Susi Respati Setyorini

Guru kimia yang jatuh cinta dengan tulis menulis. Ingin menulis apa aja dan di mana aja....

Selengkapnya
Navigasi Web
Opor Ayam Ibu
by Canva

Opor Ayam Ibu

Dua

Takbir terus bergema dari tiap surau. Seruan ini seperti penegas, perjuangan sebulan penuh telah mencapai finish. Secara harfiah, puasa telah usai. Menahan diri dari segala nafsu juga usai. Namun, apakah hanya di bulan ini?

Orang bilang hari ini hari kemenangan. Kemenangan dari sebulan bisa menahan diri. Bukan hanya baju baru, rumah tertata rapi lengkap dengan jejeran stoples turut mewarnai hari kemenangan. Kue kering, kue basah, lontong dan ketupat, opor ayam lengkap dengan sambal goreng ati pedas nan menggiurkan menjadi penanda hari itu telah tiba.

Sejak pagi, bahkan sebelum kokokan ayam jantan terdengar, Ibu sudah bangun. Urusan di dapur belumlah selesai. Pagi ini, Ibu akan memasak opor ayam. Bumbu yang telah disiapkan mulai ditumis. Aromanya menggelitik hidung sehingga beberapa kali Kinanti bersin.

Di meja makan sudah tertata sambal goreng ati, kerupuk udang, beberapa iris cake dan puding di piring. Potongan lontong juga ketupat, diletakkan di wadah besar.

Bunga mengiris tipis daun pandan dan mencampurnya dengan berbagai macam bunga, seperti mawar merah, beberapa kuntum kantil, dan melati. Sebuah keranjang ayaman bambu sudah disiapkannya beserta ceret yang diisi air. Setelah selesai, gadis itu membawanya ke teras.

Bang Subuh yang mengalun merdu mengatur langkah Bunga menuju kamarnya untuk melaksanakan dua rakaatnya.

Sementara di dapur, Embun bertanya pada Kinanti.

“Mbak nggak sholat?”

“Nggak.”

“Kinan, selesaikan beresin dapur, ya. Ibu mau mandi terus subuhan,” pungkas Ibu.

Kali ini Kinanti tidak ikut ke alun-alun mengikuti salat Id. Kodrat wanitanya menghalangi untuk bisa salat berempat. Sama seperti tahun lalu, formasinya pun tidak lengkap. Namun begitu, masih banyak pekerjaan rumah yang sedang menunggunya.

“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Kinanti sebelum menutup pintu depan, melepas Ibu dan saudara-saudaranya berangkat menuju alun-alun.

Lebaran tahun ini, lebaran ketiga tanpa Ayah. Seperti Lebaran tahun lalu, terasa ada yang kurang. Terutama saat sungkeman. Tidak ada Ayah yang mengelus lembut setiap kepala ketiga putrinya, yang mencium kening mereka satu per satu. Itu momen yang paling dirindukan ketiganya. Bunga, Kinanti, dan Embun.

Ibu, Bunga, dan Embun berjalan berdampingan. Mereka memotong jalan melewati gang agar lebih cepat sampai ke alun-alun. Sejak kecil, alun-alun merupakan tempat salat Idul Fitri–maupun Idul Adha–yang selalu mereka kunjungi. Meskipun harus ditempuh dengan berjalan kaki, tak menyulut semangat mereka untuk dapat berkumpul dengan jemaah lain di sana. Ibu tidak pernah mau menggunakan mobil untuk sampai ke sana. Ibu merasa masih sanggup untuk berjalan kaki bolak-balik.

Setiap penghuni rumah di gang itu mengenal Ibu. Tak ayal lagi, selalu ada senyum dan sapa mereka menyambut Ibu.

“Mbakyu, nanti mampir!” ajak Bulek Parti–mereka bertiga memanggilnya Bulek. Belum jelas hubungan kekerabatannya dengan Ibu sehingga ketiga anaknya memanggil perempuan gempal itu dengan sebutan ‘Bulek’.

“Iya, insyaallah,” sahut Ibu tanpa berhenti.

Beberapa langkah di depan, ada pria yang berjambang tipis, mengenakan kemeja koko putih lengkap dengan sarung dan pecinya. Siapa pun yang melihatnya pasti setuju kalau pria ini, tampan. Ditambah senyumnya yang terkembang. Tangannya terangkat setinggi pinggangnya berniat menyapa.

“Dek, itu Ndaru?” bisik Bunga pada Embun.

Sementara itu, yang ditanya hanya kikuk dan salah tingkah. Bunga menyikut lengan Embun.

“Biasa aja, dong. Salting gitu sih, Dek?” usik Bunga lagi.

Tak disangka pria itu menghampiri Ibu ketika langkah mereka semakin mendekat. Endaru mengucap salam dengan menangkupkan kedua tangannya di dada. Ibu membalas salamnya.

“Belum berangkat?” tanya Ibu menyapa pemuda yang berdiri di depan pagar rumahnya.

“Nunggu Umi, Bu,” jawabnya.

“Oh ya, salam untuk Umi. Ibu duluan, ya.”

Endaru mengangguk. Matanya sekilas melirik ke arah Embun.

“Mbak, salam buat adeknya, ya,” celetuknya pada Bunga.

“Ya, nanti saya sampaikan.” Bunga menimpali dengan tertawa pelan.

Sepanjang jalan Bunga menggoda adik bungsunya. Embun hanya bisa pasrah menjadi korban perundungan sang kakak.

“Bu, Endaru ganteng ya, Bu,” ucap Bunga tiba-tiba.

“Iya, menantu idola. Ganteng, sholeh, nggak ada kurangnya.”

“Jadi, Ibu setuju, ‘kan?”

Buru-buru Embun mencubit lengan kakaknya hingga menjerit.

“Adooww, sakit, Dek!” erang Bunga.

“Rasain!” ejek Embun.

Embun menggelar tikar di hamparan rumput alun-alun. Masih ada sisa-sisa cairan bening menempel di lembaran daunnya. Mereka bertiga duduk menghadap mimbar yang jauh di depan sana. Sejauh mata memandang, lautan manusia berkumpul di lapangan yang luas ini memutih menutup karpet alam.

Jamaah salat Id terus berdatangan memenuhi alun-alun. Seperti halnya saf laki-laki, saf perempuan di sekitar Ibu juga mulai penuh. Bibir terus mengumandangkan takbir, tasbih, tahlil, juga tahmid. Masing-masing berucap syukur telah berakhirnya sebuah pertarungan. Hari ini, semua menyambut hari kemenangan. Inilah hakikat Idul Fitri. Setelah berjuang sebulan, manusia terlahir kembali. Menjadi suci layaknya bayi yang baru lahir.

Ibu khusyuk menyimak khotbah, demikian juga Bunga dan Embun. Mereka terlarut dalam untaian doa yang dipanjatkan oleh imam untuk mengakhiri rangkaian salat Id ini.

Bunga memeluk Ibu. Putri sulungnya itu cukup mengerti kondisi ibunya. Pada saat seperti ini, siapa pun akan terkenang anggota keluarganya yang telah berpulang. Tak terkecuali Ibu. Pasti Ibu rindu Ayah. Bunga mengusap lembut lengan Ibu.

“Yuk, kita samperin Ayah,” ajak Bunga.

Mereka bertiga bergegas pulang. Pasti Kinanti sudah menunggu untuk bersama-sama mengunjungi makam ayah mereka.

Bersama rindu yang tak pernah lepas dari raga, mereka sedang bersimpuh di sebuah makam. Rumput jepang menutupi seluruh makam Ayah. Ibu mengelus nisan, bak mengelus lembut kepala Ayah. Kasih sayang Ibu seolah tak luntur meski mereka terpisah alam. Bunga dan Embun, masing-masing merapal doa dalam hati. Tak terkecuali Kinanti yang sedari tadi di sebelah Ibu.

Kinanti memperhatikan Ibu. Matanya terus menelisik setiap inci wajah Ibu yang masih terlihat cantik di usianya. Bibir tanpa polesan itu masih membisikkan doa untuk kekasihnya itu. Tangan Ibu gemetar saat menabur bunga di pusara Ayah. Namun begitu, tidak terlihat linangan air mata. Hanya ada seulas senyum. Namun, Kinanti yakin Ibu menyimpan sedihnya sendiri. Kinanti menghela napasnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantaaap

07 Feb
Balas

Eh, bunda. Masih ada boyoknya??? .Terima kasih sudah mampir. Terima kasih juga atas bimbingannya selama ini peyuk virtual

07 Feb

Wow, tulisan yang amat keren. Saya akan belajar banyak melalui tulisan keren ini. Salam SKSS. Izin memfollow ya, Bund.

07 Feb
Balas

Terima kAsih ibu

10 Feb

Terima kAsih ibu

10 Feb

Bu Guru kimia yang jatuh cinta dengan menulis, kereeen, tegas dan mantap surantap, ikut ah

07 Feb
Balas

Ibu juga mantap. Tulisan ibu jg kece badai.

07 Feb



search

New Post