Ratna Mizan

Adalah guru Bahasa Inggris sekaligus Kepala Perpustakaan di MAN Kota Blitar, Jawa Timur. Alumni Magister Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Malang tah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Benang Merah Dunia Pendidikan dan Peringatan Kemerdekaan Indonesia

Benang Merah Dunia Pendidikan dan Peringatan Kemerdekaan Indonesia

Peringatan HUT Kemerdekaan RI hampir senantiasa dihiasi dengan keanekaragaman kegiatan. Terutama dalam bentuk aksi kreasi warga NKRI. Perhelatan besar setiap tahun yang hanya akan menyisakan gaungnya, jika generasi penerus bangsa tidak dapat menarik benang merah dari momen bersejarah tersebut.

Semangat perjuangan pahlawan kemerdekaan dalam menentang kolonialisme, untuk mewujudkan aspirasi rakyat dalam bentuk kemerdekaan, akhirnya terkesan tanpa makna. Lenyap dalam bentuk euphoria perayaan pertunjukan panggung hiburan ataupun lomba. Makna kemerdekaan juga akan semakin kabur, jika kita tidak dapat menghayati arti sesungguhnya dari sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan menuntut kita untuk mengisinya dengan materiil, ethis dan moril. Sebab kemerdekaan tanpa etika dan moral adalah imitasi semata, tiruan hampa dari apa yang kita cita-citakan (Soekarno, 1955). Kenyataannya, pada era globalisasi ini kolonialisme muncul dalam bentuk yang modern, yaitu penguasaan ekonomi, penguasaan material dan penguasaan intelektual. Berbagai macam penguasaan tersebut dilakukan tidak hanya oleh sekelompok orang asing, akan tetapi juga oleh bangsa kita sendiri dalam bentuknya masing-masing. Penguasaan intelektual atau kolonialisme intelektual juga memberikan efek negatif terhadap dunia pendidikan. Sebagai contoh, kita dapat melihat adanya penggunaan media ataupun bahan ajar terekomendasi di suatu lembaga pendidikan dengan tujuan memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Walaupun pada kenyataannya, hanya akan digunakan sebagai bahan ajar sampingan saja. Sehingga bagi pendidik yang tidak dilandasi penguasaan materi pembelajaran yang memadai, akan mengacaukan pengejawantahannya terhadap peserta didik. Tanpa mereka sadari bahwa dunia pendidikan memiliki peran yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa.

Pada dasarnya, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab .

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan nasional mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi harus diselenggarakan secara sistematis untuk mencapai tujuan tersebut. Selain itu, tidak dapat terlepas dari pembentukan karakter peserta didik sehingga nantinya akan mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, dan berakhlak pada saat berinteraksi dengan masyarakat. Lembaga pendidikan sebagai tempat pembentukan karakter peserta didik dituntut untuk meningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaannya. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang saat ini, yakni meningkatnya kenakalan remaja di masyarakat mulai dari tawuran, pengeroyokan, pencurian, perampokan dan tindakan asusila sebagai dampak dari kolonialisme intelektual dalam kemajuan teknologi yang tidak dilandasi dengan pendidikan karakter yang memadai. Oleh karena itu lembaga pendidikan sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik di samping keluarga dan masyarakat.

Peran Pendidik dalam Penguatan Karakter Anak Bangsa

Menurut dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter terbitan Kementerian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter didefinisikan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengambil keputusan yang baik, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ekstra kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan, apabila ditinjau dari standar nasional pendidikan, tujuan pendidikan dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai dan belum sepenuhnya berada pada tingkatan internalisasi serta tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti kita ketahui, pengimplementasian pendidikan karakter bukan hanya sebatas norma dan aturan yang tertera di atas kertas, diperlukan juga suatu tindakan dalam bentuk keteladanan dalam pengimplementasiannya. Pendidik tidak hanya sebatas menyampaikan materi dari buku, tapi juga dituntut untuk bertanggung jawab dalam memberikan nuansa pendidikan karakter terhadap materi yang disampaikan. Oleh karena itu, diperlukan tindakan khusus terhadap bahan ajar yang akan diberikan kepada peserta didik. Sesungguhnya setiap pendidik yang mengajar, haruslah sesuai dengan tujuan dari sebuah arti pendidikan secara utuh. Tujuan utuh pendidikan jauh lebih luas dari misi pengajaran yang dikemas dalam Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Rumusan tujuan yang berdasarkan pandangan behaviorisme dan menghafal saja sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Para pendidik harus dapat membuka diri dalam mengembangkan pendekatan rumusan tujuan, sebab tidak semua kualitas manusia dapat dinyatakan terukur berdasarkan hafalan tertentu. Oleh karena itu, menurut (Hasan, 2000) pemaksaan suatu pengembangan tujuan didalam kompetensi dasar tidak dapat dipertahankan lagi bila hanya mengacu pada hafalan semata.

Selanjutnya, Thomas Lickona (2003) mengatakan bahwa seorang anak hanyalah wadah di mana seorang dewasa yang bertanggung jawab dapat diciptakan. Karenanya, mempersiapkan anak adalah sebuah strategi investasi manusia yang sangat tepat. Sudah terbukti bahwa periode yang paling efektif untuk membentuk karakter anak adalah sebelum usia 10 tahun. Diharapkan pembentukan karakter pada periode ini akan memiliki dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan moral anak. Sebagai contoh, jika seorang anak dibiasakan melaksanakan sholat lima waktu sedari kecil, maka anak tersebut akan menjadikan sholat lima waktu sebagai sebuah kebiasaan. Sangatlah wajar jika kita mengharapkan keluarga sebagai pelaku utama dalam mendidik dasar–dasar moral pada anak dalam bentuk keteladanan. Akan tetapi banyak anak, terutama anak-anak yang tinggal di daerah miskin, tidak memperoleh pendidikan moral dari orang tua mereka. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah berkaitan dengan berbagai permasalahan, seperti kemiskinan, pengangguran, tingkat pendidikan rendah, kehidupan bersosial yang rendah, biasanya berkaitan juga dengan tingkat stres yang tinggi dan lebih jauh lagi berpengaruh terhadap pola asuhnya. Disinilah peran aktif dari dunia pendidikan diperlukan.

Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran

Pendidikan karakter bangsa dalam keterpaduan pembelajaran dengan semua mata pelajaran sasaran integrasinya adalah materi pelajaran, prosedur penyampaian, serta pemaknaan pengalaman belajar para peserta didik. Menurut Joni dalam Santoso (2013) penyampaian pembelajaran secara eksklusif dengan pendekatan ekspositorik hendaknya dikembangkan kepada pendekatan yang lebih beragam seperti diskoveri dan inkuiri. Kegiatan pembelajaran yang ditandai oleh pelibatan aktif para peserta didik baik secara intelektual (bermakna) maupun secara emosional (dihayati kemanfaatannya) akan lebih responsif terhadap upaya mewujudkan tujuan utuh pendidikan. Dengan adanya variasi dalam pembelajaran, maka pelaksanaan skenario pembelajaran yang di dalamnya terkait pendidikan karakter bangsa akan lebih bermakna.

Penempatan pendidikan karakter bangsa diintegrasikan dengan semua mata pelajaran tidak berarti tanpa konsekuensi. Oleh karena itu, diperlukan adanya komitmen untuk disepakati dan disikapi secara seksama sebagai konsekuensi logis. Komitmen tersebut antara lain adalah hasil belajar atau pengalaman dari sebuah pembelajaran dalam pendidikan karakter dapat berdampak langsung dan tidak langsung. Selain itu, dalam penilaian hasil belajar, pendidik diharapkan untuk selalu mengukur kemampuan peserta didik dalam semua ranah. Dengan penilaian seperti itu maka akan tergambar sosok utuh peserta didik sebenarnya. Misalkan seorang peserta didik yang menempuh ujian matematika secara tertulis, maka penilaian sebenarnya bukan hanya meliputi kemampuan mengerjakan soal-soal matematika. Akan tetapi juga dinilai kemampuan pendidikan karakternya, yaitu kejujuran dengan tidak menyontek atau bertanya kepada teman.

Kesimpulan

Untuk mengatasi permasalahan dalam pendidikan karakter yang bertujuan sebagai pelindung terhadap berbagai bentuk kolonialisme intelektual saat ini, dibutuhkan peran pemerintah serta lembaga pendidikan. Keduanya diharapkan dapat bekerjasama dalam usaha mensinergikan ketiga dimensi pengembangan kecerdasan ganda yaitu IQ (intelektual), EQ (emosional), dan SQ (spiritual) sebagai dasar dari pengembangan pendidikan karakter. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan kurikulum, kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan-kebijakan yang tepat dan proporsional agar tercipta suasana sekolah yang kondusif dan religius. Sedangkan bagi pendidik, diharapkan untuk lebih meningkatkan loyalitas serta perannya sebagai tauladan bagi para peserta didik. Pendidik juga diharapkan lebih meningkatkan wawasan dan pengetahuan keilmuan yang bersifat religius supaya bisa menjadi pendidik yang ideal dalam penerapan pendidikan berbasis kecerdasan ganda. Selebihnya, kreativitas dan keaktifan dalam menerapkan sistem pembelajaran yang berbasis kecerdasan ganda juga diharapkan dari seorang pendidik. Mampu membuat inovasi-inovasi dalam proses pembelajaran karena pendidik dituntut untuk menjadi pembimbing bukan hanya sekedar instruktur dalam mengarahkan peserta didik untuk melakukan hal-hal yang positif sehingga lembaga pendidikan akan lebih bermakna keberadaannya.*) Penulis adalah Guru Bahasa Inggris pada MAN Kota Blitar.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga karakter uang kita inginkan bisa sa tercapai

30 Jul
Balas

Mantap bunda sangat menginsiparsu

30 Jul
Balas



search

New Post