Rasmian

Penulis lahir di Lamongan. Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Lamongan. Saat ini menjadi guru DPK di SMA Wachid Hasjim Maduran. Moto " Tak...

Selengkapnya
Navigasi Web

Gapailah Cita-Citamu dengan Tawadhu’

Semua orang mempunyai cita-cita. Cita-cita sering juga disebut sebagai impian hidup. Cita-cita biasanya dicetuskan ketika kita masih usia sekolah: SD, SMP, SMA, atau saat menempuh S1. Tiadak menutup kemungkinan cita-cita dicetuskan saat kita sudah dewasa. Ketika kita duduk di bangku SD orang tua kita sering bertanya, “kamu ingin jadi apa”. Lalu kita menjawabnya dengan beragam jawaban sekena kita, misalnya kita menjawab, “Saya ingin jadi polisi, Saya ingin jadi guru, Saya ingin jadi dokter, Saya ingin jadi insinyur, Saya ingin jadi presidean”, dan jawaban lain yang saat itu kita belum tahu apa dan babagimana cara mencapainya. Jawaban kita biasanya dipengaruhi apa yang kita lihat dan kita alami. Biasanya jawaban itu juga bisa dipengaruhi oleh keberhasilan ayah, ibu saudara atau tetangga kita. Ketika kita sudah duduk di SMP-SMA dan orang tua kita menanyai hal yang sama, biasanya jawaban kita sudah lebih bervariasi, tidak hanya jadi dokter, polisi, tentara, guru. Alasan kita menjawab pun sudah berbeda. Kalau saat SD kita tidak tahu apa alasanya, pada saat kita sudah duduk di bangku SMA kita bisa memberi jawaban mengapa kita bercita-cita ini dan itu.

Sebagian siswa SMA biasanya sudah memahami potensi dirinya. Potensi diri itu dapat kita lihat dari kesukaan/ hobi, kemampuan intelgensi, prestasi nonakademik di sekolah, atau kemampuan skil yang kita milliki. Kemampuan mengenali potensi diri inilah yang memengaruhi seseorang memutuskan apa cita-citanya. Tetapi kadang cita-cita yang dicetuskan pada saat masih duduk di bangku SMA ini juga masih berubah-ubah. Hal itu dipengaruhi oleh faktor psikologis. Anak usia SMA merupakan seorang individu yang masih mencari jati diri.

Cita-cita pada hakekatnya adalah sebuah pandangan hidup seseorang yang ingin dicapai dan diwujudkan dalam kehidupanya. Apabila cita-cita itu sudah kita miliki sejak kita berusia dini maka kita memiliki waktu yang panjang untuk mengapainya. Kita bisa menyiapkan segala hal untuk mencapai cita-cita itu.

Sama halnya dengan Anda, saya pun saat masih duduk di bangku SD, SMP, SMA mempunyai cita-cita. Ketika masih SD saya berkeinginan menjadi seorang dokter. Ketika SMP saya berubah pikiran, sehingga saya ingin menjadi seorang seorang insinyur pertanian. Cita-cita ingin menjadi insinyur pertanian bertahan sampai saya duduk di nangku SMA. Cita-cita menjadi insinyur pertanian dilatarbelakangi oleh kondisi keluarga. Ayah saya selain menjadi PNS yang bertugas sebagai penjaga sekolah juga berstatus sebagai petani. Malangnya, sebagai petani ayah saya tidak selalu beruntung. Ia sering gagal panen. Kalaupun ayah tidak merugi karena gagal panen, penghasilan sebagai petani sangat pas-pasan. Hasil pertanian biasanya tidak cukup untuk makan selama menunggu panen berikutnya.

Pada suatu waktu saya membaca artikel tentang pertanian di Jepang. Sungguh saya heran membaca artikel itu. Di Jepang, menurut artikel itu, seorang petani tidak hanya lulusan SD atau SMP atau SMA tetapi kebanyakan lulusan perguruan tinggi. Prestasi besar penati Jepang adalah kemampuannya menangulangi mitos bahwa Jepang tidak bisa hidup setelah Perang Dunia II. Nyatanya mereka bisa menanam padi, sanyuran di atas gedung bertingkat, di green hause-green hause. “Kalau orang Jepang bisa, pastilah orang Indonesia juga bisa”, pikir saya saat itu. Maka dengan keyakinan yang kuat ketika saya diterima di SMA Negeri Babat Lamongan, saya masuk di jurusan A2. Jurusan A2 adalah salah satu program di SMA yang memelajari ilmu-ilmu biologi. Selain program ini, pada saat itu jurusan di SMA meliputi A1 (memelajari ilmu fisika), A3 (memelajari ilmu sosial), A4 (memelajari ilmu bahasa), dan A5 (memelajari ilmu agama).

Di lain pihak, keluarga saya, terutama ayah, menginginkan saya menjadi seorang guru. Saya gundah dengan perbedaan itu. Maka saya pun menuliskan apa saja yang menjadi kegundahan tersebut dalam buku agenda. Termasuk yang menjadi topik buku agenda adalah cita-cita saya.

Pada suatu saat, wali kelas saya meminta izin saya untuk membaca isi buku agenda tersebut. Setelah membaca buku agenda saya, wali kelas, Pak Munasir, memberikan arhan agar saya menjadi guru bahasa. Menurut beliau saya bisa sukses jika mau menjadi guru bahasa. Pada saat tes masuk PT, saya akhirnya memilih perguruan tinggi dengan pilihan pertama jurusan Peranian, pilihan kedua Pendidikan Biologi, dan pilihan ketiga Pendidikan Bahasa Indonesia. Hal ini sesuai pertimbangan memenuhi cita-cita saya, memenhi saran orang tua dan saran wali kelas.

Tak pernah saya duga ternyata saya diterima di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Dengan pertimbangan dan motivasi orang tua saya akhirnya daftar ulang juga. Sambil daftar ulang, saya mendaftar Politeknik Pertanian sebagi calon mahasiswa. Pada saat OSPEK berlangsung saya mendapat kabar pengumuman dari Politeknik Pertanian bahwa saya diterima. Saya gembira dan akhirnya pulang ke Lamongan untuk minta restu kepada orang tua sekaligus minta biaya untuk daftar ulang di Politeknik tersebut. Tidak pernah disangka bahwa orang tua memolak pemulis pindah dari jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia ke jurusan Teknologi Pertanian di Politeknik Jember dengan alasan orang tua sudah tidak ada lagi biaya untuk daftar ulang. Tapi saya menyadari bahwa ayah menginginkan saya menjadi guru bukan yang lain apalagi menjadi petani. Dengan belajar ilmu pertanian orang tua mengira pastilah anaknya menjadi petani.

Karena saya tidak ingin melukai hati orang tua, maka dengan senang hati saya terpaksa kembali ke bangku kuliah di Jurusan Pend. Bahasa. Ternyata dengan keihklasan menerima saran orang tua, dengan niat tawadhu’ kepada orang tua, dengan niat membahagiakan orang tua, saya bisa mengikuti kuliah dengan baik, lulus tepat waktu, menjadi lulusan dengan predikat memuaskan. Yang lebih penting lagi hanya beberapa bulan lulus dari PT, saya bisa bekerja di sebuah SMA swasta di Lamongan. Pada saat ini saya dipilih menjadi kepala sekolah di sekolah itu. Sebelum menjadi kepala sekolah, tanpa diduga saya diangkat menjadi PNS.

Sungguh ini bukan karena saya pandai, pintar, atau perjuangan saya. Sungguh apa yang saya alami adalah karena doa orang tua saya, doa guru-guru saya. Doa orang tua dan doa para guru itu terus mengalir manakala kita mau menuruti saran dan arahan orang tua dan guru kita.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Barakallah pak. Salam literasi...

01 Apr
Balas

Belajar Baca Tulis. Monggo masukkannya

02 Apr
Balas

Keren pak

01 Apr
Balas



search

New Post