Susi Respati Setyorini

Guru kimia yang jatuh cinta dengan tulis menulis. Ingin menulis apa aja dan di mana aja....

Selengkapnya
Navigasi Web
Kamu
by Canva

Kamu

#day09

“Ayo, Kak! Buruan, nanti kita telat sholat jamaah.”

“Iya, bentar.”

“Nanti kita jadi makmum masbuk, Kak. Ayo buruan ….”

Kamu terus saja memanggil kakak perempuanmu itu. Kakak perempuan kamu satu-satunya yang leletnya minta ampun. Semua dilakukan serba lambat. Sementara kamu, anak laki-laki yang cergas. Gesit. Tak jarang kamu berlari meninggalkan kakakmu menuju langgar di ujung desa, demi salat Isya tanpa terlambat.

Kalau sudah begitu, kamu akan mendapatkan omelan ketika pulang Tarawih. Dan seperti biasanya, kamu justru menggodanya. Ulahmu sering membuatnya marah dan kesal. Tapi tak jarang, kamu berhasil membuatnya tertawa lepas.

Lulus SMA, kamu pamit akan bekerja di kota. Kakakmu hanya terdiam. Kamu tahu dia tak setuju. Dia tidak melepasmu menyusul Abang. Menurutnya, kamu masih terlalu kecil untuk bekerja di kota. Apalagi jadi kuli bangunan di proyek apartemen. Kakak perempuanmu bertanya, kamu bisa apa dengan badan krempengmu itu? Mencangkul saja kamu kepayahan. Apalagi memanggul semen, kamu pasti kewalahan.

Kakak perempuanmu ingin kamu tetap di desa menemani Emak yang mulai sakit-sakitan. Bertani bersamanya. Menanam kacang tanah atau ubi-ubian. Tidak perlu banyak uang, asal selalu kumpul. Itulah prinsipnya.

Namun, kamu tetap saja nekat pergi menyusul Abang. Waktu itu kamu hanya membawa 2 lembar uang seratus ribuan dan 3 lembar uang bernilai dua puluh ribuan. Diperkirakan uang itu bisa menopang kehidupanmu di kota menjelang mendapat upah. Semoga saja cukup, apalagi kamu bakal tinggal dengan Abang. Uang bekal dari kampung bisa ditabung atau untuk keperluan lain yang mendesak.

*

“Udahlah, kamu ikut kami aja.”

“Ngapain?”

“Nyopet.”

“Ah, nggak! Nggak mau!”

Kamu meronta kuat-kuat untuk melepaskan cengkeraman dua pria, tapi tetap kalah badan. Postur tubuh dan volume otot berbeda sangat jauh.

“Hei! Kamu harus mau. Ingat, ya, kamu hutang nyawa sama kami. Kamu nggak akan bisa pergi ke mana-mana!”

Kamu menangis. Biarpun laki-laki, kamu bisa menangis setelah kepingan-kepingan ingatan itu muncul di permukaan hatimu. Mendadak kamu ingat Emak, juga kakak perempuanmu. Barangkali sekarang kamu menyesal tidak menuruti larangannya. Pria semuda kamu memang cenderung egois dan keras kepala. Padahal sebenarnya kamu pria lemah yang cengeng.

Benar ucapan kakakmu bahwa kehidupan kota kejam. Wajahmu yang kebingungan mencari alamat menjadi sasaran empuk penguasa jalanan. Sementara mereka yang juga mengaku penguasa, berusaha merebutmu. Di sinilah awal balas budi itu terjadi.

“Hei! Kamu nangis? Cemen banget, sih lu!” bentak pria yang hampir sebagian tubuhnya bertato.

Melihat kamu masih duduk melamun, dia mulai murka. Pilihan lari ke luar rumah adalah tindakan tepat sebelum benda di pinggangnya dilepas. Sabetan benda panjang itu meninggalkan rasa perih tiada tara. Bekasnya memanjang kemerahan, disertai kulit yang mengelupas. Dan kamu sudah berulang kali merasakan panasnya pecutan itu sejak bergabung dulu.

Kamu juga anggota yang lain, harus menerima hukuman jika operasi gagal. Mungkin mendingan babak belur dalam komplotan daripada hancur di sel penjara. Namun, jika nahas menyertai, jeruji besi menjadi tempat terakhir untuk ditinggali.

*

Kamu bilang mau pulang Ramadan tahun ini. Kembali ke kampung. Bertani saja bersama kakak perempuanmu. Di kampung, kamu bebas bercanda di kali belakang rumah. Mandi-mandi di sana hingga menjelang bang tanda buka puasa berbunyi. Sejak kecil kamu dan kakakmu selalu puasa sebulan penuh. Tak ketinggalan salat Tarawih di langgar ujung desa.

Namun, setahun di kota, kamu berubah. Tak lagi puasa apalagi Tarawih. Kamu justru beroperasi siang malam bersama komplotanmu. Mengumpulkan isi dompet untuk dijadikan setoran.

Kamu pernah bilang kamu lelah. Kamu ingin pulang. Namun, usahamu untuk tobat gagal. Meskipun kamu berlari sekuat kamu bisa, dengan kaki-kaki lemahmu yang mencoba fokus pada usaha menyembunyikan diri. Sehari mungkin kamu aman. Namun, tidak pada hari berikutnya. Akhirnya, kamu tertangkap.

Ubin tempatmu berdiri bisa merasakan entakan kaki yang bersarang di dadamu yang tipis. Drama penyiksaan menjadi tontonan anggota lain sebagai pengingat jika mereka berani mencoba kabur.

Bugh!

Kamu tersungkur. Kali ini tanpa napas menyertai.

*

Suara kakak perempuanmu tersabur isak tangis. Air matanya membuat jejak di pipi. Kabar terakhir kamu ingin pulang. Ingin takbiran bersama teman-teman mengajimu. Ingin lebaran di kampung saja. Katamu di kota banyak orang jahat yang suka memukul.

Sesal tergambar di wajah kakak perempuanmu. Andai waktu bisa diputar kembali, kakakmu ingin menahan tanganmu saat hendak pergi. Menarik tanganmu kuat-kuat agar urung naik bus menuju kota.

Andai kamu menurut waktu itu, tubuh ringkihmu tidak perlu menahan tendangan, pukulan, atau hantaman fisik lainnya. Kamu pasti masih hidup. Masih berlari berkejaran menuju langgar di ujung desa. Atau masih menyusuri kali mencari ikan di sana.

Benar adanya. Kamu mencari jalan takdirmu di kota. Mati mengenaskan di kota, tanpa ada yang mengenalmu.(*)

Airmolek, 4 mei 2021

#marathon_kelascerpen2

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

05 May
Balas

terima kasih sudah mampir

05 May

terima kasih sudah mampir

05 May

Bunsay, POV orang kedua dalam cerita yang sangat keren! Enin berguru betul, ni, Bunsay. Makasih sudah menuliskannya dalam cerita yang mengharu biru. O, ya, maaf, ada sedikit tipo. Lebar, mungkin maksudnya lembar. Duapuluh harusnya dipisahkan ya, Bun? Salam sukses selalu, Editorku nan smart.

05 May
Balas

Aih terima kasih

00:31

Wah, keren. POV 2. Cerita tentang kejamnya kehidupan di kota besar.

05 May
Balas

perlu persiapan bukan kenekatan. terima kasih sudah singgah di lapak saya bu

00:30

Terharu sy membaca cerpen bunda... hiks.. Selalu ok

05 May
Balas

tHiks, bu Nur, mana cerpennya?

05 May



search

New Post