Susi Respati Setyorini

Guru kimia yang jatuh cinta dengan tulis menulis. Ingin menulis apa aja dan di mana aja....

Selengkapnya
Navigasi Web
Ra Cookies
by Canva

Ra Cookies

#day08

Ra Cookies

“Dara, jangan lupa. Masih ada satu loyang lagi.”

Pesan Ibu itu menempel di telinga Chandara, sekitar sejam yang lalu. Dengan posisi memeluk bantal, waktu sejam terasa singkat. Dia terusik dengan indra penciumannya yang membaui aroma gosong dari arah dapur. Matanya membeliak, spontan meloncat turun dari kasurnya dan berlari menuju dapur.

Terlambat. Asap sudah menguasai ruangan. Buru-buru Dara mematikan kompor dan mengeluarkan satu loyang berisi nastar yang warnanya tidak lagi kuning.

Panik menyerang Dara seketika. Dia mondar-mandir sambil memegang kepalanya. Bingung. Kelalaiannya pagi ini telah membuat ibunya merugi. Satu loyang nastar pesanan ini, bernilai rupiah yang tidak kecil untuk ukuran keluarganya. Terbayang olehnya lembaran rupiah itu tiba-tiba lenyap.

Dara menggeleng. Berkali-kali Dara merutuki dirinya sendiri. Memaki kebodohan dan kelalaiannya. Padahal Ibu sudah mengingatkan. Akan tetapi, Dara malah membuat Ibu kecewa. Dia menggigit bibir bawahnya sambil terus mengais solusi yang mungkin masih tersisa.

Ucapan maaf tidak mungkin bisa mengembalikan nastar hitam itu kembali kekuningan. Membuat ulang, berarti membutuhkan bahan-bahan yang baru saja habis. Ibu ke pasar karena stok bahan kuenya habis, sedangkan pesanan masih terus datang.

Kata orang, Ramadan membawa berkah untuk siapa saja yang mau berusaha. Termasuk Ibu. Sejak Ayah meninggal, Ibu yang menggantikan pundaknya menopang kebutuhan keluarga. Beruntung Ibu mempunyai kemampuan membuat kue dan semacamnya. Kebutuhan sekolah Dara dan biaya hidup mereka berdua, berasal dari kue-kue ini.

Potongan-potongan ingatan dari peristiwa di masa lalu muncul satu per satu. Tanpa diundang, kejadian lampau itu kembali mengusik. Dara ingat betul bagaimana walikelasnya menahan rapor hasil belajarnya hanya karena tunggakan uang sekolahnya. Malu dan tentu saja kesal.

Dara mencoba mengerti, ibunya sudah mengorbankan banyak tenaga untuk mengais rezeki. Bertahan hidup demi masa depan yang diharapkan lebih baik. Namun, jiwa remaja yang labil mencoba masuk dan mengusik jiwanya. Dara terjebak pada kondisi ‘menentang’ takdir.

Dara terduduk di lantai memandangi loyang yang berisi nastar hitam dengan kekecewaan yang mendalam. Dia tidak bisa membayangkan kemarahan ibunya nanti. Kilatan peluh dan lelah Ibu usai sahur muncul di pelupuk matanya. Tangan yang mulai menua itu mengaduk adonan, memilin, membentuknya dalam loyang-loyang.

Pintu belakang terkuak. Biasanya Ibu akan masuk dari pintu belakang sepulang dari pasar. langkah kaki menyentuh ubin, terdengar mengentak di telinga Dara. Gadis itu pun sedang bersiap mendengar kemarahan Ibu demi melihat dapur penuh asap dan seloyang nastarnya yang hangus.

“Dara!” panggil Ibu.

Beberapa saat Dara masih tertunduk, dia benar-benar takut. Matanya ikut terpejam.

“Dara lihat Ibu!”

Pelan Dara mengangkat wajahnya, mendongak melihat raut muka Ibu yang naik pitam.

“Kamu nggak bisa dikasih tanggung jawab, ya? Ibu kecewa sama kamu!” bentak Ibu.

Ada sepotong diam sebelum Dara menjawab, “Maaf, Bu. Dara ketiduran.”

“Mulai hari ini kamu bantu Ibu. Tidak ada lagi acara buka bersama atau apa pun itu!”

Dara menutup wajahnya penuh sesal. Ini memang kelalaiannya. Wajar Ibu menghukumnya. Kali ini, Dara menjadi tahanan rumah ibunya hingga seluruh pesanan selesai. Dara mengembuskan napas.

*

Ra, kan kamu yang janji Sabtu ini kita ketemu.”

Suara di seberang telepon terdengar sangat kesal. Dia pantas kecewa karena Dara kembali membatalkan janjinya.

Baru sebulan Dara mengenal Panji melalui pertemuan yang tidak disengaja. Nadin, sahabatnya, mengenalkan Panji pada Dara. Hubungan keduanya tidak lantas dekat. Dara adalah gadis tomboi yang tidak gampang dekat dengan laki-laki. Ditambah lagi ibunya yang over protective.

Sabtu ini adalah rencana yang ketiga pertemuan mereka. Rencana pertama dan kedua gagal karena Ibu tidak mengizinkan. Dan rencana ketiga sepertinya akan bernasib sama. Gagal.

Dara tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya pada Panji. Di ujung telepon, pemuda itu sedang menunggu alasan Dara membatalkan janjinya. Gadis itu kikuk. Ibunya sedang menimbang tepung di hadapannya saat ini. Sesekali lirikan mata Ibu menghunjam jantungnya. Buru-buru Dara memutuskan sambungan telepon dan membiarkan Panji dengan kekecewaannya. Dara tidak ingin teguran Ibu melayang lagi.

*

Setiap hari, usai sahur Dara dan Ibu tidak tidur lagi. Adonan demi adonan telah menanti mereka untuk segera diselesaikan hingga matahari menyapa hari. Lelah. Pastilah melelahkan bagi Ibu yang selama ini bekerja sendirian.

Masa hukuman ini sekaligus masa perenungan bagi gadis berkulit sawo matang ini. Sejak tadi, dia memperhatikan Ibu yang tertidur dalam posisi duduk. Mungkin rasa kantuknya tak terlawan. Dara bergeming. Matanya menelisik wajah ibunya. Wajah yang membingkainya dengan senyum, meskipun garis di sekitar mata juga cekungan yang mulai menghitam, adalah lukisan wajah Ibu yang ditelan usia. Ah, tidak. Sebenarnya Ibu belum terlalu tua saat ini.

Jangankan memperhatikan penampilannya, untuk istirahat saja Ibu mengabaikannya. Dan Dara membiarkan ibunya kelelahan seorang diri. Membiarkan peluh itu mengalir tanpa akhir.

Ingin rasanya dia mengambil alih semua pekerjaan ini agar Ibu bisa beristirahat. Mengambil alih tanggung jawab untuk melepaskan jeratan hutang berkepanjangan dengan Bu Janti. Perempuan tambun yang menyeret Ibu pada riba. Tanpa Dara tahu, ibunya bekerja keras selama ini untuk membayar hutang-hutangnya pada rentenir.

Satu per satu stoples berisi kue-kue kering selesai ditata. Dara menempelkan stiker di setiap stoples. Dara memberi ide menambahkan label untuk kue kering buatan ibunya. Dengan adanya label juga kemasan yang menarik, Dara yakin usaha Ibu akan semakin maju.

Ponsel Dara bergetar. Ada nama Panji sedang memanggil. Gadis itu bergeming. Tangannya sedang mencetak adonan berbahan tepung tapioka. Dering kedua, Dara tetap tak mengacuhkannya.

“Ra! Kenapa nggak diangkat?”

“Biarin aja, Bu. Nggak penting,” ucap Dara asal.

“Seenggaknya, diterima saja dulu.”

Dara terdiam sesaat. Otaknya sedang menimbang anjuran Ibu. Namun akhirnya gadis belia itu memilih untuk mengabaikannya.

*

Mendekati akhir Ramadan, pesanan semakin banyak. Akhirnya, Dara membatasi pemesanan hingga H-3 lebaran. Hal itu dilakukannya untuk menjaga kualitas produk. Dara tidak ingin custumer kecewa karena hasilnya tidak maksimal. Dara sedang mempraktikkan ilmu yang dipelajarinya saat kuliah tata boga tiga tahun lalu.

“Mbak Dara, tadi Bu Fany telpon, nambah nastar dua toples sama pie buah.” Anita melaporkan tambahan pesanan dari pelanggan tetap di tokonya.

Pie kapan diambil?”

“Malam takbiran.”

Dara mengangguk, sambil mengiris beberapa potong kurma. Ada juga kismis dan sukade. Sementara itu, di meja kasir, Ibu sedang melayani pelanggan lain.

Parkiran ruko dua lantai penuh sesak. Kedai cake dan puding berlabel ‘Ra Cookies’ sedang dipadati pengunjung menjelang buka puasa, tujuh hari menjelang Syawal.(*)

Airmolek, 3 Mei 2021

#marathon_kelascerpen2

Airmolek, 3 Mei 2021

#marathon_kelascerpen2

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen optimistis, amat sangat berkesan. Alhamdulillah biisa berselancar menikmati cerpen-cerpen keren milik Bunsay Susi. Mantap sekali.

05 May
Balas

Cerpen yang keren dan asyik untuk di nikmati.

04 May
Balas

seperti cookies di sore hari ndak jeng. terima kasih sudah mampir

04 May



search

New Post