuatu yang menakutkan, adanya sesuatu yang tidak mengenakkan, adanya sesuatu yang tidak santun atau tidak pantas.

Sehubungan dengan fungsi bahasa, bahasa vulgar bagi kalangan tertentu mungkin saja dapat berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan pembicaraan yang bernuansa akrab. Misalnya kata-kata vulgar berbentuk makian bagi masyarakat Surabaya dapat berfungsi sebagai simbol keakraban diantara meraka. Hal tersebut didukung temuan ahli Sosiolingistik Kristin Hasund (Wijana, 2011:110) menemukan bahwa kata-kata kasar, makian, ejean, tuturan sejenisnya yang digunakan oleh penutur wanita-wanita kelas pekerja merupakan simbul keakraban.

Sedangkan dilihat dari bentuk penggunaan kata-katanya, bahasa vulgar biasannya dapat berupa makian, ungkapan yang berhubungan ekspresi yang tidak menyenangkan, mengungkapkan masalah pornografi, dan lain sebagainya. Menurut Wijana (2011:119) bentuk-bentuk kata yang demikian biasanya mengadung unsur referensi. Artinya kata-kata makian yang termasuk golongan kata vulgar tersebut menggunakan referensi tertentu misalnya keadaan, binatang, benda, bagian tubuh, aktivitas, dan profesi.

Sedangkan Wijana (2012:119-130) memberikan beberapa contoh makian (bahasa vulgar) sebagai berikut.

1) Bangsat, apa saja yang dimongkan orang itu.

2) Setan, dari mana kau mendapat pedang itu.

3) Dasar gila, dosennya sendiri diumpat-umpat.

4) Monyet kamu, siapa yang berani berbuat kurang ajar.

5) Matamu, sudah pasang tanda masih ditabak.

6) Dasar gombal, malah dia yang nggak datang.

7) Diancok, kok begini jadinya.

8) Bajingan, kembalikan pedang wasiat itu.

Studi tentang bahasa vulgar dalam ilmu semitotika erat hubungannya dengan masalah tabu. Kata ini memiliki makna yang luas, akan tetapi umum memiliki arti “sesuatu yang dilarang”. Selain itu, berdasarkan motivasi psikologis yang melatarbelakangi, kata-kata tabu muncul dikarenakan tiga alasan ( Wijana, 2011:111). Selanjutnya Wijana (2011:111-112) menjelaskan tiga alasan psikologis bahasa tabu sebagai berikut.

a) Adanya sesuatu yang menakutkan, sering disebut sebagai taboo of fear.

Contoh taboo of fear, misalnya usaha menghindari pengungkapan nama-nama Tuhan dan makhluk halus.

b) Adanya yang tidak mengenakkan perasaan, sering disebut sebagai taboo of delicacy).

Menghindari menyebut secara langsung nama-nama penyakit.

c) Adanya sesuatu yang tidak santun dan tidak pantas, sering disebut sebagai taboo of propriety.

Contohnya, usaha manusia mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas, bagian-bagian tubuh yang laian merupakan contoh taboo of propriety.

Dalam hal ini, penulis sependapat dengan pendapat Wijana, bahwa bahasa vulgar erat kaitannya dengan tabu. Pembahasan bahasa vulgar dapat digolongkan menjadi tiga konsep tabu di atas, yaitu a) vulgar disebabkan adanya sesuatu yang menakutkan, b) vulgar karena adanya sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan, c) vulgar karena adanya sesuatu yang tidak pantas/ tidak sopan.

C. Eka Kurniawan dan Novel Cantik Itu Luka

Eka Kurniawan, sastrawan muda dari Tasikmalaya, Lahir di Tasikmalaya 28 November 1975 adalah seorang sarjana filsafat UGM. Untuk pertama kalinya Eka menulis sastra genre Novel. Novel ini pada awalnya adalah tugas akhir masa kuliah, tahun 1999 novel ini diterbitkan Yayasan Aksara Indonesia. Pada tahun 2002 Novel berjudul “Cantik Itu Luka” diterbitkan oleh Akademi Kebudayaan Yogyakarta bekerja sama dengan penerbit Jendela, tahun 2004 diterbitkan ulang oleh Gramedia.

Pada tahun 2003, novel ini masuk Long List Khatulistiwa Literary award, dan tahun 2006 diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang atas usaha Ribeka Ota. Tahun 2015, novel ini diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Annie Tucker dan diterbitkan oleh Directions Publishing.

Pada tahun 2004, Eka kembali menerbitkan novel yang diberi judul “ Lelaki Harimau” diterbitkan oleh Gramedia. “Seperti Dendam”, “Rindu Harus Dibayar” merupakan novel Eka yang terbit tahun 2014 juga diterbitkan Gramedia. Masih bekerja sama dengan Gramedia, tahun 2016 Eka menerbitkan novel dengan judul “O”.

“Cantik Itu Luka” merupakan kisah masa kolenial Belanda dan masa Sesudah Perang Kemerdekaan. Novel ini menceritakan tokoh Dewi Ayu, di akhir masa kolonial dipaksa menjadi pelacur. Dewi Ayu menjalani hidup menjadi pelacur hingga ia mempunyai tiga anak tanpa ayah yang sah dan sulit diketahui siapa ayah yang sebenarnya.

Cerita diawali kebangkitan Dewi Ayu dari kubur setelah meninggal 21 tahun yang lalu. Dewi Ayu adalah anak keturunan Indonesia-belanda. Pada saat Belanda menyerah kalah dari tentara Jepang, Dewi Ayu tidak pulang ke Belanda, tetapi tetap hidup dalam masa penjajahan Jepang. Dewi Ayu yang berwajah cantik jelita ditawan tentara Jepang dan dipaksa menjadi pelacur untuk melayani tentara-tentara Jepang. Dari hasil melacur bersama tentara-tenra Jepang itulah Dewi Ayu mendapat tiga anak.

Novel ini ditulis Eka kurniawan setebal 496 halaman. Novel yang bercerita tentang kehidupan Dewi Ayu disisipi cerita realitas perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaannya.

Rangkain cerita Dewi Ayu dikemas oleh Eka dengan bahasa yang realistis. Dibanyak paragraf Eka menampilakan realitas seks di masa kemerdekaan dengan bahasa yang lugas dan menggunakan variasi vulgar.

D. Bahasa Vulgar dalam Novel Caktik Itu Luka

Sebagaimana pembahasan pada seksi sebelumnya, bahasa vulgar merupakan variasi bahasa menurut pemakainya. Para ahli mengelompokkan bahasa vulgar sebagai bahasa yang digunakan sekelompok pemakai bahasa yang pendidikannya rendah atau secara intelektual kurang baik.

Namun demikian fenomena penggunaan bahasa vulgar dalam komunikasi tertulis seperti digunakan dalam sastra akhir-akhir ini, justru pemakainya atau penulisnya merupakan lulusan perguruan tinggi. Keluar dari pembahasan tersebut, penulis kali ini hanya akan memaparkan pembahasan bahasa vulgar ditinjau dari bentuk, referensi, dan fungsinya. Pembahasan masalah fungsi bahasa vulgar hanya dibatasi pada fungsi dalam karya sastra, terutama sastra genre novel.

Pembahasan bahasa vulgar dapat digolongkan menjadi tiga berdasarkan konsep, yaitu a) vulgar disebabkan adanya sesuatu yang menakutkan, b) vulgar karena adanya sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan, c) vulgar karena adanya sesuatu yang tidak pantas/ tidak sopan.

Berdasarkan ada tidaknya referensi (acuan) kata-kata dalam bahasa dapat digolongkan menjadi dua, yaitu a) kata bereferensi, dan b) kata tidak bereferensi. Pembagiannya mengikuti kaidah sintaktik misalnya kata benda, kata sifat, kata kerja dan lain sebagainya.

Sedangkan dilihat dari sudut fungsi, fungsi bahasa vulgar dalam novel Cantik Itu Luka :a)sebagai Makian dari tokoh cerita, b)sebagai alat untuk mendeskripsikan setting cerita, dan c) sebagai alat menciptakan estetika karya sastra.

Berikut ini hasil dan pembahasannya.

1) Jenis Bahasa Vulgar

a) Vulgar Jenis Pertama (Adanya sesuatu yang menakutkan)

Wijana (2011:111-112) menjelaskan adanya sesuatu yang menakutkan, sering disebut sebagai taboo of fear. Dalam berkomunikasi sebenarnya komunikan tidak ingin; atau ada larangan mengatakan sesuatu yang kasar. Oleh karena itu, komunikan berusaha menyembunyikan sesuatu yang kasar dengan jalan menyebutkan dengan teknik eufimisme. Apabila komunikan tidak menggunakan eufimisme, maka munculah apa yang disebut sebagai bahasa vulgar.

Salah satu bentuk penghindaran tersebut adalah karena adanya sesuatu yang menakut. Contoh sesuatu yang menakutkan adalah pengungkapan nama-nama Tuhan dan makhluk halus.

Dalam Nonel Cantik Itu Luka hal tersebut terbukti dari data berikut ini.

(1) Seolah Dewa Cabul memasuki mereka, keduanya berlari mendekat dan berpelukan erat, saling mencium di bawah kehangatan matahari tropis (Kurniawan, 2015:35)

(2) Ia memandang wajah Sang Shodancho seolah memandang Iblis yang telah menjelma, Iblis yang sejak kecil ia bayangkan bagaimana wujudnya ( Kurniawan, 2015:129)

Data (1) dan (2) menunjukkan adanya penggunaan bahasa vulgar karena dalam data tersebut terdapat kontruksi Dewa cabul (1) dan Iblis (2). Kontruksi Dewa Cabul mengarah pada nama Tuhan yang memiliki sifat tidak senonoh. Tuhan dalam terminologi agama apapun adalah zat yang diangungkan. Karena Tuhan adalah zat yang Maha Agung umat beragama selalu memberi pujian. Hal itu dilakukan sebab jika seseorang/umat beragama tersebut tidak takut kepada Tuhan, maka ia akan mendapat kutukan atau dosa.

Dalam kontruksi kalimat data (1) penggunaan Dewi Cabul menunjukkan pemakai kontruksi tersebut tidak takut kepada Tuhan. Berdsarkan hal terbut bahawa pemakain Dewa Cabul merupakan penyebutan nama Tuhan secara kasar atau dalam istilah lain disebut sebagai vulgar.

Sedangkan pada data (2), penggunaan kontruksi Iblis menunjukkan pemakai kontruksi tersebut tidak merasa takut dengan iblis. Iblis dalam terminologi umat beragama adalah makhluk halus yang memiliki sifat jahat dan menakutkan.Penggunaan kontruksi tersebut merupakan pemakaian bahasa vulgar.

b) Vulgar Jenis Kedua (Pemakaian sesuatu yang tidak mengenakkan)

Wijana (2011:111-112) menjelaskan adanya sesuatu yang tidak mengenakkan, sering disebut sebagai taboo of delicacy. Sehingga jika dalam komunikasi kita tidak menghindari hal itu varasi bahasa yang kita pakai disebut vulgar jenis kedua yaitu memakai bahasa yang mengandung sesuatu yang tidak mengenakkan.

Selanjutnya Wijana (2011:112) menjelaskan, sesuatu yang tidak mengenakkan antara lain menyebut secara langsung nama-nama penyakit.

Dalam berkomunikasi sehari-hari, sesuatu yang tidak mengenakkan tidak hanya berhubungan dengan penyakit, tetapi juga berhubungan sebutan nama panggilan, keadaan/kondisi tertentu yang dialami manusia, atau berkaitan dengan pekerjaan dan aktivitas manusia yang lain.

Data (3), (4), (5), (6), (7), (8), dan (9) menunjukkan hal tersebut.

(3) Apa kubilang, inlander itu monyet, belum juga manusia (Kurniawan, 2015:35).

(4) “Apakah ia tengah bunting?”Siapa?“Dewi Ayu”. “Jika ia ingin kawin denganmu,”kata si Jawara, “itu pasti karena ia bunting. (Kurniawan, 2015:36)

(5) Beberapa jongos dapur menceritaannya sambil berbisik, sebab jika Ted atau Marietje tahu bahawa mereka membocorkan cerita tersebut pada gadis itu, kemungkinan besar mereka dicambuk (Kurniawan, 2015:40)

(6) Keduanya hidup serumah sejak mereka masih orok, dan tak seorangpun menyadari keduanya jatuh cinta satu sama lain. (Kurniawan, 2015: 40)

(7) Makannya sangat lahap, dan tanpa diselingi bicara apapun, meskipun beberapa jongos menunggu perintahnya (Kurniawan, 2015:60).

(8) “Kau tak perawan dan kau bunting dan kau akan jadikan aku kambing hitam” (Kurniawan, 2015:50)

(9) Dewi Ayu kemudian berkata,”Sebagaimana saranmu, Mama, aku memikirkan keluargaku, dan satu-satunya yang kumiliki hanya bocah di dalam perut ini, “maka dewi Ayu membiarkan perutnya buting , semakin besar dari hari ke hari (Kurniawan, 2015:89)

Data (3), (5), (6), dan (7) merupakan penggunaan sesuatu yang tidak mengenakkan dilihat dari sebutan nama panggilan. Data (3) yang menggunakan kontruksi monyet untuk menyebut bangsa Belanda, data (5) dan (7) menggunakan kontruksi jongos untuk menyebut pria atau wanita yang diperintahkan membantu pekerjaan rumah tangga dalam sebutan yang lebih halus adalah pramuwisma, data (6) menggunakan kontruksi orok untuk menyebut bayi yang baru lahir, sedang data (8) dan (9) menggunakan kontruksi bunting untuk menyebut seorang ibu yang sedang mengandung bayi. Data-data tersebut menunjukkan penggunaan variasi vulgar sebab hal-hal tersebut sebenarnya mengandung unsur sesuatu yang tidak mengenakkan.

c) Vulgar Jenis Ketiga (Pemakaian sesatu yang tidak santun, tidak sopan/ tidak pantas)

Interaksi linguistik pada dasarnya memerlukan interaksi sosial. Agar apa yang kita katakan dalam interaksi tersebut bermakna, maka kita harus memperhatikan berbagai macam faktor yang berkaitan dengan kesenjangan dan kedekatan sosial. Sebagian dari faktor-faktor itu terbentuk khusus melalui suatu interaksi selain karena faktor luar juga. Faktor-faktor itu membuat apa yang diinformasikan lebih banyak dari apa yang dikatakan. Investigasi pengaruh ini biasanya dilakukan dalam bahasan tentang kesopanan.

Sudah lazim apabila kita memperlakukan kesopanan sebagai suatu konsep tegas, seperti gagasan ‘tingkah laku sosial yang sopan’, atau etiket, terdapat dalam budaya. Juga dimungkinkan menentukan sejumlah prinsip-prinsip umum yang berbeda untuk menjadi sopan dalam interaksi sosial dalam suatu budaya khusus. Dalam suatu interaksi ada tipe khusus kesopanan yang lebih sempit ditempat kerja.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Chaer (2010:67) yang menyatakan bahwa kalau tuturan yang santun berkaitan dengan “bahasa” yang digunakan, yaitu bahasa dengan ciri-ciri kesantunan; maka tuturan yang sopan berkaitan dengan topik tuturan, konteks situasi pertuturan, dan jarak hubungan sosial antara penutur dan lawan tutur.

Sedangkan masalah kesantunan berabahasa Leech (1983) sebagaimana dikutip Rahardi (2000:57) memberikan enam prinsip kesantunan dalam bertutur. Enam prinsip itu antara lain: a) Prinsip kebijaksanaan, b) prinsip kedermawanan, c) prinsip penghargaan, d) prinsip kesederhanaan, dan e) prinsip permufakatan.

Dalam makalah ini dibahas variasi bahasa vulgar jenis ketiga yang didalamnya terdapat sesuatu yang melanggar prinsip-priinsip kesopanan dan kesantunan berbahasa.

Hal tersebut tergambar dari data-data (10-51) di bawah ini.

(10) “Apakah kau masih mengharapkanku?” Tanya Ma Iyang. “Seluruh tubuhku telah dijilati dan dilumuri ludah orang belanda, dan kemaluanku telah ditusuk kemaluannya sebanyak seribu seratus sembilan puluh du kali.” (Kurniawan, 2015:.34)

(11) “Aku telah menusuk dua puluh delapan kemaluan perempuan sebanyak empat ratus enam puluh dua kali, dan menusuk tanganku sendiri dalam jumlah tak terhitung, belum termasuk kemaluan binatang, apakah kita berbeda?”( Kurniawan, 2015:35)

(12) Hingga tanpa sungkan, keduanya bercinta pada sebuah batu cadas ceper ditonton orang-orang yang memenuhilembah bagaikan nonton film di bioskup, perempuan-perempuan saleh menutup wajah mereka dengan kerudung dan para lelaki dibuat ngaceng tanpa berani memandang, dan orang Belanda berkata satu sama lain. (Kurniawan, 2015:35)

(13) Orang-orang mulai menganggap kegilaannya kambuh, meskipun ia tak lagi memerkosa sapi dan ayam betina dan tidak pula makan tai (Kurniawan, 2015: 36)

(14) “Kenapa kau takut padaku?”. Aku hanya ingin disentuh olehmu, dan tentu sja disetubuhi, sebab kau suamiku. (Kurniawan, 2015:50)

(15) “Pikirkanlah, kita kawin dan kau tak menyetubuhiku, “ kataku lagi. Aku tak pernah bunting dan orang-orang akan bilang kemaluanmu tak lagi berfungsi.” (Kurniawan, 2015:50)

(16) Dengan telanjang bulat, ia berdiri di depan si lelaki tua yang tetap histeris dan keras di telinga lelaki itu.“ Lakukan dan kau akan tahu aku perawan”.“Demi Iblis, aku tak akan melakukannya sebab aku tahu kau tak perawan” (Kurniawan, 2015:50)

(17) Lalu Dewi Ayu memasukkan ujung jari tengah tangan kanan ke dalam lubang kemaluannya, jauh masuk ke dalam, tepat di depan hidung Ma Gandik. Gadis itu itu meringis sedikit kesakitan, setiap kali jarinya bergerak diselangkangannya, hingga ia mengeluarkan dan memperlihatkannya pada Ma Gendik. Setetesdarah mengucur di ujung jari, dioleskannya memanjang dari ujung dahi sampai ujung dagu Ma Gedik. (Kurniawan, 2015:60)

(18) Setelah cebok denagan menyisakan sedikit air, ia mengorek tainya untuk menemukan keenam cincinnya (Kurniawan, 2015:64)

(19) Sang Komandan tampak sepakat dengan gagasan itu dan tapa berkata apa-apa segera menarik Dewi Ayu, mengangkat dan mebaringkannya di atas meja setelah menyingkirkan gelas kopi dan radio. Dengan cepat menelanjangi gadis itu dan menelanjangi dirinya sendiri... ia menjatuhkan tubuhnya di tubuh Dewi Ayu. (Kurniawan, 2015:68).

(20) Dewi Ayu memejamkan matanya, sebab bagaimanapun ini kali pertama seorang lelaki menyetubuhinya: ia agak sedikit menggigil namun namun bertahan melewati horor itu (Kurniawan, 2015:68)

(21) Tak apa, “ kata dewi Ayu pada si gadis, “ Anggap aku buang tai lewat lubang depan”. (Kurniawan, 2015:69)

(22) Ke mana-mana ia pergi dengan kereta kuda, mengurusi beberapa bisnisnya, yang paling utama tetap perempuan-perempuan yang menjajakan kemaluan mereka. (Kurniawan, 2015:83)

(23) Mereka melolong selama persetubuhan yang mengerikan itu, dan ia bahkan mendengar Helena meneriakkan beberapa baris Mazmur sementara seorang lelaki Jepang membobol kemaluannya. (Kurniawan, 2015:86)

(24) Ia merenggangkan kedua kaki perempuan itu hingga mengangkang, dan begitu pula kedua tangannya. Seteleah memandangi bongkahan daging yang tetap diam tersebut, Ia segera menelanjangi dirinya sendiri, dan melompat ke atas tempat tidur, berbaring telungkup di atas tubuh Dewi Ayu, menyerangnya. Bahkan selama persetubuhan yang dingin itu Dewi ayu tetap pada posisiny semula sebagaimana di atur si tentara Jepang (Kurniawan, 2015:86-87).

(25) Malam itu mereka mungkin disetubuhi empat lima laki-laki. Itu malam yang sungguh gila. Apa yang membuat Dewi Ayu menderita, bukanlah percintaan liar yang tak mengenal lelah itu, yang nyaris membekukan tubuhnya dalam sikap yang nesterius, tapi jeritan-jeritan histeris serta tangisan teman-temannya. (Kurniawan, 2015:87).

(26) “Tidak ada bedanya antara prajurit rendahan atau kaisar Jepang,” Kata dewi Ayu. “ Mereka semua sama mengincar selangkangan betina”. (Kurniawan, 2015:89)

(27) “ Seorang hamil karena disetubuhi bukab karena tidak dipijat”, katanya enteng (Kurniawan, 2015:89)

(28) Mereka bercinta malam itu dan bercumbu nyaris semalaman. Keduanya nampak begitu hangat bagaikan sepasang kekasih yang lama tak berjumpa. Ketika pagi datang, masih telanjang bulatdan hanya dibalut selimut satu untuk berdua, mereka duduk di depan vapilium menikmati udara pagi, (Kurniawan, 2015:121)

(29) Dewi Ayu menggeleng,”Tak selama itu”, katanya. Tapi Selama kau mampu, terutama uang dan kemaluanmu”.

(30) Aku bisa mengganti kemaluanku dengan ujung jari, atau kaki sapi jika kau merasa kurang/ “ujung jari udah cukup, asal tahu cara memakainya,” kata Dewi ayu (Kurniawan, 2015:126)

(31) “Maslahnya lelaki tak setiap hari bisa meniduriku, dan aku menerima uang buta, “ kata Dewi Ayu sambil tertawa kecil (Kurniawan, 2015:126)

(32) “ Cari gadis lain, “ia menyarankan, “semua kemaluan perempuan sama saja” (Kurniawan, 2015:129)

(33) Ia tak pulang bagaimanapun., namun dengan kasar membuka pakaian Dewi ayu dan mendorongnya ke tempat tidur. Ia membuka pakaiannya dengan tergesah-gesa dan naik ke tempat tidur menyetubuhi pelacur itu dengan ketergesaan yang sama. Setelah kemaluannya muntah-muntah, ia tegeletak sebelum turun dan berpakain, lalu meninggalkannya tanpa berkata apa-pa(Kurniawan, 2015:129-130)

(34) Ia tidak percaya sebab inilah kali pertama is ditiduri dengan kurang ajar (Kurniawan, 2015:130)

(35) Sakit hatinya bertambah-tambah jika ia mengingat betapa lelaki itu menyetubuhinya hanya dalam beberapa menit yang pendek, seolah ia bukan perempuan yang cantik yang dikagumiseluruh kota ..dan lelaki tu hanya menyetubuhi lubang toiet. (Kurniawan, 2015:130)

(36) “Kau akan cocok untuk gadis sepperti itu, “ kata kata ibunya mengibur. “Masalahnya, dadAnya belum juga tumbuh dan bahkan bulu kemaluannya belum muncul pula. Ia baru delapan tahun, “ Mama. (Kurniawan, 2015:165)

(37) Dua orang lelaki baru saja selesai menyetubuhinya, keduanya cengengesan sambil melap kemaluannya dengan ujung kemeja. Seorang yag lain sedang memasukkan tombaknya, keluar masuk dan tampak ngos-ngosan, sementara gadis itu tak melawan, seorang yang lain tengah meremas-remas kedua dadanya, sementara lelaki terakhir menunggu dengan tidak sabar sambil menggosok kemaluannya sendiri dengan tangan(Kurniawan, 2015:177)

(38) Salah satu lelaki yang telah selesai menyetubuhi si gadis, tampaknya pimpinan gerombolan gelandangan itu, berdiri menghadangnya sambil mengangkat ujung lengan kemeja. “ Kau harus lewati dulu mayatku sebelum kau bisa ikut ngentot, kata laki-laki menghadang (Kurniawan, 2015:179)

(39) Lelaki yang tengah menyetubuhi si gadis itu segera mencabut kemaluannya, meninggalkan bunyi “splosh” yang menjijikkan, dan berlari dengan wajah sepucat roti busuk, diikuti ketiga temannya (Kurniawan, 2015:180).

(40) Kliwon menggigil sejenak, dan sebelum menyadari apaun, gadis itu telah melompat ke arahnya membuat lelaki itu terjengkang di atas sofa dengan si gadis di atas tubuhnya, memeluk erat serta menciumnya dalam serangan yang nyaris ganas, semula kliwon hendak mendorongnya kuat-kuat, namun seketika ia menjadi ragu, dan hanya terdiam dengan tangan serupa orang-orang menyerah di depan regu tembak. Terutama ketika gadis itu memprotoli kemejanya, dan ia merasakan sentuahan ganas buah dada yang bulat padat menyentuh di dadanya sendiri, segalanya berakhir dalam kehangatan yang mempesona (Kurniawan, 2015:180-181)

(41) Ia menemukan kembali darah percintaannya, balas mendekap gadis itu, balas menciumnya dan menanggalkan celananya (Kurniawan, 2015: 181)

(42) Bahkan kliwon dibuat lupa oleh kenyataan itu, mendekap erat tubuh si gadis dan membalikkan posisi mereka, membuat Kliwon kini berada di atasnya, sama-sama telanjang dan sama-sama birahi. (Kurniawan, 2015: 181)

(43) Mereka mengatasi keterbatasan ruang sofa bekas sempit, dan bercinta dengan gerakan monoton namun penuh nafsu, meledak-ledak dan mengguncangkan, seperti perahu yang terhempas badai (Kurniawan, 2015:181)

(44) Kemusian setelah percintaan itu selesai baru Kliwon segera menyadari bahwa ia tak mengenal gadis itu sama sekali, sebagamana gadis gadis itu tak mengena dirinya. Mereka masih terbaring berbagi tempat di atas sofa, saling mendekap kelelahan (Kurniawan, 2015:181)

(45) “Brengsek, apa yang kau lakukan dengan selangkanganmu! , tanyanya demi melihat celana dalam terbuat dari logam dengan kunci gembok yang tampaknya tidak memiliki lubang anak kunci untuk membukanya (Kurniawan, 2015:222)

(46) “jika kau tak tahan untuk menumpahkan isi buah pelirmu, sebaiknya ke rumah pelacuran, Aku tak akan marah karena itu. Dan sebaliknya aku ikut bersenamg hati untukmu (Kurniawan, 2015:222)

(47) Pada saat itu Alamanda tak menanggalkan celana dalam besi itu seolah-olah ia seorang prajurit abad pertengahan yang selalu curiga musuh datang menyerang kapan saja ... (Kurniawan, 2015:222).

(48) Tapi Alamanda tidak sama sekali menunjukkan tanda-tanda akan menyerah, hanya membuka celana dalam besinya sejenak saja di dalam kamar mandi, selebihnya tetap memasang rapat-rapat dan membersihkan vaginanya, selebihnya ia tetap memasang rapat dengan matera rahasia (Kurniawan, 2015:222)

(49) Alamanda mencoba melawan, menolak tubuh suaminya dengan cara mendorongnya sekuat tenaga teta Si Shodancho begitu erat mendekap, menciuminya begitu liar dan meremas-remas dadanya dengan penuh napsu (Kurniawan, 2015:225)

(50) “Orang-orang meburu kemaluan”,katanya pada diri sendiri, dan aku melahirkan gadis-gadis memburu kemaluan lelaki”. ( hal. 249)

(51) Hari itu Maman Gendeng menemui Dewi Ayu di rumah pelacuran Mama Kalong. Ia datang ke kamar sebagaimana sering ia lakukan. Satu-satunya tamu Dewi Ayu yang telah pergi. “ Kenapa kau datang kemari”, tanya Dewi Ayu,. “aku tak bisa menahan birahiku”. “Kau punya istri”. .. “Aku ingin meniduri mertuaku”.( Kurniawan, 2015:257)

Berdasarakan data-data di atas, diperoleh informasi bahwa ditemukan data sebanyak 40 variasi vulgar dalam novel Cantik Itu Luka. Keempat puluh data tersebut merupakan variasi vulgar jenis ketiga ditandai penggunaan bagian tubuh, dan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas.

Jika dikelompokkan, terdapat variasi vulgar yang berkaitan dengan penyebutan bagian tubuh sebanyak 15 dan aktivitas seksualitas sebanyak 25 data.

Secara umum dalam budaya Indonesia menyebut bagian tubuh manusia yang berhubungan dengan seksualitas adalah tabu atau dilarang. Hal ini sejalan dengan pendapat Wijana (2011:112) bahwa contoh taboo of propriety adalah usaha manusia mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas, bagian-bagian tubuh yang lainnya.

Data (10-50) dapat dianalisis menggunakan teori ketidaksantunan berbahasa Leech (1983). Salah satu prinsip kesantunan sebagai mana disampaikan Leech ( 1983) dalam Rahardi (2000:61) adalah maksim penghargaan. Dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.

Data (26), (29), (32), (45) dan (46) merupakan data dimana peserta tutur mengejek peserta tutur yang lain menggunakan kontruksi yang tidak sopan. Misalnya saja data (26) merupakan upaya tokoh Dewi Ayu mengejek kepada Kaisar Jepang dengan konstruksi “mereka semua sama mengincar selangkangan betina”.

2) Referensi Bahasa Vulgar

Berdasarkan ada tidaknya referensi, variasi vulgar dapat digolongkan menjadi enam golongan. Enam golongan tersebut antara lain: a) variasi vulgar berasal dari kata keadaan, b) variasi vulgar berasal dari kata-kata binatang, c) variasi vulgar berasal dari nama mahkluk halus, d) variasi vulgal berasal dari bagian tubuh manusia/hewan, variasi vulgar dari nama-nama benda, dan f) variasi vulgar dari kata-kata bermakna aktivitas.

Berdasarkan data variasi-variasi tersebut sebagai berikut.

a) Keadaan

Kata yang menunjuk makna keadaan yang dipakai dalam variasi vulgar dalam novel Cantik Itu Luka antara lain: buting, dan horor.

b) Binatang

Kata yang menunjuk nama binatang yang dipakai dalam variasi vulgar dalam novel Cantik Itu Luka antara lain :monyet dan anjing.

c) Mahluk Halus

Kata-kata yangmenunjuk nama makhluk halus yang dipakai dalam variasi vulgar pada novel Cantik Itu Luka antara laian : Iblis, dan dewa cabul.

d) Bagian Tubuh

Kata yang merupakan kata bagian tubuh manusia yang dipakai dalam variasi vulgar pada novel Cantik Itu Luka antara lain: kemaluannya, vaginanya, pelirmu, buah dada, kontol, bulu kemaluanmu, dan sperma.

e) Benda-Benda

Kata yang menunjukkan makna benda yang dipakai dalam variasi vulgar pada novel Cantik Itu Luka antara laian :Celana dalam , tai, dan orok

f) Aktivitas

Kata-kata menunjukkan makna aktivitas yang dipakai dalam variasi vulgar pada novel Cantik Itu Luka antara laian: Birahi, menciumi, pelacuran, meludahi, meniduri, saling mendekap, mengguncang, terhempas, memeluk erat, menyetubuhi, ngentot, menyentuh , ditiduri, muntah-muntah, telanjang, menelanjangi, mekangkang, merenggangkan, meremas-remas, bercumbu, telanjang bulat, ngaceng, memerkosa, dan disetubuhi.

3) Fungsi Bahasa Vulgar

Sebagaimana variasi bahasa yang lain, variasi vulgar juga memiliki fungsi. Fungsi variasi vulgar dalam novel Cantik Itu Luka dapat dideskripsikan sebagai berikut.

a) Sebagai makian dari tokoh cerita,

Menurut Wijana(2011:109) makian merupakan bentuk bahasa yang dipakai oleh penutur untuk menyatakan segala bentuk ketidaksenangan, kebencin, atau ketidakpuasannya terhadap situasi yang dihadapi.

Selanjutnya makian berfungsi selain sebagai alat mengekpresikan ketidak senangan kebencian, atau ketidakpuasannya terhadap situasi yang dihadapi, juga berfungsi sebagai alat mengumgkapkan pujian, keheranan dan menciptakan suasana pembicaraan yang akrab (Periksa allan dalam Wijana, 2011:110).

Dalam novel Cantik Itu Luka variasi vulgar berfungsi sebagai makian terdapat pada data berikut ini.

(52) “ Tai” , Kata Sahudi. Babi itu berubah jadi manuasia” ( Kurniawan,2015:152)

(53) Sebelum memejamkan mata, ia berdoa, “Brengsek, kau tahu seperti inilah memang perang”. (Kurniawan,2015:77)

(54) “ Brengsek, apa yang kau lakukan dengan selangkanganmu! , tanyanya demi melihat celana dalam terbuat dari logam dengan kunci gembok yang tampaknya tidak memiliki lubang anak kunci untuk membukanya (Kurniawan,2015:222)

b) Sebagai alat untuk mendeskripsikan setting cerita,

Cerita yang baik adalah cerita yang mampu menciptakan imajinasi membacanya. Agar cerita mampu menciptakan imajinasi pembaca penulis perlu mendeskripsikan suatu keadaan, sehingga pembaca seakan-akan dapat melihat, mendengar dan merasakan sendiri keadaan itu.

Mendeskrepsikan keadaan adalah menciptakan keadaan itu sehingga keadaan itu menjadi hidup.

Dalam upaya sebagaimana dimaksud Eka Kurniawan memandang perlu menciptakan imajinasi pembaca menggunakan kontruksi variasi vulgar dalam beberapa adegan seksualitas dalam novel Cantik Itu Luka.

Data berikut ini menunjukkan hal di atas.

(55) Mereka mengatasi keterbatasan ruang sofa bekas sempit, dan bercinta dengan gerakan monoton namun penuh nafsu, meledak-ledak dan mengguncangkan, seperti perahu yang terhempas badai (Kurniawan, 2015:181).

(56) Kemudian setelah percintaan itu selesai, baru Kliwon segera menyadari bahwa ia tak mengenal gadis itu sama sekali, sebagamana gadis itu tak mengena dirinya. Mereka masih terbaring berbagi tempat di atas sofa, saling mendekap kelelahan (Kurniawan, 2015:181).

E. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

1) Variasi vulgar dapat digolongkan menjadi tiga berdasarkan konsep, yaitu a) vulgar disebabkan adanya sesuatu yang menakutkan, b) vulgar karena adanya sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan, c) vulgar karena adanya sesuatu yang tidak pantas/ tidak sopan.

2) Berdasarkan ada tidaknya referensi, variasi vulgar dapat digolongkan menjadi enam golongan. Enam golongan tersebut antara lain: a) variasi vulgar berasal dari kata keadaan, b) variasi vulgar berasal dari kata-kata binatang, c) variasi vulgar berasal dari nama mahkluk halus, d) variasi vulgal berasal dari bagian tubuh manusia/hewan, e) variasi vulgar dari nama-nama benda, dan f) variasi vulgar dari kata-kata bermakna aktivitas.

3) Fungsi variasi vulgar dalam novel Cantik Itu Luka sebagai makian, dan alat mendeskripsikan cerita.

DAFTAR PUSTAKA

Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung :PT Refika Aditama

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik (Perkenalan Awal). Jakarta : Rineka Cipta

--------------. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Kamus Besar Bahasa Indonesia offline versi V.1.1

Prastika, Iwayan. 2008. “Bahasa Pijin dan Bahasa Kasar dalam Acara TV Indonesia’. Jurnal e-Utama Jilid 1 2008.

Rahardi, Kunjana. 2000. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Duta Wacana University Press,

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammah Rahmadi. 2011. Sosiolinguistik ( Kajian Teori dan Analisis). Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Artikel ini telah dimuat pada blog pribadi penulis. Alamat blog:https://rasmianmenulis1.blogspot.com/2018/04/bahasa-vulgar-dalam-novel-cantik-itu.html

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post