Susi Respati Setyorini

Guru kimia yang jatuh cinta dengan tulis menulis. Ingin menulis apa aja dan di mana aja....

Selengkapnya
Navigasi Web
Mencintai dalam Doa
by Canva

Mencintai dalam Doa

#day10

“Kamu sudah janji sama aku, Mas! Kenapa kamu ingkari?”

“Ingkar?” Suara Hamam sedikit naik. “Aku nggak sengaja ketemu Aminah di jalan desa. Dia mau beli takjil, ya udah aku ajak bareng. Cuma itu.”

“Sekarang kamu bilang cuma itu. Besok-besok kalian janjian di tempat lain?”

Hamam beristigfar panjang. Kedua tangannya meraup wajahnya sambil mendengkus kasar. Bukan kali pertama dia dan Usi berselisih paham karena Aminah. Sebagai calon istri Hamam, akhir-akhir ini Usi sangat posesif. Acapkali rasa cemburu menguasai perempuan berambut ikal itu. tak jarang dia bisa sangat emosional. Seperti sore kemarin, ketika Hamam tidak sengaja bertemu Aminah di jalan.

Selama Usi meluapkan emosi, Hamam lebih banyak diam dan membiarkan tunangannya itu membebaskan amarahnya. Setelah reda, biasanya Usi menuntut janji pada Hamam.

“Janji, ya, Sayang.”

“Janji buat apa?”

“Janji nggak ketemu sama Aminah lagi!” rajuknya.

Hamam menghela napas panjang, lalu mengangguk. Lebih aman begini, mengikuti maunya. Meskipun kata hatinya mengingkari.

*

Tarawih malam ini adalah malam ke-27. Jamaah salat Tarawih lebih banyak dari malam-malam sebelumnya. Safnya bertambah. Malam ini ada ustaz dari kota yang akan memberikan ceramah usai salat Isya nanti. Selesai salat Tarawih dilanjutkan makan bersama. Biasanya nasi kebuli buatan ibu-ibu pengajian. Kegiatan ini memang kerap dilakukan setiap Ramadan tiba.

Aminah termasuk yang terlibat pada kegiatan ini. Dia sudah hadir di masjid lebih awal dari panitia lain. Usai berbuka, gadis berhijab itu sudah membantu Bu Kamila memotong beberapa kue dan menata buah.

“Min, piring-piring sudah dilap? Kalau sudah ditata di meja panjang itu.”

Aminah menurut. Dia selalu cekatan membantu bagian konsumsi setiap ada acara di desa. Setelah piring, Aminah mencari sendok.

“Sendoknya mana, Bu?”

“Waduh, sendok masih di rumah Bu Raharjo. Kamu ambil ke sana, ya, Min?”

Sebelum mengiakan, Aminah sempat terdiam. Bu Raharjo? Itu berarti Aminah harus ke rumah ibu Hamam.

Gurat keraguan terlihat jelas oleh Bu Kamila. “Kenapa, Min?” tanya Bu Kamila menelisik wajah Aminah yang gugup. “Min, kamu kenapa?” Pundak Aminah ditepuk pelan.

Aminah terkelinjat. “Eh, iya, Bu. Saya ambil.” Tanpa menoleh lagi, Aminah berlalu dan dengan cepat mencari sandalnya.

Di halaman masjid seorang remaja memanggilnya, sambil berlari mendekat. “Mbak Amin mau ke mana? Sari boleh ikut ndak?”

Aminah lagi-lagi hanya mengangguk. Sari tersenyum dan menyusul Aminah yang berjalan lebih dulu. Sepanjang jalan Sari banyak bertanya, tetapi Aminah hanya membalas seperlunya. Saat ini pikirannya sedang tidak fokus. Kakinya terus melangkah tanpa memedulikan Sari yang berhenti di depan gang.

“Mbak Amin!” teriaknya memanggil. “Rumah Bu Raharjo belok sini!”

Aminah berhenti mendadak. Sejenak dia menoleh ke kanan dan kiri. Benar saja. Dia sudah melewati gang menuju rumah orang tua Hamam. Keringat dingin mulai terlihat. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat. Aminah salah tingkah memasuki halaman rumah Bu Raharjo.

“Aminah? Kamu kenapa? Sakit?” tanya wanita berumur itu mengejutkan. Perempuan itu mengulurkan bungkusan pada Aminah. Rupanya, Bu Raharjo sudah menantinya.

“Tidak, Bu. Maaf, saya langsung ke masjid, ya, Bu.” Aminah menggesa langkahnya meninggalkan pelataran rumah Hamam. Dia benar-benar gugup. Kepalanya celingukan dan sesekali menoleh ke belakang.

“Mbak Amin, cari siapa?” tanya Sari menyelidik.

Aminah bungkam. Saat ini dia sedang tidak ingin bertemu penghuni rumah itu. Walaupun tanpa disadari, seseorang mengamatinya dari balik gorden.

*

Usi duduk di kursi makan memperhatikan berbagai macam menu yang tersaji di meja makan. Dari piring-piring yang tertata itu, tak ada satu pun menu yang memantik air liurnya. Masakan rumahan khas pedesaan. Beberapa bahkan tidak dikenalnya. Wajah Usi tampak tegang. Dia ingin memilih satu masakan yang mungkin bisa ditelannya.

Pecal. Ya, cuma itu yang dikenalnya. Selain tempe goreng.

“Ini pecal terenak menurutku,” ucapnya memuji.

“Masakan Ibu pasti enak.” Usi menerka.

“Bukan. BUkan buatan Ibu.”

“Lantas?” Mata Usi menuntut jawaban.

“Aminah. Dia jago masak. Apa saja masakannya pasti enak.”

Usi terdiam. Tenggorokannya seperti enggan menelan.

“Sayang, besok aku kenalin, ya.”

Denting sendok dan garpu mengisi kekosongan. Masing-masing tenggelam mengisi ruang kosong dalam lambung setelah 12 jam kosong.

*

“Jadi kamu cemburu? Aminah dan saya tidak pernah ada hubungan.”

“Iya, nggak ada. Tapi kamu nggak tahu Aminah suka sama kamu, Mas!”

“Suka? Aminah suka sama saya? Dari mana kamu tahu?”

Usi terdiam. Dia hanya membuang pandangannya ke arah luar jendela rumahnya. Dengkusan kesal terdengar setelah dia beranjak dari duduknya.

“Kamu belum jawab, dari mana kamu bisa punya kesimpulan begitu?”

Tenggorokan Usi tercekat. Penyesalan baru saja hinggap. Seharusnya Hamam tidak perlu tahu rasa yang dimiliki Aminah.

“Lebih baik kita fokus dengan pihak WO yang sudah ada di ruang tamu daripada membahas perempuan desa itu!”

Hamam kesal. Bukan dia yang memulai membahas Aminah, teman kecilnya dulu. Apa yang salah dengan hubungan mereka dulu dan sekarang? Dulu dan sekarang mereka berteman baik. Tidak ada jarak seperti sekarang setelah Hamam mengenal Usi.

Usi terlalu posesif dengan hubungan Hamam dan teman-temannya, terutama yang berkelamin perempuan. Bahkan hormone cemburunya naik lima kali menjelang resepsi pernikahan mereka.

Pria mapan itu memang wajar dipertahankan. Dan Usi wanita yang beruntung bakal memiliki Hamam seutuhnya. Wanita berambut hitam yang ditata kriting gantung itu tampak berkelas. Wanita smart dan terpelajar. Jika bersanding dengan Hamam, sangat serasi. Namun, siapa menduga justru dia kerap merasa tidak percaya diri, justru di hadapan wanita sederhana seperti Aminah.

Di ruang tamu, pihak WO sedang mempresentasikan konsep yang mereka susun sesuai permintaan Hamam dan Usi. Sebuah resepsi dengan konsep outdoor. Hamam mendengarkan detail penjelasan WO, memeriksa semua vendor yang akan terlibat, mengamati video survei gedung lokasi pesta sampai ke parkiran. Dia juga minta lokasi parkirnya harus senyaman mungkin agar para tamu undangan tidak mengeluhkan lokasi parkir. Hamam memang pria perfecsionis.

Namun, tidak dengan Usi. Sejak tadi wanita itu tidak fokus. Tatapannya kosong. Angannya terbang bersama gelisah hatinya. Padahal, dia sendiri yang mengatur pertemuan dengan pihak WO.

Sesekali dia menyelia wajah tampan yang sebentar lagi akan menjadi imamnya. Usi patut berbangga hati akhirnya Hamam mantap meminangnya. Pria itu menolak jodoh yang disiapkan orang tuanya. Namun, kenyataannya Usi justru diselimuti ketakutan. Melihat Aminah muncul kembali dalam kehidupan Hamam, terbit purbasangka. Benarkah Hamam tidak akan berpaling?

“Sayang? Kamu kenapa? Dari tadi kamu bengong.” Hamam mengusiknya.

Usi terkesiap. Dia memperbaiki letak duduknya yang tak salah. Gugup dia menyambung pembicaraan.

“Sampai di mana?”

“Sudah selesai, Bu.” Jawaban Mbak Puspa perwakilan WO membuatnya terkejut.

Sekilas dia melirik Hamam sebelum buru-buru izin ke toilet.

*

“Amin, kamu mau ke mana?”

“Em, mau beli takjil.” Aminah menunduk.

“Oh, barengan, yuk!” Hamam mengajak Aminah naik ke atas motornya.

Aminah menolak. Pertemuan singkat itu adalah pertemuan pertama Aminah setelah sekian lama Hamam tidak mengunjungi Bapak dan Ibu Raharjo.

Aminah tidak pernah menyangka jika sore itu, usai membeli takjil, Usi datang sendirian. Tatapan tajam wanita kota itu sarat intimidasi. Matanya menelisik dari atas kepala yang tertutup kerudung hingga alas kakinya. Tanpa perlu penjelasan, Aminah mengetahui maksud kedatangan tunangan Hamam ini.

“Kamu tahu kan Hamam mau menikah?”

Aminah mengangguk.

“Kalau tahu jauhi dia!”

Kembali Aminah mengangguk dan kali ini ada seulas senyum terbentuk di bibirnya. Gadis itu tak membuat klarifikasi apa pun tentang pertemuannya dengan Hamam kemarin sore. Aminah juga membiarkan Usi menekannya dengan kalimat-kalimat sarkas. Lagi-lagi, dibalas dengan senyuman.

“Jangan kamu bilang, kamu menyukai calon suami saya, ya!”

Mata Aminah yang sedari tadi menunduk, pelan-pelan terangkat. Kembali senyuman terbentuk. Kali ini ujung bibir kirinya tertarik ke atas. Dia meninggalkan Usi yang kesal dengan sikapnya.

Mendoakan adalah cara mencintai yang paling rahasia, bisik Aminah sambil menutup pintu rumahnya.

Airmolek, 06 Mei 2021

#marathon_kelascerpen2

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen yang sangat keren, Bunsay.

23:20
Balas

terima kasih

08 May

Ternyata Aminah diam-diam mencintai Hamam. Keren ceritanya, bukan tidak mungkin ini ada di kehidupan nyata. Mantap Bu.

09 May
Balas

mencintai dalam diam ya bu

10 May

Keren... mantap bunda

16:03
Balas

Terima kasih ibu

22:41



search

New Post