Membingkai Harapan
“Mam, besok kalo Reno SMP ga mau sekolah” kata anak lelakiku di suatu sore ketika kujemput dari tempat bimbelnya. Tetiba aku menginjak rem pada motorku karena kaget. “Bicaranya nanti saja ya Bang pas di rumah” kataku sambil terus tancap gas agar cepat sampai di rumah. Rasanya seperti ada petir yang menyambar. Ya, Reno anak lelakiku yang paling sulung saat ini sudah kelas 6 SD, dia masih punya 3 adik kembar yang jaraknya hanya 2 tahun dari Reno, dia anak yang cerdas, di usianya 3 tahun sudah hafal beberapa surat pendek dalam Al Quran, dia anak yang rajin, pintar mengasuh adik-adiknya, selalu mengalah dengan ketiga adik kembarnya, meskipun laki-laki dia selalu membantu pekerjaan rumahku.
Ibu mana yang tidak syok ketika anak lelakinya membicarakan pendidikan padahal jika dilihat dari faktor ekonomi, kami mampu membiayai anak-anak, mampu memberikan fasilitas terbaik bagi mereka, memilihkan pendidikan yang baik.
Aku tidak langsung pulang ke rumah, motorku kubelokkan ke gerai makanan cepat saji, “Koq mampir sini, Mam?” tanya Reno.
“Mama lapar, Bang. Abang juga laparkan? Kita makan dulu yuk”
“Pulang saja, Mam. Kasihan kembar nungguin kita .”
“Mama pingin bahas yang diomongin abang sama mama.”
“Di rumah saja, mam.”
“Baiklah.”
Reno segera mengajakku ke tempat parkir, “buruan mam, kasihan kembar” katanya. “iya bang, mama juga lagi jalan. Segera kupencet tombol stater, segera kulajukan motor agar segera sampai di rumah. Entah apa yang ada dibenaknya hingga diajak makan di gerai cepat saji tempat favoritnya ditolak mentah-mentah.
Begitu sampai di halam rumah, kami disambut oleh dua kembar.
“Jemput abang koq lama sih, mam?” tanya Vani
“Pasti tadi mampir dulu ya!” kata Vina
“Abang ga mau diajak mampir dik, abang inget kalian,sebentar koq Vano tidak kelihatan?” tanyaku pada mereka, dua-duanya cewek kembar.
“Biasa mam, Vano lagi asik gambar, tuh ada di ruang tengah.” Kata Vani
“Abang mandi dulu gih, setelah itu kita ngobrol yang tadi, Bang,” perintahku pada Reno.
“Baik, mam.”
Kuhempaskan tubuh ke sofa, melihat keempat anak-anak yang tumbuh sehat dan cerdas saling menyayangi membuatku banyak-banyak bersyukur, Alhamdulillah begitu banyak nikmat yang Allah berikan.
Tetiba Vano datang dengan membawa secangkir the hangat, “ini mam, diminum dulu, mama pasti capekkan?” tanyanya.
“Ish…ish…ish..biasanya ada maunya nih?” tanyaku sambil mencubit pipi gembulnya.
“Alat gambar Vano sudah habis, beliin dong mam.”
“Insyaallah besok ke toko buku ya. Makasih tehnya ya.”
“Alhamdulillah. Sama-sama mam.”
Selesai mandi Reno langsung menghampiriku di ruang tengah. “Maksud Reno ga mau SMP bukan Reno ga mau sekolah, mam.”
“Trus maksudnya apa? Bisa kasih penjelasan ke mama?” tanyaku sambil menyeruput secangkir the hangat buatan Vano.
“Reno mau ke pondok, mam. Reno mau belajar yang ada ilmu agamanya lebih banyak.”
Uhuk…huk…hukseketika aku tersedak. “Mama tidak salah dengar? Kamu yakin mau sekolah di pondok? Kamu yakin jauh dari mama dan kembar?”tanyaku karena tidak percaya.
“Yakinlah, mam.”
Baru kemarin aku menimang kamu, sekarang di usiamu yang ke 11 tahun, kamu memutuskan untuk pergi belajar ke pondok pesantren,
Katamu, “Reno ingin memberi mahkota pada ayah dan mama di surga nanti maka ijinkan Reno belajar agama, ijinkan Reno menjadi hafizh Quran.”
“Mam…,”panggil Reno dengan menepuk pundakku.
“Iya sayang, mama masih kaget…”kataku
“Ga usah kaget apalagi syok, mam. Reno itu belajar di pondok bukan kemana-mana.” Sela Reno memotong pembicaraanku.
“Pembicaraannya cukup ya, besok dilanjutkan lagi. Kita masih ada waktu 1 semester untuk mama bisa mengambil keputusan.” Kataku
“Alhamdulillah, semoga mama dan ayah mengijinkan.”
Seketika bulir bening dimataku menetas, entah apa yang terjadi dengannya, dia begitu istimewa bagi kami, menunggu kehadirannya di rahimku selama 10 tahun bukan waktu yang pendek, perjuangan mendapatkan dia, kami lakukan dengan usaha ke dokter dan alternatif. Hingga kami pasrah, menyerah kepada Allah SWT sang pemilik hidup. Hingga pada titik kepasrahan kabar itu datang, Alhamdulillah aku dinyatakan hamil. Sejak Reno lahir, hidup kami makin mapan, karier suami melesat dan aku memutuskan resign dari pekerjaanku sebagai kepala cabang di perusahaan asing.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantul.
Berkat bu reni sularsih yess
bagus sekali, lanjutin yaa
Makasih ibu...
Ank yg hebat. Dr ibu yg keren.
Fiksi bu yossa, semoga kita semua jadi ibu2 yg hebat...
Ceritane belum berakhir kan bu..?Masih ada part berikutnya kan..??
Tergantung mood pak bos