Susi Respati Setyorini

Guru kimia yang jatuh cinta dengan tulis menulis. Ingin menulis apa aja dan di mana aja....

Selengkapnya
Navigasi Web
Kenangan
by Canva

Kenangan

“Kita makan siang di mana, Mas?”

“Di Kenangan aja, ya. Mau, ‘kan?”

Obrolan pagi ini terjadi beberapa saat sebelum kamu berangkat ke kantor. Kamu mengajak Elma makan siang. Seperti yang sudah-sudah, jawabanmu adalah kalimat kata tanya retoris. Hal yang tak perlu ditanyakan lagi karena sebenarnya Elma sudah tahu jawabanmu. Kenangan. Sebulan ini kamu gemar makan di sana. Sebuah rumah makan ‘biasa’ yang menurutmu sajiannya ‘luar biasa’. Terkadang tidak perlu gedung megah untuk menunjukkan kualitas rasa di dalam sebuah sajian. Emperan pun kalau enak patut direkomendasikan, ucapmu kala itu.

Setelah menekan klakson tanda pamit dan melajukan mobil keluar pagar, kamu pun menghilang ditelan ribuan pengendara lain di jalanan yang padat. Sekitar 15 menit biasanya kamu akan berkendara menuju kantor ditemani lantunan lagu dari radio. Jari-jarimu diketuk-ketuk mengikuti iramanya. Sekali-kali bibirmu ikut bernyanyi. Kepala ikut pula bergerak.

Sampai di pelataran parkir gedung berlantai 20 itu, kamu menghentikan radio dan hendak keluar mobil. Ponselmu berdenting mencegahmu keluar.

Mas, ada kafe baru launching dekat Hotel Amarilis. Kita coba, yuk.

Kamu tidak membalas pesan itu, malah menekan tombol hijau untuk memanggilnya.

“Jam sebelas aku jemput, kita ke Kenangan, ya. Luv you. Bye.”

*

Bukan kamu kalau tidak tepat waktu. Setelah pekerjaanmu rampung, kamu menggesa langkah menuju parkiran. Arlojimu belum genap di angka 11, tetapi butuh waktu menjemput Elma.

Klakson berbunyi dua kali. Kamu melihat Elma sudah rapi dengan baju kasualnya. Meski belum berhijab, istrimu tidak pernah lagi menggunakan pakaian yang terbuka. Ya, sejak menikah setahun lalu, kamu kerap memberinya nasihat untuk menutup aurat.

“Ke mana kita, Mas?” Istrimu masih saja bertanya. Mungkin dia berharap kamu berubah pikiran.

“Ke Kenangan.”

Hal yang sia-sia jika Elma berharap padamu mengubah arah ke kafe yang dia ingini. Kamu tetap saja melajukan mobil ke daerah Metro selatan.

Resto sederhana dengan bentuk seperti rumah lama dengan jendela kayu tanpa terali. Angin bebas masuk jendela tanpa kisi ini. Sejuk. Ditambah kipas angin di langit-langit. Hal itulah yang menjadi alasan kamu menyukai resto ini, selain menunya tentu.

“Mbak, saya seperti biasa, ya.”

“Yang baru apa, Mbak?” tanya Elma.

“Ada ayam dan ikan kemangi. Sambal juga ada varian baru.” Pramusaji mempromosikan menu baru di Resto Kenangan.

“Oke, deh. Saya mau itu.”

“Minumnya seperti biasa, ya, Pak?”

“Ya.”

Setelah pramusaji berseragam itu pergi, Elma menegurmu. “Kamu nggak bosen sama menu itu terus, Mas?”

Kamu cukup menggeleng.

*

Sementara itu di dapur Resto kenangan, juru masak sedang menyiapkan segala macam bumbu dan rempah untuk memulai memasak menu-menu pesanan. Racikan setiap menu dipastikan tepat sehingga wajar jika beberapa lidah akan setia dan menjadi pelanggan tetap resto ini.

“Meja empat, sambal goreng ati petainya ditambah. Seperti biasanya. Ini pesanan Pak Kevin.”

Seorang juru masak yang meracik bumbu menu sambal goreng ati terlihat cekatan. Sepertinya dia juga sudah hafal dengan permintaan pelanggan yang satu ini.

*

“Atau ….” Pertanyaan Elma tak sampai selesai.

Kamu mengangkat wajahmu. “Atau apa?”

Elma mengedikkan pundakmu. “Mungkin ada kenangan di sini atau dengan sambal goreng ati sampai kamu nggak bisa ke lain tempat.”

“Bukan nggak bisa. Sudah pernah aku coba. Tapi tetap saja di sini yang pas di lidah aku.”

“Ya, tapi menu masakan kan gak cuma sambal goreng ati, Mas.” Elma mulai senewen.

“Sambal goreng ati ini persis masakan Ibu.” Kamu menghela napas. “Coba kamu bisa ….”

Elma tiba-tiba terdiam. Kamu dan Elma tenggelam dalam potongan-potongan ingatan yang sedang terusik kembali. Setelah semua pesanan tertata di meja, kamu makan dengan lahap. Denting sendok dan garpu mengisi kekosongan makan siang kamu dan Elma.

Setahun lalu, tepatnya beberapa bulan setelah menikah, kamu mengajak Ibu untuk tinggal bersamamu. Kamu ingin, salah satu pintu surgamu menghabiskan hari tuanya bersama anak, menantu juga cucu-cucu. Keinginan sederhanamu direspons beragam oleh Elma. Puncaknya, Elma mengusir Ibu. Kejadian ini persis sinetron tontonan istrimu saban hari.

*

“Selamat menikmati, Nak.” Seulas senyum menghiasi wajah menua itu.

Airmolek, 22.05.2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih bunda atas koreksinya

07 Sep
Balas

Terima kasih bunda atas koreksinya

07 Sep
Balas

Cerpen yang bagus Bun. Salam literasi

23 May
Balas

terima kasih ibuuuu

24 May

kenangan tak akan hilang meski waktu telah lekang. amazing Bunda Respati

22 Aug
Balas

Terima kasih

07 Sep

Ditunggu lanjutan cerpennya bund. Keren dan sukses selalu

23 May
Balas

Saya agak bingung dengan kalimat Elma mengedikkan bajumu. Bagaimana Bunda? Ceritanya keren pokoknya.

24 May
Balas

bahumu

24 May



search

New Post