Kenakalanku mungkin sudah keterlaluan sehingga Ibu mengurungku. Aku tidak boleh bermain dengan Andin, Tisa, juga Anto. Kata Ibu, mereka membawa penyakit untukku. Waktu aku tanya nama penyakitnya, Ibu malah membentakku. Aku takut. Aku memilih lari dan masuk ke kamarku sebelum Ibu mengambil rotan dan memukulku. Ibu tak akan mau berhenti memukulku, biarpun aku menjerit kencang.

Kenakalanku barangkali tak termaafkan oleh Ibu, ketika aku tak sengaja memecahkan guci di ruang tengah. Kata Ibu, guci setinggi aku itu, dibeli Ibu di Tiongkok. Harganya mahal. Berjuta-juta, itu kata Ibu sambil berteriak memukulku. Percuma aku menangis dan meminta ampun padanya. Ibu akan tetap berteriak serupa kerasukan setelah melihat guci kesayangannya pecah berkeping-keping.

Ibu meraung menangisi guci yang tak utuh lagi. Bukan hanya saat guci pecah, bunga yang kucabut paksa, atau cairan pewangi pakaian yang tak sengaja aku tumpahkan. Ibu mengabaikan aku yang menangis di sudut kamar. Dengan bilur-bilur di punggungku. Ibu justru memeluk pecahan guci atau pot bunga yang berserakan. Padahal aku ingin dipeluk Ibu. Meskipun aku seorang anak tak sempurna.(*)

Airmolek, 10 Juni 2020